03; pemakaman

109 13 2
                                    

Kelsen tidak pernah membayangkan dirinya akan menghadiri pemakaman Jaze, padahal semalam mereka masih bertatap muka, membicarakan banyak hal, bahkan saling mengejek satu sama lain. Namun, sekarang dia harus menyaksikan peti mati itu dimasukkan ke liang lahat, sementara kedua orang tua Jaze menangis histeris, pun dengan Wylter yang harus ditenangkan di pelukan Nadette dan Yevette.

Para pelayat hadir dengan setelan berwarna putih, ada payung hitam demi menghalau terik matahari di masing-masing tangan, mereka semua berdoa dengan khidmat. Kelsen memperhatikan dua detektif—termasuk ayahnya—sedang mengamati setiap ekspresi mencurigakan orang-orang, berspekulasi mandiri bahwa bisa saja pembunuh Jaze berbaur di sini. Ketika semua teman-temannya berkumpul di dekatnya, Kelsen masih tidak bisa menemukan Shoan dan Sabine. Sampai kemudian, gundukan tanah itu tertutup, buket-buket bunga mulai diletakkan di atasnya.

Prosesi pemakaman hampir selesai.

Karena sedang melamun, Kelsen sempat berjingkat kaget saat sentuhan tangan Mike mampir di bahunya.

"Pinjam Kelsen sebentar."

Barion, Yevette, Nadette, Morgan, mengangguk, kecuali Wylter yang masih sulit meredakan tangisnya. Jadi, Kelsen mengekori Mike, yang mengajaknya memojok di bawah salah satu pohon pinus.

"Papa mau menginterogasiku?"

"Papa mau keterangan darimu."

"Apa bedanya?"

"Sama saja."

Kelsen mengesah, tapi tetap meneruskan tanpa diminta, "Semalam, aku pamit pulang duluan karena Papa meneleponku berkali-kali, kan? Aku tidak tahu bagaimana Jaze pulang, dengan siapa, jam berapa. Kita juga tidak bertukar chat di grup. Aku jujur, tidak ada yang aku tutupi. Tidak mungkin aku terlibat, Pa."

"Papa bukannya menuduhmu."

"Papa sepertinya mencurigaiku."

Mike menggeleng, "Kasus ini baru pertama kali. Ada anak kecil masih belum ditemukan—kau tahu, dia adik Shoan, Silvan—dan sekarang temanmu meninggal dengan keadaan mengenaskan. Papa tidak tahu harus mengusutnya dari mana."

"Orang jahat. Orang yang melakukan ini pada Jaze, aku bersumpah akan mengulitinya sampai tinggal tulang. Makanya, Papa harus menemukan dia."

Mike membuang napas berat, "Temanmu sepertinya tidak lengkap. Ada yang tidak hadir?"

Kelsen pun reflek celingukan, "Aku juga menunggu mereka—ah! Itu! Shoan dan Sabine."

Mike mengawasi dua remaja beda gender itu berjalan dengan memberi jarak, Shoan di belakang Sabine sekian meter. Kemudian, keduanya duduk di tempat ia menjemput Kelsen tadi, bergabung bersama kawanan anaknya yang lain. Tidak ada yang janggal, tapi pakaian mereka cenderung berantakan.

Kelsen tiba-tiba mengibas tangannya, "Mereka tidak mungkin terlibat juga, Pa. Bukan."

Mike berdeham kikuk, "Yah, Papa hanya memikirkan segala kemungkinan."

"Aku boleh ke sana?"

Sebelum Kelsen melangkah lebih jauh, Mike menyetopnya sebentar. Ia benahi syal yang melilit leher anaknya, baru berujar, "Kau masih menyembunyikan bekas luka ini?"

Kelsen spontan mundur, ia sigap menjauhkan tangan Mike dari lehernya, lantas mencicit, "Orang-orang pasti ketakutan kalau melihat bekas luka mengerikan ini. Belum lagi jika mereka bertanya bagaimana aku bisa mendapatkannya," Ia meraba sejenak garis bergurat di sepanjang tengkuknya, yang terlingkar di leher beberapa tahun ini, meski warna merah itu sudah memudar jadi warna ungu, tapi hanya dengan mendapati adanya bekas luka ini memang cukup menakutkan bagi orang-orang selain dirinya, "Mama bahkan masih tidak bisa menatap leherku lama-lama, makanya dia membelikanku berlusin-lusin turtle-neck."

Vermisst [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang