✨🌙Cafe Thyera🌙✨

3 0 0
                                    

"Assalamu'alaikum tante."

"Waalaikumsalam ... Eh, Tata ...." Wanita itu mengusap lembut kepala Octa yang tengah mencium telapak tangannya. "Udah lama tante gak lihat kamu sejak Tiara udah gak ada."

Gadis itu tersenyum canggung. "Iya, tante. Ke sini aku sama temen-temen mau numpang belajar, boleh kan tante?"

Wanita itu tertawa pelan. "Tentu saja boleh, nak. Sering-sering main ke sini juga gapapa."

Luthfiya semakin menunduk di belakang Fahima dengan kedua tangannya meremas almamater jas sekolah yang masih dipakai.

Setelah berbincang panjang dengan pemilik kafe, Octa dan dua temannya itu diajak masuk ke lantai dua, di sana suasananya begitu menenangkan, ada buku-buku yang terpajang tiap rak, instrumen piano mengalun di dalam ruangan, pemandangan yang mengarah matahari terbenam ditambah tidak terdengar suara berisik seperti di lantai dasar dari atas sini sangat mendukung mereka belajar dan fokus. Hening, bahkan suara kendaraan saja tidak terdengar padahal kafe ini berada di pinggir jalan.

"Kanaya sama Zivara apa masih lama di toilet?" tanya Fahima memecah keheningan antara Luthfiya yang tiba-tiba menjadi sangat pendiam, dan seperti biasa jika Octa sudah memegang buku, maka dia lebih fokus membaca dari pada memperhatikan sekitar.

Terdengar suara yang sangat familiar mengobrol bersama pemilik kafe ini.

Luthfiya yang penasaran dengan siapa Kanaya berbicara terpaksa menuruni anak tangga, terlihat ibunya Tiara hendak menuruni tangga tertawa riang bersama Kanaya—seperti mereka sudah sangat dekat.

Sedangkan Zivara berniat mendahului Kanaya, tidak mau menonton hal yang kurang bermanfaat bagi dirinya. Saat menaiki tangga terakhir, ada Luthfiya yang berdiri. "Weh, lo ngapain berdiri di situ?" Yang diberi pertanyaan hanya menggeleng.

"Kamu masuk aja ke dalam, aku pengen di luar sebentar." Zivara tidak membantah.

"Tante Vina! kok, tante gak pernah cerita ke Ani kalo tante punya kafe sebagus ini, sih?"

"Loh, gimana tante mau cerita, setiap kali tante ke rumah kamu, kamunya masih di pesantren."

"Ya, kan bisa cerita pas Ani pulang, lagian kenapa coba setiap lebaran tante gak ada di rumah?"

"Loh, kan, tante juga mau mudik ketemu keluarga tante."

Keduanya tertawa pelan. Sedangkan orang yang memperhatikan mereka semakin mencengkram pembatas tangga yang terbuat dari besi.

"Eh, iya, tante. Maaf ya Ani gak dateng pas waktu itu ...," ujar Kanaya, mengungkit hari di mana Vina kehilangan anak semata wayangnya akibat kecelakaan.

"Iya, gapapa."

"Kalo boleh tau, makam Tiara di mana ya?"

Luthfiya mengusap butiran air mata yang keluar. Kedua kakinya melangkah mendekati teman-temannya, sebelum Kanaya menyadari bahwa dirinya menguping obrolan dengan Vina—ibu Tiara. Luthfiya duduk di samping Fahima, tak lama Kanaya datang, bergabung tanpa ada niat mengganggu Octa tengah bercerita.

".... sebelum masuk kelas prestasi, dia selalu mengajakku ke sini untuk belajar bersama. Jika tidak di sini, dia selalu memaksa untuk belajar di perpustakaan. Sebelumnya aku tidak suka membaca buku, karena buku itu sangat membosankan."

"Akan tetapi, hidupku juga tak jauh membosankannya dengan buku, lain hal dengan orang yang tertarik membacanya, dia akan membaca sampai bab terakhir, tidak memandang sampul buku, bahkan sampai lupa siapa yang mengarang buku itu."

"Karena Tiara, aku jadi suka membaca, dia selalu menjadi satu-satunya orang yang menyemangati, dan menemaniku sebelum akhirnya aku masuk kelas prestasi. Tiara hanya menemani prosesku, tidak sampai melihat keberhasilan yang berhasil aku dapatkan atas kesungguhannya mengajariku. Karena Tiara pula aku punya harapan besar. Namun, setelah dia tiada ...." Octa menggeleng pelan.

Muslimah BerprestasiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang