"Nggak bisa gitu dong, Pa!" sanggah anak perempuan yang langsung menyela keputusan sang ayah.
Tanpa sepengetahuan ayahnya, gadis yang memakai seragam sekolah putih biru dengan tas hitam tersampir di pundak kiri itu, baru saja kepergok mengikuti ekstrakurikuler yang sangat digemari sejak SD di ruang auditorium.
Anak perempuannya itu terus mengejar, alih-alih menyuruh sang anak untuk pulang, justru dengan postur tegap dan langkah kaki tegas, pria yang memakai jas hitam senada celana panjang itu berjalan mendahuluinya.
Sampai keduanya berada di dalam mobil hitam, gadis itu kembali menyuarakan kekesalannya, sesekali menatap keluar jendela mobil.
"Pa, sebentar lagi kenaikan kelas, Sherlin ditugaskan Bu Tina mengajari adik kelas latihan menari, Pa!"
Pria itu menatap anak semata wayangnya dari kaca dalam mobil, dengan kedua tangan sibuk menyetir. "Nanti Papa akan bicara dengan Bu Tina, supaya kamu tidak terlibat dalam ekstrakurikuler itu lagi."
Sang anak mendengus kesal. "Papa tau aku suka ikut nari, Papa juga tau cita-cita ku! Dan Papa bilang gak akan menghalangiku untuk mencapainya, tapi ...." Napasnya memburu, menghentikan perkataannya. Percuma berbicara panjang lebar, pria itu tidak akan goyah sekalipun sang anak nekat terjun keluar dari mobil.
Tentu saja, hal itu merupakan ide yang sangat buruk, dan hanya akan merugikan dirinya.
Sebenarnya apa yang berada di pikiran sang Papa?
Begitulah isi kepala sang anak. Sungguh egois bilamana pria itu melarang dirinya menekuni bakat dan keahliannya.
Gadis itu mengacak-acak kerudung putih, sebelum kedua tangannya terlipat, dengan kakinya yang menyilang di kursi belakang kemudi.
"Sekarang Papa malah larang Sherlin, mau Papa apa sih?"
Emosi yang tak dapat dikendalikan setibanya di depan rumah, ia pun memilih berlari masuk, menaiki anak tangga begitu cepat, sampai di dalam kamar ia mengunci dan membanting apapun yang berada di sekitarnya.
Sosok yang selama ini selalu melindunginya, ternyata perlahan-lahan membunuh semua impiannya.
Tak lama kemudian, saking lelahnya gadis malang itu tertidur dengan posisi meringkuk di bawah ranjang dan kedua mata sembap. Beruntung pria itu memiliki kunci ganda, sehingga bisa melihat kondisi anak semata wayangnya. Seisi kamar berantakan, Buku-buku yang tersimpan rapi di atas meja hampir semua berserakan di lantai, termasuk bantal, selimut, dan barang lainnya.
Pria itu tak hanya diam, menatap gadis itu iba. Melainkan membopong tubuh sang anak secara perlahan dan penuh kehati-hatian memindahkannya ke atas kasur yang empuk, dilanjut mengatur suhu AC di kamar, membalut tubuh gadis itu menggunakan selimut, lalu membereskan semua kekacauan ini.
"Papa tidak akan membiarkanmu, bernasib sama seperti ibumu," ucapnya, mengusap kepala sang anak, penuh kasih sayang, sebelum keluar dari kamar anaknya untuk mengunci pintu.
✨🌙✨
Pagi hari sekitar jam 06:20 gadis yang memakai kerudung instan berwarna putih sudah siap untuk berangkat ke sekolah sembari bercermin, menggendong tas berwarna krem. Ia berjalan keluar mencari sang ibu ke penjuru ruangan, namun dirinya hanya menemukan adik pertama dan keduanya makan nasi goreng di dapur.
“Kak Ara, makan dulu,” ujar seorang anak perempuan berumur delapan tahun tersenyum manis ke arahnya.
Menggeser kursi untuk duduk di dekat adik pertama, sama sekali tidak peduli dengan kehadirannya, menawari makan tidak, menyapa tidak, melirikpun sepertinya enggan. “Dek, Ibu-“
Kursi di sampingnya berdecit, gadis yang hendak ia tanyai, beranjak pergi. Tersenyum kecut, apa mungkin dia masih marah dengan kejadian malam tadi?
“Dek,” panggilnya lagi.
“Kak Ara tahu ibu ayah sama dede?”
“Loh, kamu juga ga tahu?”
“Kakak emangnya ga di kasih tahu?” Ia menggeleng.
Suara panggilan dari ponsel milik sang ibu tertinggal di atas kulkas. Orang yang berdiri setelah mencuci tangan dan piring kotor, mengambil ponsel itu. Ragu-ragu mengangkat telepon dari nomer tak di kenal. “Ass-““Kak, hari ini jangan sekolah ya? Jagain adikmu. Bentar lagi om datang bawa adik sama baju-baju ayah.”
“Siapa kak?” Tanya sang adik.
“Ayah kenapa lagi, Bu?”
“Ayah ….”
Perlahan ponsel menjauh dari telinganya. Ia menekan speker suara agar dapat di dengar oleh sang kakak dan adiknya. “Hari ini kamu ujian. Harus sekolah. Suruh kak Ara jagain adikmu, jangan sekolah dulu.”
“Tapi Ara ….”
“Kak.” Terdengar seperti teguran, ia pun menghela napas, pasrah.
Setelah adik pertamanya berangkat ke sekolah, rumah terasa sunyi, walaupun ia ditemani adik keduanya yang sebentar lagi masuk Sekolah Dasar.
"Kak Ara, Ayah gapapa kan?" tanya sang adik yang sedang dikepang dua oleh Ara.
"Ayah baik-baik aja, kita berdoa semoga Ayah cepat sembuh," ucap Ara dengan suara lembut berusaha meyakinkan diri sendiri dan sang adik, bahwa tidak ada sesuatu yang akan terjadi kepada ayahnya.
"Aamiin."
✨🌙✨
Sepulang sekolah sang ayah ternyata sudah menunggu di depan rumah dengan memakai pakaian rapi dengan setelan jas hitam yang hampir menutupi baju putihnya. Sherlin mendekat, mengucapkan salam dan mencium punggung tangan pria itu.
"Sherlin, hari ini kamu tetap di rumah, jangan ke mana-mana, Papa tinggalkan kamu sebentar."
Sherlina tersenyum sumringah. "Iya Pa." Di dalam hatinya berkata, 'sebulan gak pulang juga gapapa kok.'
Setelah itu sang ayah pergi mengendarai mobil hitam pribadinya. Dirasa situasi sudah aman, Sherlin berjalan kegirangan ke dalam kamar dengan langkah seperti kuda.
Selepas mengganti pakaian, ia berjalan ke arah gudang yang dekat dengan pintu belakang rumah, melihat kondisi sepeda kesayangannya yang baik-baik saja, berhasil membuat ia hampir saja berteriak kesenangan.
Siang ini Sherlin nekat untuk berangkat ke sekolah dengan cara sembunyi-sembunyi. Berencana ke sekolah memakai sepeda, dan jikalau di antar oleh supir, yang ada dirinya akan diberikan berbagai pertanyaan, dan berakhir harus memberikan bukti bahwa sang ayah mengizinkannya. Mobil milik sang ayah ada dua, pertama untuk di pakai kerja, kedua untuk mengantar jemput Sherlina sekolah.
"Sial!" Baru saja hendak bersyukur, suasana hatinya langsung berubah total, kesal lantaran dua ban sepedanya kempis. Lebih tepatnya seperti ada yang mengempiskan bannya.
Terakhir di pakai hari sabtu lalu dua ban itu tidak seperti ini.
Tidak ada cara lain lagi, selain menjumpai seseorang yang pasti akan membantu. Akan tetapi sebelum tiba, ponsel di dalam kantung rok hitamnya bergetar.
Ada panggilan dari adik kelasnya, mengenai keterlambatan datang ke ruang teater. "Sebentar lagi saya ke sekolah, untuk sekarang kalian hanya perlu mengulang latihan kemarin." Sherlina langsung mengakhiri tanpa menunggu jawaban dari seberang sana.
Satu pesan notifikasi yang membuat dirinya tertarik untuk membaca, yaitu dari sang Papa. Di dalam hati Sherlina mengumpat. Mempercepat perjalanannya ke rumah yang terhalang lima rumah di belakang rumahnya.
Ini tidak bisa dibiarkan.
Siapa lagi yang mampu mengajarkan adik kelasnya dengan baik selain dirinya, tentu saja tidak ada. Bahkan Bu Tina sampai merekomendasikan Sherlin dan sangat mempercayainya untuk melatih adik kelasnya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Muslimah Berprestasi
Spiritual"Berjuang meraih rida sang Ilahi." -Muslimah Berprestasi- Mereka memiliki segudang prestasi, mimpi, dan harapan tinggi. Menjadi kebanggaan sekolah, peraih lima pringkat teratas berturut-turut, dan membuat banyak orang iri. Namun selain prestasi yan...