04; inspeksi

100 16 2
                                    

"AKH! TURUNKAN AKU!"

Kelsen berteriak sambil memegangi tali yang melilit lehernya, ia juga sempat menengok ke arah bawah dan seketika panik ternyata ia hanya memijak sebuah bangku kayu. Kalau sampai ada yang mendorongnya dari sini, dia bisa mati tergantung. Namun, selama dia memohon sekaligus menangis, tiga pemuda itu hanya menertawakannya.

"Sesuai perintah. Jangan sampai membunuhnya."

Kalimat barusan diserap Kelsen baik-baik. Setidaknya, dia tahu dia tidak akan mati di sini. Namun, biarpun dia memohon sedemikian rupa, dirinya hanya akan direkam. Tidak ditolong, tidak dibantu. Mereka seperti hanya mau mendapati ekspresi tersiksanya di saat napasnya sudah tersendat hampir putus.

BRAK!

Mendadak, bangku yang menjadi pijakan Kelsen ditendang seseorang, sehingga lilitan tali di lehernya makin mengerat.

Kelsen terbatuk, matanya terpejam, dia serasa akan menemui ajal.

Namun, orang-orang itu tidak berniat menolongnya, justru sibuk mengejeknya yang kepayahan menyelamatkan diri.

"Ukh—erk—ukh!"

Kelsen hanya menjejak udara, sementara udara di sekitarnya makin menjauh.

"HAH—HAH—HAH!"

Kelsen terbangun—mimpi buruk itu hadir lagi seiring dengan traumanya yang masih membekas. Ia mengucurkan keringat, secara otomatis sudah terduduk sambil memeluk lutut hingga kemudian pintu kamarnya terbuka. Mungkin teriakan Kelsen tadi terdengar sampai luar, sehingga Chaz dan Wilona menyusulnya kemari.

"Mimpi lagi?"

Kelsen tidak bisa menjawab pertanyaan Wilona sebab dia masih tersengal, tangan-tangannya pun tiba-tiba memegangi bekas luka di sepanjang lehernya sendiri.

"Tidak apa-apa sekarang."

Kelsen tidak ingin menanggapi bujukan Chaz karena tatapan nanarnya terarah ke depan sana, mendadak dia dikuasai ketakutan itu lagi.

***

Frankfurt—Corridor, Adler High, 11:30:17 AM.

Wylter memandang kosong spot berduka yang disediakan pihak sekolah. Ada banyak buket bunga, barang-barang, dan memo hasil tulis tangan beberapa siswa, dia pandangi semuanya satu persatu kecuali foto Jaze di bingkai keemasan itu. Sekian detik kemudian, Yevette dan Nadette—yang baru saja bergabung di masing-masing sisinya—segera memberinya sebuah pelukan.

"Let him go," bisik Yevette, "Jaze tidak akan suka kau jadi sesedih ini, Wylter."

"All is well," lirih Nadette, "Jaze benci melihatmu menangis, kan, Wylter?"

Wylter tidak merespon, namun kehadiran Sabine di antara mereka mendadak mengubah atmosfer. Lantas, Sabine menghela napas, ia turut menyeka air matanya sendiri, baru menyumbang suara, "Aku harap adik Shoan tidak berakhir seperti Jaze. Selain itu, sepertinya kita perlu mencari tahu siapa orang yang berani melakukan ini? Menculik Silvan dan membunuh teman kita? Apakah dia orang yang sama? Apakah dia punya komplotan? Apa motif—"

"—itu bukan tugas kita," Morgan tiba-tiba menyambar setelah menempelkan memo miliknya di sekitar foto Jaze, "Kalau kita terlibat, bukankah bisa semakin memperburuk situasi jika ada hal-hal buruk yang terjadi pada kita juga?"

"Hari ini Kepolisian juga menginterogasi anak-anak yang punya hubungan dengan Jaze."

Kalimat Sabine barusan mendapat atensi dari Morgan, Yevette, Nadette, dan Wylter, tapi belum ada lanjutan sebab bel sudah berdering.

Vermisst [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang