✨🌙 Menyebalkan🌙✨

4 0 0
                                    

“Ke mana saja kamu?”

Tiba-tiba seseorang langsung melemparkan pertanyaan dengan ekspresi datar, menyembul dibalik pintu selepas membuang sampah.

“Habis dari toilet, kenapa?” Sebelah alis si penjawab terangkat, sebelah tangan kanan melipat kerah lengan panjang baju pramuka yang hampir menutupi telapak tangan kiri yang terdapat plester. “Mau tau juga di sana gue ngapain aja?”

Gadis itu berjalan menaruh pengki dengan sapu pada gantungan yang menempel di atas dinding belakang pojok dekat jendela. “Hampir seminggu alpa.” Terdapat jeda beberapa detik, sebelum melanjutkan perkataan, ia berjalan ke depan mendekati remaja yang diam menunggunya. “Apa kamu lupa bahwa seminggu ini melaksanakan—”

“Assessment? PAT?” terka si penjawab, lagi dan  lagi jawabannya itu disertai dengan pertanyaan, terlihat dari alisnya yang kembali terangkat dan kepala yang sedikit dimiringkan. Detik selanjutnya, mengubah posisi berdiri menjadi duduk di atas meja dengan kedua tangan terlipat. Tertawa pelan tanpa menatapnya. “Gue tau kok.”

“Lalu?” Si penanya mulai penasaran dengan perkataannya yang terkesan berhenti begitu saja sambil menatap langit-langit kelas.

“Apa? Lo berharap apa sih dari gue? Berharap gue cerita semua yang terjadi terhadap diri gue sendiri, pas sebelum assesment? Apa gunanya buat gue? Sedangkan setiap kali gue kirim pesan, atau alasan apapun yang mengharuskan gue gak hadir ke lo … lo sama sekali gak pernah tuh nanggepin apapun, atau sekedar balas, ya, oke, siap, atau apalah respon lo itu. Gak cuma sekedar dibaca aja!"

Selain mendengarkan segala unek-unek dari teman kelasnya itu, sesekali melirik tangan dia yang  berancang-ancang mengeluarkan sebuah pulpen dari dalam rok, mencoret-coret meja yang berdiri paling depan, jajaran paling tengah. Dengan cekatan sebelum tinta itu menyentuh meja, ia menyentak pulpen tersebut dari tangan jahilnya.

Anehnya dia mengerang sambil memegang telapak tangan kiri yang tadinya memegang pulpen, padahal ia hanya merebut secara perlahan tanpa mencakar telapak tangan gadis itu menggunakan kukunya. 

“Aw, sakit tahu!”

“Jangan sesekali mencoret-coret meja atau dinding kelas. Sudah berapa kali kukatakan kepadamu, Zivara? Sekali, dua kali, tak mengindahkan aturan. Bahkan nasihat, atau hukuman dari  guru-guru saja sepertinya hanya angin lewat bagimu.”

“Ya, ya, ya. Terserah apa kata lo ibu ketua.”

Kanaya masuk ke dalam kelas setelah perdebatan dua remaja itu mereda. Dirinya tidak sengaja mendengar atau bahkan mengintip dari kaca pintu, awal perdebatan itu dimulai.

Zivara mengerutkan dahi, pertama kali bertemu seorang gadis yang sejengkal lebih tinggi dibanding dirinya. “Siapa lo?”

Kanaya mengerjap, pertanyaan tiba-tiba melayang ke arahnya, membuat Kanaya salah mengartikan.  “Manusia, lah. Emang situ pikir aku apa?”

“Setan.”

Kanaya berdecih. “Idih. Mana ada setan kakinya bisa napak!”

“Kalo ada manusia lagi ngobrol berdua, maka orang ketiga adalah?”

Spontan Kanaya menjawab, “setan.”

Zivara tersenyum sinis, berusaha menjentikkan jari tangan kanannya. “Anak pintar.” Ia turun dari atas meja, berjalan keluar meninggalkan dua perempuan di dalam kelas.

“Apaan sih dia, gak jelas banget,” gumam Kanaya.

Octa menghela napas, duduk di kursi yang mejanya bekas diduduki oleh Zivara. “Kamu juga sama anehnya dengan Zivara.”

“Aneh apanya, Ta? Orang imut-imut kayak gini.”

“Zivara menanyakan namamu, tetapi kamu asal jawab. Dan, kenapa kamu ke sini?”

Kanaya nyengir, ia meraba kantong rok biru navy, saampai satu benda yang sebelumnya ia temukan setelah seseorang menjatuhkannya di atas weshtafel toilet. “Aku nemu kutek hitam ini.” Octa menerima benda yang tidak asing baginya.

“Punya kamu bukan? Atau teman kamu? Soalnya tadi aku pas ngambil, pemiliknya jalan aja terus gak denger benda jatuh, terus tadi tuh cuma sempet liat pemiliknya jalan ke arah sini, cuma gak sempet aku buntuti karena bener-bener kebelet pipis.”

“Terima kasih,” ucap Octa tersenyum tipis, mendengarkan pengakuan Kanaya hingga akhir.

Kanaya masih bingung pun kembali mengulang pertanyaan yang belum terjawab. “Itu beneran punya kamu, Ta?” Octa menggeleng, memilih tidak menjawab karena bel masuk berbunyi, mengharuskan Kanaya kembali ke kelasnya, bersiap menerima soal-soal yang akan diujikan pagi ini.

Dilain  sisi Zivara tidak mendengarkan suara peringatan dari pengeras suara, yang menyuruh seluruh siswa masuk ke dalam kelasnya masing-masing. Ia terus mendumel di dalam toilet, suaranya yang sedikit keras terdengar menggema,  pantulan dirinya dari cermin menampakkan ekspresi  kelimpungan.

“Asli! Tadi kutek gue ke mana sih? Gue gak mungkin lupa naruhnya. Apa jangan-jangan ada yang ngambil?”

Ke sekian kalinya Zivara mengacak-acak rambut yang tertutup kerudung cokelat instan. “Ah, sudahlah! Nanti kan gue bisa beli lagi, tapi … gimana kalo sekiranya si Octa yang ngambil, terus dia cepu ke guru, terus guru cepu ke ayah, atau orang lain yang nemu terus ….” Zivara menggeleng-gelengkan kepala. “Nggak, nggak! Gak boleh terjadi! Kutek kesayangan gue pokoknya harus ketemu!”

“Benar-benar hari yang sangat menyebalkan!” makinya, 30 menit  mencari di dalam toilet, namun tidak kunjung membuahkan hasil. Zivara meringis, tangan kirinya terasa  sakit  seperti  kembali tersayat oleh benda tajam, perih. Padahal telapak tangannya sudah diobati dan tertutup plester.

“Sial! Gara-gara kejadian itu gue gak bisa nulis, apalagi megang sesuatu. Sedangkan tangan kanan gue, rasanya lemas dan kaku,” monolognya, mengusap tangan dengan sangat pelan. “Masa bodoh kalo gue harus ikut ulangan susulan, paling nanti gue di keluarin dari sekolah, pertama karena gue sering ngelanggar peraturan sekolah. Kedua, karena kehadiran yang bolong-bolong. Ketiga, gue gak ngerjain soal asesment.”

“Kalo gue di keluarin dari sekolah, gue bebas ngelakuin apapun. Gak ada yang ngatur-ngatur hidup gue, gak ada yang ngehukum gue karena ngelakuin kesalahan.”

“Gue bebas!” Zivara antusias mengabsen semua perilaku minus selama bersekolah di sini. Membayangkan segala kemungkinan yang akan terjadi jika dirinya berhasil di keluarkan.

“Sekolah ini bener-bener kayak penjara!”

Sebelum Zivara memutar knop, pintu toilet terbuka secara perlahan oleh seseorang dari luar. Saat terbuka lebar ia tahu siapa dalangnya, perempuan dengan ekspresi datar tanpa tersenyum dan kacamata bundar yang setia bertengger di hidungnya.

Ia berdecak. "Ngapain lo ke sini?"

Tanpa mengucapkan sepatah kata apapun, gadis itu langsung memberikan benda yang ia cari ke tangan kirinya.

Seketika rasa perih dan nyeri pun mulai menjalar, karena gadis itu memegang tangan dan menyimpan benda pada telapak tangan secara kasar. Zivara menggigit ujung bibirnya dengan kedua mata terpejam, menahan rasa sakit.

Sebelah alis gadis di depan Zivara terangkat, mungkin bingung melihatnya seperti menahan kesakitan akibat luka tusuk. "Itu yang kamu cari 'kan?" tanyanya, memastikan.

Zivara tidak menggubris. Padahal sebelumnya gadis itu menyadari bahwa tangan kiri Zivara sedang tidak baik-baik saja.  "Lo sengaja nyari gara-gara?" Matanya melotot, gigi geraham mengeras dengan suara melirih.

Muslimah BerprestasiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang