✨🌙Prolog🌙✨

35 4 5
                                    

Kursi di samping berdecit, ia ingin menanyakan perihal sang ibu, akan tetapi adik pertamanya itu beranjak pergi. Ia tersenyum kecut, apa mungkin dia masih marah?

"Dek," panggilnya lagi.

Adik perempuan kedua bertanya dengan penuh hati-hati, "Kak Ara tahu ibu, ayah, sama dede?" Ia berupaya agar kakaknya ini tidak terpikirkan dan membahas kejadian semalam, takut jika kakak keduanya itu semakin marah dan tidak mau bersekolah.

"Loh, kamu juga ga tahu?"

"Kakak emangnya ga di kasih tahu?" Ia menggeleng.

Suara panggilan dari ponsel milik sang ibu tertinggal di atas kulkas. Orang yang berdiri setelah mencuci tangan dan piring kotor, mengambil ponsel tersebut. Ragu-ragu mengangkat telepon dari nomer tak di kenal. "Ass-"

"Kak, ini ibu, hari ini jangan sekolah dulu, ya? Jagain adik-adikmu. Bentar lagi om datang bawa baju-baju ayah."

"Siapa kak?" tanya adik kedua.

"Ayah kenapa lagi, Bu?" 

"Ayah ...." Ara berdiri, menghampirinya.

Perlahan ponsel menjauh dari telinga. Ia menekan speker suara agar dapat di dengar oleh sang kakak dan adiknya. "Kak Fitri hari ini kamu ujian kan? Harus sekolah. Suruh kak Ara jagain adikmu, jangan sekolah dulu."

"Tapi Ara ...."

"Kak." Terdengar seperti teguran, ia pun menghela napas, pasrah.

✨🌙✨

"Gimana?"

Ara menunduk. "Maaf, aku-"

Gadis itu berdiri. "Cuma anterin gue doang, habis itu balik lagi, apa susahnya sih?" tanyanya, menggertak Ara dengan nada tinggi. "Kenapa sih, setiap gue minta tolong ke lo, lo selalu aja ada alasan. Sekalinya aja bisa, nolong gue." 

"Kayak ga ikhlas!" Ara memegang erat roknya.

"Diam aja terus! Kayak patung." Sebelah sudut bibirnya terangkat, mengalihkan pandangan dari Ara. "Lo sekarang berubah ya? Ga kayak Ara yang gue kenal!"

Saat gadis itu sampai di depan pintu, Ara berdiri. "A-aku antar." Gadis di depannya tersenyum misterius. Berbalik, menghampiri Ara dengan riangnya memeluk. "Makasih banyak! Sahabat gue yang baik ... banget!" Ara tersenyum tipis.

Baru sampai di tengah jalan, motor Honda beet merah tiba-tiba bermasalah, Ara panik sedangkan gadis di belakangnya terus mengoceh membahas teman kelasnya. "Elin," panggilnya, ke sekian kali, namun tak di gubris.

"... Beruntung banget gue punya tetangga yang baik banget kayak lo."

Ara menoleh ke belakang, suaranya bergetar ketakutan, berusaha untuk menyeimbangkan agar mereka berdua tidak terjatuh di jalanan sempit. 

Suara Ara terdengar samar, ia mengerut. "Maksud lo? Ra, kok, motor lo ...." Tangan kanan Erlin memegang ujung jok dengan kuat. Kedua mata terpejam tatkala motor ini hendak menabrak pekarangan rumah orang. "Awas!" Elin meloncat dari motor sedangkan sang pengemudinya terus menabrak apa saja yang menghalanginya, termasuk jemuran. Walaupun Elin berhasil meloncat dari motor, ia tetap terjatuh lantaran kakinya terkilir menginjak bebatuan, dan tangan kirinya tergores kawat di pagar, cukup dalam. Nasib Ara, mungkin lebih parah, gara-gara tidak sengaja menancap gas pada saat rem blong, dirinya menabrak pohon jambu air.

Elin meringis pelan, telapak tangan kiri berlumur darah. Ia berusaha berdiri, menghampiri Ara, nyatanya banyak orang membantu gadis itu berdiri karena terhimpit motor, dari pada menolong dirinya yang terluka parah. "Dia ga kenapa-napa di tolongin, ya paling cuma luka kecil doang, lah gue? Sakit banget kayak gini, ga ada yang nolongin."

✨🌙✨

"Tapi perasaanku ga enak, Fiy."

"Sampai kapan perasaan ga enaknya? Dari kemarin kamu selalu ngulangin, perasaanku ga enak, Fi, aku takut ini, takut itu, terus aja gitu," ujar Fiya meniru perkataannya. "Bosen dengernya." Fiya terdiam di saat mereka berdua sampai di pinggir trotoar jalan raya. "Rumah Cika harus nyebrang jalanan ya?"

Ia menghela napas. "Aku mau bilang tadi, kalo rumah Cika tuh, jauh. Kita udah sepakat ngerjain tugas di rumah kamu, tapi kamu malah nolak."

"Kalo tau gitu, kenapa ga pakai mobil? Kan kata kamu rumahnya jauh," sahut Fiya enteng.

"Fiya, kita tunggu aja di sini ya? Bentar lagi Cika datang."

Fiya ternganga, menatap gadis itu dengan sorot tak percaya. "Nunggu? Sampai kapan? Magrib?" Fiya terkekeh pelan. "Sorry, aku ga mau nunggu, bagus kalo Cika datang kurang satu menit, kalo ngaret? Dan harus nunggu sampai 1 jam di sini, dia ada masalah di jalanan, beli ini, itu dulu ... kan, lama ....!" Fiya melangkahkan kakinya, mencoba menyebrangi pada saat jalanan lumayan sedikit pengendara berlalu-lalang.

Satu hal mengenai Fiya, bahwa dia adalah orang tak sabaran.

"Fiya ...."

Ia melambaikan tangannya. "Terserah kamu, mau nunggu atau engga. Aku bisa ke sana sendiri."

Gadis itu menggigit ujung bibirnya, kedua kaki tidak betah terus berdiri di sini, memperhatikan Fiya berjalan tanpa melihat ke samping, tidak sengaja gadis berambut sebahu melihat pengendara motor dengan cepat melaju, tatapannya kembali mengarah ke Fiya. Jantungnya berdetak cepat, ia menggeleng pelan, berlari mengejar Fiya. Pesan terakhir dari bunda Fiya. "Tolong jagain Fiya, jangan sampai dia ke jalan raya."

"Jangan ajak Fiya main keluar, ya?"

"Jangan sampai Fiya keluar rumah."

Ia menarik paksa pergelangan Fiya, walaupun pengendara motor tidak menabrak Fiya, tetapi menyerempet dirinya. Fiya tertegun melihat sahabatnya terluka di tengah jalan, keterkejutannya bertambah mendengar kelakson truk. Ia mendorong tubuh Fiya untuk menyingkir, sebelum semuanya terlambat.

Fiya terjatuh, kepalanya terbentur pinggir trotoar, kedua telinganya berdenging. tak ada siapapun yang menolong sahabatnya, dia terkapar di tengah jalan setelah truk menabrak tubuh mungilnya. Selang beberapa detik pandangan mulai kabur dan menghitam.

✨🌙✨

"… Jadi tidak heran jika sekolah ini biayanya mahal, tetapi untuk yatim piatu selagi punya prestasi, masih bisa di terima di sekolah ini, melalui jalur beasiswa.”  Gadis yang memakai seragam batik sekolah sebelumnya, mengangguk mengeti. Jika dipikir-pikir gadis berkacamata di sampingnya ini tidak begitu menyeramkan seperti yang ia pikirkan. Buktinya saja, gadis itu dengan senang hati menceritakan tentang sekolah barunya ini.

“Kenapa ada pembagian kelas?"

✨🌙✨

"Gila! Bisa-bisanya guru ngasih tugas sebanyak ini?" keluh Kanaya, sudah menyerah dengan kedua tangan terjulur ke depan, dan kepalanya menyandar ke meja yang terdapat empat tumpuk buku catatan dan LKS miliknya.

"Cih, baru gitu aja ngeluh," kata Zivara, ia sudah jengah dengan kelakuan Kanaya yang mudah sekali menyerah. "Gue heran kenapa lo bisa masuk ke kelas ini."

"Pakai orang dalam?" tanya Zivara, sedikit penasaran. Karena banyak sekali orang seperti Kanaya yang ingin sekali masuk ke sekolah ini dan masuk ke kelas  berisi orang-orang berprestasi berujung ditolak. Karena mereka memang tidak benar-benar serius, hanya sekedar penasaran.

Kanaya menatap tajam ke arah Zivara. "Heh! Enak aja kalo ngomong tuh!"

"Ngaku lo!"

"Enggak yah, gak ada campur tangan orang dalem! Lagian, aku mana kenal sama kepsek, dan ...." Suara Kanaya semakin mengecil, teringat satu orang yang sangat membantu dirinya agar bisa masuk ke sekolah ini.

Sebelah alis Zivara terangkat. "Lo gak mungkin lupa sama waka kesiswaan? Dia kan yang udah bantuin lo? Keterlaluan sih kalo lo pura-pura lupa."

"Kamu tau dari mana?"

Muslimah BerprestasiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang