Tanpa terasa lima hari menjalankan PAT, akhirnya Kanaya bernapas lega, terisa satu hari lagi. Hari ini selepas mengerjakan semua soal, akhirnya Kanaya bisa berduaan mengobrol dengan seorang gadis berkacamata yang hobi menyendiri di ruang perpustakaan.
Saat hari pertama, Kanaya tidak sempat mengobrol banyak lantaran ayahnya sudah menjemput dan menunggu dengan santainya di depan gerbang sekolah, tanpa berniat melangkahkan kaki masuk ke dalam sekolah ini.
Hari berikutnya pun Kanaya tidak sempat mengobrol, karena gadis itu selalu pulang lebih awal.
Kanaya paling bisa mengajak orang lain mengobrol, dan sesekali melemparkan candaan yang berakhir tawa, namun jika berhadapan dengan Octavia. Mengapa rasanya begitu canggung.
Saat Kanaya menanyakan tentang Octa dimulai dengan pembahasan yang ringan, gadis berkacamata bundar itu selalu menjawab to the point tanpa memberikan pertanyaan yang sama kepadanya.
Sampai di mana Kanaya sudah merasa bosan dalam heningnya ruang perpustakaan, hanya terdengar suara jarum jam di atas dinding.
"Em, aku mau tanya ...." Octa terus memandangi Kanaya, seakan-akan tersirat sebuah isyarat yang menyatakan, dari tadi kau selalu bertanya kepadaku. "Gini, eum ... Mungkin kesannya kayak agak sensitif dikit yah, gapapa kan?"
Octa menghela napas. "Silakan."
"Jadi begini, Ta ...." Kanaya kembali melempar pertanyaan, yang tidak sembarangan orang bisa menjawabnya.
✨🌙✨
"Bagaimana kabarmu sayang? Apakah sudah membaik?" tanya seorang wanita yang kerap disapa bunda, tersenyum hangat dengan sebelah tangan mengelus rambut hitam panjang milik anak semata wayangnya penuh kasih sayang.
"Iya, Bunda. Besok Fiya sudah bisa sekolah seperti biasa," jawab sang anak, membalas senyuman dari bundanya yang jarang sekali menyempatkan waktu berada di rumah karena sibuk dengan pekerjaan sebagai bintang film. Sedangkan ayahnya bekerja sebagai pilot. "Ayah, belum pulang?"
Wanita itu tersenyum simpul. "Besok ayah pasti pulang, sayang. Kamu jangan sekolah jika masih sakit, biar nanti bunda bicara ke bu Tina, supaya kamu bisa tetap mengerjakan semua soal-soal tanpa harus mengikutinya di sekolah. Lagi pun ulangannya tinggal sehari lagi."
"Selama sebulan, bunda tidak mengizinkan kamu keluar rumah. Jika memang ada keperluan, minta bantuan ke pa satpam atau bibi."
Sang anak menghela napas, tubuhnya yang lemas membuat gadis itu tidak mampu menyanggah keputusan dari bundanya.
Ia menatap langit-langit kamarnya yang berwarna putih, dan beralih menatap tiang infus dengan selang yang masih tersalurkan cairan infusan ke dalam tubuhnya. Ia memilih untuk rawat jalan, setelah hampir satu minggu berada di rumah sakit.
Fiya kembali menoleh menatap sang bunda yang duduk di samping sang anak dengan kepala menyender pada sandaran kasur. Kedua mata Fiya berbinar, tersirat sebuah keinginan untuk bertemu seseorang. "Bun, Fiya pengen ke panti, boleh kan?"
"Tidak boleh. Kamu harus menuruti perintah bunda, sayang. Jangan melawan, lihat kondisimu sekarang! Jika saja kamu menurut. Mungkin, hari ini juga kamu bersekolah, dan bebas bermain dengan teman-temanmu. Juga-"
Gadis itu mengalihkan perhatiannya ke arah lain, ada rasa penyesalan yang begitu dalam, terlebih ia harus menelan kenyataan pahit bahwa dirinya telah kehilangan sosok teman yang selalu mengisi kekosongan harinya. Dengan suara bergetar dan mata berkaca-kaca, Fiya berujar, "Fiya salah ya, Bunda?"
"Semua ini salah Fiya, ya?"
✨🌙✨
"... Jadi tidak heran jika sekolah ini biayanya mahal, tetapi untuk yatim piatu selagi punya prestasi, masih bisa di terima di sekolah ini, melalui jalur beasiswa." Gadis yang memakai seragam batik sekolah sebelumnya, mengangguk mengeti. Jika dipikir-pikir gadis berkacamata di sampingnya ini tidak begitu menyeramkan seperti yang ia pikirkan. Buktinya saja, gadis itu dengan senang hati menceritakan tentang sekolah barunya ini.
"Kenapa ada pembagian kelas?"
"Kayak, kelas regular, tahfiz, sama kelas prestasi? Kenapa ga di samain aja sih?" gadis berkacamata bundar tersenyum manis, sangat manis, bahkan manisnya gula kalah dengan senyumannya.
"Dulu tidak ada kelas tahfiz, tidak ada masjid di tengah lapangan, tidak ada kelas prestasi, sebelum tahun 2016, yang ada hanyalah kelas akselerasi, dan regular. Sampai pada tahun 2017, direktur sekolah ini sakit dan meminta kepala sekolah untuk mengganti posisinya, akan tetapi di sinilah masalahnya. Direktur tidak ingin membubarkan sekolah yang sudah lama ia rintis, hingga masa jayanya 2012, sampai akhir 2016. Karena peraturan, biaya, dan pembagian kelas yang memberatkan murid-murid."
"Yang protes-"
"Orang tua murid," jawabnya cepat. "Jadi direktur memberikan syarat ke kepala sekolah, jika di sekolah ini pembagian kelas tetap sama, hanya saja kelas aksel diganti kelas prestasi, dan direktur membolehkan adanya kelas tahfiz dan masjid, peraturan tetap sama, pembayaran ... apa lagi." Gadis itu melepas kacamatanya. "Jangan memaksa diri untuk mencari tahu tentang sekolah ini, kamu masih baru di sini, apapun peraturan di sini, semua bersifat mutlak, terlebih ...."
"Direktur atau pemilik sekolah ini sudah meninggal pada tahun 2021."
"Lah, terus kalo direkturnya meninggal yang ngurus sekolah ini siapa dong?"
Octa menghela napas lelah. Sepertinya Kanaya masih belum paham dengan penjelasan Octa tadi. "Sudah baca peraturannya kan? Di formulir." Kanaya mengangguk ragu. Gadis itu kembali memakai kacamatanya, seraya menepuk pundak.
"Sampai jumpa nanti, Assalamualaikum."
"Wa-alaikumsalam."
Kanaya memperhatikan kepergian Octa hingga tubuh gadis itu ditelan tikungan. Ia terpikirkan dengan kalimat terakhir sebelum salam. "Nanti? Seyakin apa sih kita bakal ketemu lagi? Kan kelasku beda, terus juga jaraknya pun lumayan jauh. Males kali aku naik turun tangga cuma karena ngobrol berdua sama dia."
"Ada lift sih, cuma- aish ... Sudahlah, trauma aku kalo naik lift lagi," monolognya. Membayang hal yang mungkin saja terjadi menimpanya, seperti terkurung di dalam lift yang macet sampai terkulai lemas.
✨🌙✨
"Pa, ayolah, izinkan aku bersekolah," pinta seorang gadis yang hampir 30 menir berada di depan pintu ruang kerja milik papanya sambil memohon tiada henti.
Pintu terbuka, pria yang memakai baju kaus hitam dengan celana training putih menyembul perlahan. "Waktu itu kamu nekat melukai tanganmu sendiri karena tidak mendapatkan izin dari papa, sekarang, jika papa tidak mengizinkanmu hal bodoh apa yang akan kamu lakukan lagi, Sherlina Zivara?"
"Bunuh diri," ucap sang anak. Pria yang berjalan hendak ke dapur, langkahnya langsung terhenti. Gadis itu tersenyum konyol dengan menampakan deretan giginya dan tangan kanan mengusap tengkuknya yang dingin. "Bunuh diri di pohon kacang."
Pria itu menggeleng pelan. Kembali melanjutkan langkahnya yang terhenti, sang anak pun kembali berujar, "ayolah pa, sekali saja turutin permintaan anakmu satu-satunya yang cantik ini."
"Sherlin janji nggak bakal ikutan nari nanti, cuma ... Ayolah izinkan aku pa, hanya mengajar, saja."
"Kamu hampir seminggu tidak mengikuti ulangan, beralasan tanganmu terluka karena terkena pisau, dan tidak ingin bersekolah. Sekarang?"
"Pa ... Jangan begitu, Sherlin-"
"Tetap, papa tidak akan mengizinkanmu."
Kedua tangan gadis itu saling terlipat, walaupun sesekali ia meringis menahan rasa perih luka yang tertutup kain kasa sedikit menyenggol siku lengannya. "Ya sudah, kalo begitu. Sherlin tidak mau ikut latihan pencak silat lagi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Muslimah Berprestasi
Spiritual"Berjuang meraih rida sang Ilahi." -Muslimah Berprestasi- Mereka memiliki segudang prestasi, mimpi, dan harapan tinggi. Menjadi kebanggaan sekolah, peraih lima pringkat teratas berturut-turut, dan membuat banyak orang iri. Namun selain prestasi yan...