09; lumpuh

114 13 1
                                    


"Menurutmu, apa orang tuamu benar-benar menyayangimu?"

Kelsen masih bergidik, ia merinding sekujur badan. Mana kala Warren berjongkok tepat di hadapannya, dunianya serasa kiamat. Kelsen menggeleng berulang kali, seakan menolak, seolah menepis, semua niat buruk yang akan pria asing ini lakukan padanya. Namun, Warren justru menyukai respon ketakutan Kelsen, ia nikmati setiap rontaan itu ketika ada sentuhannya yang membelai kaki-kaki remaja SMA ini.

"Jawab pertanyaanku, Kelsen."

Kelsen mengangguk, tadi dia tak gentar, tapi sekarang nyalinya menciut dalam sekejap.

"Bagaimana kau bisa yakin?"

Kelsen terkesiap begitu Warren memegangi kedua pergelangan kakinya, sehingga dia reflek berteriak, baru bisa mencicit pelan, "Ka—karena mereka orang tuaku."

"Kau tahu dari mana kalau mereka orang tua kandungmu?"

Kelsen mengerjap seraya memberontak dari cekalan Warren, dia tidak bisa memberi balasan.

"Kau tahu dari mana kalau kau memang bagian dari keluarga Mahler?"

Kelsen menelan ludah, "A—apa yang membuatku tidak yakin?"

"Karena kau punya akta lahir atas namamu? Karena kau hidup dengan limpahan kasih sayang dari ayah dan ibumu? Hanya sebatas itu? Ayahmu Polisi, dia bisa memalsukan surat berharga. Ibumu penulis, dia bisa mengarang cerita tentangmu. Menarik, kan?"

Kelsen tidak ingin terpengaruh, dia sama sekali enggan mempercayai setiap tuturan dari mulut busuk Warren. Jadi, dia tetap diam sampai ujung alat pemotong serupa tang itu menempel di ujung ibu jari kaki kanannya.

"Kenapa hanya aku yang selalu menjawab pertanyaanmu?!" seru Kelsen, mulai membabi buta sebab baru saja ia dapatkan keberaniannya kembali, "Hah?! Kenapa kau melakukan ini padaku?! Kenapa aku?!"

Warren mendengus, "Kau lebih memilih untuk menanyakan hal itu dari pada bertanya tentang alasan aku memotong jari kakimu?"

Kelsen bergeming, ini pertama kali sampai akhirnya dia tak tahan lagi membendung air matanya, lalu meloloskan teriakan sarat kebenciannya, "Kau gila! Aku pastikan akan membunuhmu dengan tanganku sendiri!"

"Aku melakukan ini supaya kau tidak perlu berusaha susah payah untuk melarikan diri."

Namun, Warren malah berdiri, ia melempar tang tadi ke sembarang arah dan memandangi Kelsen yang meringkuk di bawahnya. Kemudian, Warren memunggungi Kelsen, ia berjalan menuju foto-foto targetnya terpajang di dinding.

"Dulu, aku punya kehidupan yang begitu bahagia. Aku bertemu istriku di panti asuhan."

Tanpa aba-aba, Warren bercerita, padahal Kelsen sudah muak mendengar celotehan menyebalkannya. Demi apa pun, Kelsen sudah mengantuk lagi, tapi mau tak mau ia harus menyimak ini.

"Kami menikah. Kami menikah setelah orang-orang ini merusak segalanya."

Kelsen tidak mengerti, ia menerka ke sana, ia menebak ke sini, hasilnya tetap nihil. Dia tidak tahu apa-apa. Kemudian, Warren berbalik lagi, kali ini berderap cepat menuju dirinya hingga tiba-tiba menunjukkan sebuah suntikan yang sudah terisi cairan bening. Setelah Warren menyentil ujung jarum itu, Kelsen terburu bergeser menjauh—dicampur kepanikan, ditambah ketakutan.

"Omong-omong, aku sedang meneliti sesuatu yang bisa digunakan untuk melemahkan otot dan sendi di bagian tubuh tertentu. Alih-alih memotong jari kakimu, sepertinya cara ini lebih efektif. Pernah digunakan sebagai senjata hukuman mati juga, tapi tenang aku tidak mungkin membunuhmu."

Kelsen mendelik, mau bergerak mundur pun dia sudah menabrak dinding.

"Ja—jangan buat aku lumpuh!"

Warren menyeringai, lalu membekuk kedua tangan Kelsen di atas kepala dan secepat kilat ia sudah menyuntikkan injeksi tadi ke salah satu paha Kelsen yang terus bergerak.

Vermisst [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang