"KAN bisa ngasihnya disekolah!"
Setelah tiga pesan yang dikirim tiba-tiba oleh seorang Atlas Daiyan, membuat tungkaiku dengan tergesa-gesa melangkah keluar rumah yang langsung disambut dengan cowok tersebut duduk diatas motornya, lengkap dengan helm hitam bogo dikepalanya.
Saat ini ia menggunakan celana cargo hitam, kaos putih polos yang dibalut kemeja kotak-kotak hitam putih dengan kedua lengannya yang dilipat dua kali. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam namun, Atlas masih terlihat begitu rapi. Berbeda dengan aku yang sudah menggunakan piyama, sudah siap tidur.
Ia tidak menghiraukanku, malah dengan santai duduk dikursi depan rumah, menyenderkan punggung dan kepalanya serta memejamkan matanya tanpa sungkan. Aku hanya cengo melihat tingkahnya, sudah cukup aneh dengan ia yang tiba-tiba mengirim pesan terlebih terselip kata 'Ibu Ketua' hingga memberikanku sebuah paper bag putih yang belum kuketahui isinya.
"Etikanya kalau ada tamu, disuruh masuk atau nggak duduk dulu,"
Mulutku spontan terbuka lebar, terlalu kaget. Bukan karena ia yang dengan secara blak-blakan mengatankannya namun, aku merasa tersindir dan bodoh secara bersamaam. Untuk saat ini aku tidak akan menghakiminya sebab yang dikatakan Atlas jauh dari kata salah.
Dengan kikuk aku bergerak duduk dikursi kosong sebelah meja, jadi kita duduk diantara meja kecil depan rumah. Cukup mengerti dengan mulut julid tetangga, aku memilih menerima tamu diteras rumah disebabkan Ayah juga sudah terlelap tenang diatas kasurnya.
"Mau minum apa?"
"Nggak usah, gue cuma bentar," jawabnya tanpa menoleh sedikit pun, ia masih setia terpejam dengan tangan kanan menutupi bagian matanya.
Sembari menunggu Atlas yang tengah istirahat--sepertinya, aku mulai membuka paper bag putih tersebut. Sedikit memincingkan mata ketika netraku menemukan sebuah blazer bewarna abu-abu juga celana dengan warna senada. Tidak sadarkan diri, mulutku terbuka lebar dengan aku yang sibuk membolak-balikkan blazer dan celana tersebut.
Serius, dibandingkan dengan dress, aku lebih nyaman menggunakan celana. Jadi, aku bukanlah feminime girl. Memang sih aku juga sesekali menggunakan rok namun, percayalah gaya bak laki-laki adalah andalanku.
"Titipan dari Bunda, katanya harus hari ini ngasihnya ke lo," aku menoleh, menganggukkan kepala meskipun kutahu ia tidak melihatnya sebab matanya masih terpejam rapat. "Jam berapa Bunda Anggi dateng dari parisnya?"
"Tadi sore,"
"Bareng Abang lo?" Terlihat Atlas membuka matanya perlahan, sedikit menggeserkan tubuhnya menghadap kearahku. Ia menggeleng, "Masih banyak kerjaan katanya,"
Seringnya latihan band dirumah cowok tersebut, aku jadi lebih tahu sedikit tentang keluarganya. Selain dari sahabatnya, terkadang Bunda Anggi sendiri yang menceritakan ketika wanita cantik nan elegan itu tengah senggang.
Contohnya seperti, Atlas anak ketiga dari empat bersaudara. Anak pertama tengah bekerja menjadi seorang dosen di Paris, anak kedua tengah kuliah kedokteran, sementara sang bungsu masih menginjak sekolah menengah pertama.
Sudah seminggu terakhir kemarin aku tidak bertemu dengan Bunda Anggi ketika latihan band dirumahnya. Ternyata, wanita tersebut tengah mengunjungi anak sulungnya di paris seorang diri. Mengapa Ayah Atlas tidak ikut? Kata anak ketiga dari keluarga Bagaskara ketika sahabatnya itu bertanya, jawabannya adalah perusahaan Ayahnya akhir-akhir ini cukup hectic hingga tidak bisa ditinggalkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
ATLAS
Teen FictionTidak ada yang tahu menahu perihal perasaan. Tidak ada yang bisa memaksa perasaan namun mampu menolak perasaan. "Perihal perasaan cinta, gue masih bisa gantung itu diatas kepentingan apapun. Tapi perasaan ikhlas, sampai detik ini masih gue coba asah...