✨🌙Tertekan✨🌙

1 0 0
                                    

"Lo gak ngotak! Ngomong—"

"Kesinggung? Atau jangan-jangan kamu pelaku kematian Tiara ya?"

"Penuduh!"

"Mau serapi apapun ngubur bangkai, nanti juga bakalan ke cium baunya."

"Jangan bertengkar!" perintah Fahima berusaha menengahi perdebatan dari kedua temannya.

"Ini nih, yang bikin gue males satu kelompok sama orang yang cuma bisa nilai dari penampilannya aja!"

Kanaya berdiri dari tempat duduknya. "Maksud kamu apa?" Kedua mata Kanaya melotot tanda bahwa dirinya tidak terima atas perkataan Zivara.

Zivara ikut berdiri, semakin mendekat ke arah Kanaya, wajahnya memerah tidak terima kawan karibnya disumpahi kena gangguan jiwa. Tangan kanan menarik kerudung Kanaya. "Orang yang lo sumpahin tadi itu, Luthfiya!" bentak Zivara tepat dihadapan Kanaya.

✨🌙✨

Kanaya berlari keluar dari Cafe Thyera, dengan perasaan kesal, malu, dan amat bersalah kepada Luthfiya. Kini, teman barunya sudah tentu membenci Kanaya, mereka pasti tidak mau berteman atau mungkin satu kelompok dengannya.

'Aku kok, bodoh banget sih, segala keceplosan ngomong gitu, gimana coba kalo nanti mereka gak mau temenan lagi sama aku?" batinnya, berhenti melangkah di persimpangan jalan raya. Menunggu saat di mana kendaraan sedikit yang berlalu lalang. Akan tetapi pandangannya teralihkan oleh seseorang yang berjarak 3 meter dari Kanaya.

Dengan cerobohnya dia hendak menyebrang jalan raya tanpa melihat ke arah kanan dan kiri. Kanaya bergegas menghampiri secepat mungkin sebelum pengendara motor menyerempet gadis itu. Menarik paksa pergelangan tangan dia agar mengurungkan niatnya menyebrang jalan. "Kamu ceroboh banget! Hampir aja keserempet motor!" Kanaya mengomel, membuat gadis itu perlahan menatap kedua mata tajam milik Kanaya.

"Luthfiya ...."

Gadis itu tersenyum getir dengan tubuhnya yang bergetar. "Ma-makasih." Setelah itu mengambil kesempatan kabur dari hadapan Kanaya dengan cara menyebrangi jalan raya saat kendaraan mulai sedikit berlalu-lalang, hingga sampai menyebrang. Jalanan kembali ramai pengendara.

Kanaya tidak berniat mengejar, lantaran hari semakin sore, cahaya matahari mulai redup, warna langit berubah jingga. Kanaya pun harus segera pulang, sebelum mama nya mengomel.

Jarak rumah antara Cafe Thyera sekitar 15 meter. Tidak harus menyebrangi jalan raya seperti yang dilakukan Luthfiya melainkan berjalan di atas trotoar sampai menemukan gang kecil yang hanya muat dilewati satu mobil, setelah masuk ke gang, lima meter belok ke arah kanan masuk tikungan yang semakin sempit lantaran di kiri dan kanan terdapat rumah warga, hingga empat meter berjalan rumahnya mulai terlihat. Sengaja Kanaya berjalan melewati tikungan yang amat sempit itu agar bisa menyelinap masuk dari pintu belakang rumah, sedangkan di depan rumah pasti ada Wida tengah bersantai membaca buku di sore hari lalu dengan entengnya menyuruh Kanaya ini itu.

Kanaya tersenyum puas mengetahui pintu belakang tidak terkunci, karena biasanya pintu di rumah di depan atau di belakang akan terkunci menjelang magrib.

"Punya anak gadis pulang ke rumah kayak mau maling!" celetuk wanita paruh baya dengan suara cempreng.

Kanaya nyengir, melihat penampilan sang mama yang selalu memakai daster motif bunga-bunga campuran warna kuning, oren dan cokelat. Rambutnya beruban di sanggul di belakang. "Udah jam berapa ini teh, hah?" tanya mama dengan memakai logat khas orang sunda.

"Anu, mah, Ani kan tadi kerja kelompok," jawabnya sambil menggaruk punggung yang tidak begitu gatal.

"Katanya pulang sekolah langsung kerja kelompok sampai jam tiga, sekarang udah jam lima, kamu ngapain aja di sana, hah?"

"Kan, sekarang Ani pulang sekolahnya jam tiga soalnya tadi di sekolah nganuan itu dulu ...."

"Nganuan apa hah! Kamu teh kalo ngomong yang jelas! Jangan bikin pikiran mama traveling, Ramadhani!"

"Ya, gimana mah, sekolah Ani kan gede. Masuk ke kelas aja satu jam baru sampai, pulang sekolah gak langsung kerja kelompok, Ani solat duhur dulu di sekolah, makan siang dulu di sana, belum lagi temen-temen satu kelompok sama Ani ngajak ke perpustakaan dulu, baru berangkat ke tempat tujuan, eh, nggak juga sih, tadi mampir dulu ke rumahnya Fahima, baru ke sana," ungkap Kanaya, mampu membuat sang mama berhenti mengomel, beralih memijit kepalanya yang diberi hiasan tempelan dua koyo di sebelah pelipis kiri dan kanan dekat telinga.

"Udah, sana! Mandi, solat asar, baru makan." Kanaya mengangguk, menuruti perintah. Pada saat sang mama membalikkan tubuh, membelakangi Kanaya. "Tadi om Handi bilang kamu pingsan pas upacara?"

"E—" Kanaya kehabisan ide untuk mengelabui ibu kandungnya. Terlalu mudah ditebak jika beralasan Kanaya tidak sarapan, padahal pagi sebelum berangkat ia paling semangat memakan dua piring nasi goreng buatan mamanya. "Eh, mah teh Wida masih ada di rumah?" tanya Kanaya berusaha mengalihkan pembicaraan.

Helaan napas dari sang mama terdengar. "Di sekolah kamu itu tidak ada yang jahat sama kamu, kan?"

Kanaya menggeleng pelan. "Enggak kok, semua temen-temen Ani pada baik!" ungkapnya penuh semangat, menampakkan wajah ceria dihadapan sang mama.

Namun sepertinya berbanding terbalik dengan wanita yang melahirkannya, parasnya yang cantik perlahan mulai terlihat keriputan, menandakan bahwa mamanya sudah tidak semuda dulu. "Mama jangan khawatir, kali ini ... Ani bisa kok, jaga diri. Ani janji." Jari manisnya terangkat. "Tapi ... Bisa kan kalo nanti pas Ani udah lulus, masuk pesantren lagi?"

Wanita itu melenggang pergi tanpa menjawab sepatah katapun kepada anaknya yang paling bungsu.

Kanaya masuk ke kamarnya, dan ternyata di dalam sana terdapat Wida yang berdiri menghadapnya dengan kedua tangan di atas pinggul. "Ke mana aja kamu! Kamar berantakan ada bangkai tikus dibawah kasur, tugas sekolah sama sekali belum dikerjakan! Hidup itu jangan males-malesan mulu, Ani! Mau jadi apa kamu nanti, hah?" omelnya.

"Gak ada yang namanya orang sukses, tapi males-malesan dan jorok kayak kamu!"

"Bawel ih! Nanti juga Ani beresin sendiri! Tugas Ani sendiri kan? Ngapain teteh repot-repot urusin hal yang gak penting buat teteh!"  teriak Kanaya, berbalik memarahi kakaknya.

"Teteh cuma ngingetin, kalo tugas sendiri ya kerjain sendiri, lah. Ngapain juga aku repot-repot capek ngurusin kamu!"

"PERGI!" teriaknya terlampau murka, mengusir Wida sambil menunjuk ke arah pintu yang terbuka lebar.

"Hafalan kamu gak sampai hilang kan?" tanya Wida tidak mempedulikan teriakan sang adik. "Teteh harap, selain sering muraja'ah, juga harus bisa diamalkan, bukan cuma hafal, dan mendapatkan gelar hafizah penghafal Quran tiga puluh juz, aja."

Tanpa berkata apapun lagi Wida langsung keluar tanpa paksaan, lalu pintu di tutup secara kasar, mengunci pintu kamar Kanaya dari dalam.

Berbaring di atas ranjang dengan air mata, tiada hentinya menetes pada bantal yang menutupi wajahnya. Pikiran kacau balau, Kanaya teringat besok harus mengumpulkan tugas matematika padahal, sama sekali belum mengerjakan bahkan tidak mengerti materi yang diajarkan oleh gurunya tadi pagi. Masalah dengan teman-temannya. Kemampuan menghafal juga perlu dipertanyakan.

Satu hal yang baru Kanaya sadari adalah, ia tidak begitu bahagia masuk sekolah elit, malah dirinya merasa tertekan masuk kelas Prestasi dengan segala macam tuntutan, teman-teman yang ambisius, juga peraturan di dalam kelas.

Dan kini ... masalah besar yang akan terjadi selepas menangis, Kanaya langsung tertidur pulas.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 13 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Muslimah BerprestasiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang