Yevette sama sekali tidak bisa mengalihkan pikirannya dari insiden-insiden yang terjadi belakangan ini. Dia duduk menghadap meja belajar, tapi konsentrasinya terbagi dua—antara buku cetak biologi dengan obrolan teman-temannya yang tersisa di group chat. Temaram lampu kamar ini juga menyembunyikan tetes demi tetes air mata yang dia persembahkan untuk Jaze—yang sudah tiada—dan untuk Kelsen—yang belum juga ditemukan.
Namun, saat pintu kamar terbuka, Yevette terburu menghapus air matanya.
Ada Helga di sana.
"Sayang."
Yevette tidak menoleh saat Helga mendekat ke tempatnya, bahkan sampai wanita semampai itu membelai rambut panjangnya.
"Kau tampak tidak baik-baik saja. Apa karena kejadian sial yang menimpa teman-temanmu?"
Akhirnya, Yevette mendongak, "Mama dulu adalah alumni sekolahku, kan? Semua keanehan ini tidak ada hubungannya dengan masa lalu, kan?" Dia sendiri juga tidak tahu dapat kesimpulan seperti itu dari mana, kemungkinan besar dari film-film thriller yang biasa dia tonton.
Helga mengesah, lalu dia tersenyum tipis bermaksud menenangkan puteri sematawayangnya, "Kenapa kau bilang begitu? Kau pikir itu semua terjadi karena adanya kutukan?"
Yevette mengedik, "Aku hanya asal berpikir, sih, Ma. Tapi, kenapa Mama tidak mau memberitahu seperti apa sosok ayahku?"
Karena topik mendadak berganti, Helga jadi kepayahan meneguk ludahnya.
"Ma? Aku benar-benar tidak boleh menemuinya? Aku sudah besar, Ma, aku bukan anak kecil lagi."
Namun, air muka Helga tiba-tiba berubah geram, "Ayahmu itu—tidak pernah mencintai Mama. Jadi, buat apa kau mencari seorang ayah yang bahkan tidak mau tahu keberadaan kita berdua?"
"Ma, aku masih tidak mengerti. Jelaskan perlahan, ceritakan satu demi satu. Aku harus tahu, kan?"
Desakan Yevette semakin memicu ingatan lama dalam benak Helga agar mencuat ke permukaan lagi. Demi apa pun, dia tidak mau mengingat wajah Warren, dia enggan mengingat persetubuhan mereka yang diselingi nama Julia padahal hanya ada dirinya di depan Warren saat itu.
"Nanti. Jika sudah saatnya, Mama akan beritahu, Yevette."
***
"Kalian tahu di mana dulu aku tinggal?"
Warren bertanya sambil mondar-mandir di depan Kelsen dan Sabine—yang kini sama-sama bersimpuh di lantai. Bedanya, Kelsen dalam keadaan mengenaskan, sedangan Sabine dalam keadaan syok bukan main.
"Ya, di komplek tempat kalian dan teman-teman kalian tinggal sekarang."
Warren ingat bahwa rumah anak-anak ini tidak berjarak cukup jauh, paling hanya terbentang sekian ratus meter.
"Ada pasangan yang mengasuh keponakannya. Itu kau, kan, Sabine?"
Dalam sekejap, Sabine mendelik saat Warren menyinggung paman dan bibinya.
"Ada sepasang manula yang mengasuh cucu perempuannya. Itu teman kalian, Nadette, kan?"
Kali ini, Kelsen tercekat. Dia tidak tahu apa salah Nadette yang dia nilai paling polos di antara mereka sampai-sampai harus terseret dalam permainan Warren. Tapi sekali lagi, mungkin yang berkaitan adalah kakek dan nenek Nadette.
"Ada mahasiswa yang juga hanya tinggal berdua dengan adik laki-lakinya. Itu teman kalian juga, Morgan, kan?"
Semuanya tepat sasaran, sehingga sedikit banyak membuat Kelsen dan Sabine kelimpungan mencerna maksud inti dari omongan Warren itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Vermisst [✓]
Mystery / ThrillerMaraknya kasus penculikan di Frankfurt telah menciptakan ketakutan tersendiri bagi seluruh masyarakat, terutama dengan keluarga yang memiliki anak-anak kecil. Namun, semua stigma itu berubah saat Kelsen, yang merupakan remaja berusia limabelas tahun...