Pagi yang cerah, menyambut kedatangan seorang gadis berparas manis melangkah memasuki area sekolah barunya, terlihat dari kejauhan bangunan sekolah ini tinggi seperti sekolah SMP pada umumnya, namun saat melangkahkan kaki masuk ke dalam. Tiga kali lipat jauh lebih dari apa yang ia bayangkan, bahkan sekolah ini terlihat sangat megah bak istana. Gadis itu tertegun, cukup lama memandang sekolah baru, suasana pagi menyejukkan dan sedikit orang berlalu-lalang.
Padahal dia sudah mulai bersekolah di sini lima hari lalu, namun rasanya seperti baru masuk hari ini.
Selama perjalanan menuju ke sekolah, ia tak hentinya tersenyum sumringah, karena dapat bersekolah di tempat yang sangat diidamkan.
Hari ini adalah hari pertama pelaksanaan Penilaian Akhir Tahun. Terdapat dua mata pelajaran hari ini, yaitu bahasa Arab, dan IPS.
Sebelum menjawab soal-soal yang berada di kertas buram, Kanaya membaca rentetan tulisan Arab, mengartikan satu per satu kata ke dalam bahasa Indonesia.
Soal nomor pertama yaitu:
١. هذا أبي هو طبيب
Kata yang digarisbawahi di atas artinya ....
"A, guru. B, polisi. C, dokter. D, petani," gumamnya. Tanpa berpikir panjang Kanaya langsung menyilang opsi C, pada kertas buram.
Gadis itu berhasil menjawab 20 soal pilihan ganda tanpa kesulitan, sampai-sampai teman sebangkunya berbisik, "Nay, ini yang nomor 19 itu gimana?"
Kanaya mengintip lembar soal miliknya yang sengaja ditimbun buku kosong agar tidak ada seorangpun mencontek jawabannya. "Oh. Gampang kok, cuma di terjemah ke bahasa Indo."
Maryam mendelik. "Ka-kamu bilang gampang?"
"Kenapa? Emang bagian sulitnya itu di mana sih?" tanya Kanaya, menganggap bahwa pilihan ganda yang tertera pada soal Penilaian Akhir Tahun itu tidaklah begitu sulit, jikalau memang sulit ia tidak akan mengambil pusing, cukup menerka-nerka jawabannya.
١٩. المهندس يبنى المدارس والمساجد والبيوت
Terjemahkan kalimat di atas ke dalam bahasa Indonesia!
"Ini, المهندس artinya guru, 'kan?"
Mulut Kanaya ternganga dengan kedua mata berkedip. "Hah?" Otaknya tiba-tiba lemot, mendengar pertanyaan dari Maryam, mengharuskan dirinya berpikir keras. "Kalo guru mah bahasa Arabnya مدرس! Maryam ... bukan المهندس!" ucap Kanaya, sedikit menaikan volume suaranya tepat di telinga Maryam gadis itu tersipu malu, menggaruk kepala yang tertutup kerudung putih, merutuki kebodohannya.
"Ya maaf, aku tidak tahu karena semalam lupa untuk belajar."
"Nah, karena kamu pikun, jadi soalnya jawab sendiri yah, salah sendiri nggak belajar."
"Yah, jangan begitulah Kanaya, setidaknya kamu membantuku walau hanya satu soal saja."
Kanaya berpura-pura layaknya berpikir keras, telunjuk mengetuk pipi kanan, dan mata terpejam. "Dibantu jangan ya?"
Kedua gadis itu terperanjat mendengar seorang pengawas berdeham cukup keras. "Kerjakan semua soal, jangan mengobrol!" tegasnya, membuat mereka mengangguk patuh.
Diam-diam Kanaya memperhatikan wanita paruh baya yang memakai kacamata itu berjalan ke depan sambil memperhatikan satu per satu murid yang mengerjakan soal.
"Ibu galak itu namanya siapa, Mar? Perasaan ibu-ibu itu nggak ngajar di kelas kita ya?" bisik Kanaya, saat kondisi sudah aman, guru itu keluar sedang berbincang dengan seorang wanita yang lebih muda darinya.
"Beliau namanya bu Tina, beliau itu wali kelas 8A kelas prestasi, nah, Bu Tina ini hanya mengajar di kelasnya, dan kelas regular, dan nanti saat kita kelas 9 bu Tina yang akan mengajar pelajaran Seni Budaya di kelas kita. Kalau sampai beliau mendengar perkataanmu tadi, pasti penghapus spidol di tangannya itu mendarat di kepalamu."
"Semoga aja nanti bu Tin Tin itu-"
Maryam menghembuskan napas, mengoreksi ucapan Kanaya, "Bu Tina."
"Iya, semoga nggak ngajar di kelas kita, di ganti sama guru cowok kek. Bosen tau, hampir setiap hari yang ngajar tuh, guru cewek mulu, kali-kali cuci mata ngeliat guru ganteng."
"Astagfirullah, Kanaya."
✨🌙✨
"Fahima Syarala Nadhifa, Luthfiya Zai Amira Rossa, dan Sherlina Zivara, ada yang mengetahui tentang mereka, mengapa saat Assesment tidak hadir?"
Salah satu murid perempuan berkacamata duduk di meja depan mengangkat tangannya hingga sang pengawas itu mempersilakannya berbicara.
"Luthfiya masih berada di rumah sakit, Fahima tidak bersekolah karena ayahnya meninggal, dan mengenai Zivara tidak ada informasi apapun, bu."
Wanita itu mengangguk. "Berarti Zivara absen?" Gadis itu menyetujui. "Baik, terima kasih Octavia atas penjelasannya."
Gadis itu mengulum senyuman, sang pengawas berdiri dari tempat duduknya sambil membawa beberapa kertas di tangannya. "Anak-anak ibu izin keluar sebentar ya."
Mereka menjawab serentak, "baik bu!"
Octa menghela napas, ternyata ketiga teman dekatnya itu sama-sama tidak hadir, dan di sini sudah hampir dua semester menetap di kelas ini, akan tetapi Octa tidak begitu dekat dengan siapapun selain mereka bertiga.
"Tumben Zivara tidak hadir tanpa keterangan, biasanya jika terjadi apapun atau mungkin dia sakit pasti mengirimkan surat," ucap seorang siswi memulai obrolan dengan temannya yang duduk berada di meja kedua paling depan setelah Octa.
"Iya, atau jangan-jangan dia sudah bosan untuk terus bersekolah di sini, karena kan dia paling sering mendapatkan nasehat para guru."
"Aku heran, kenapa dia sampai kepilih jadi ketua OSIS, padahal dia paling sering melakukan kesalahan di sekolah."
"Yah, apalagi selain menggunakan orang dalam?"
Lagi dan lagi Octa hanya dapat menghela napas, menatap kertas buram yang selesai dijawab dengan perasaan hampa. Ia berpikir seharusnya yang menjadi ketua OSIS itu adalah dirinya, bukan Zivara. Rencana yang tersusun secara terperinci, target yang akan dicapai sedemikian rupa, harus kandas begitu saja. Hanya karena dirinya harus check up ke rumah sakit bersama ibunya pada hari itu, tepatnya pada saat pemilihan ketua dan wakil ketua OSIS.
Bel pulang berbunyi, seluruh kertas soal yang sudah terjawab dikumpulkan. Octa keluar kelas paling akhir, ia tidak segera pulang ke rumah, melainkan berjalan di koridor yang menghubungkan ke ruang perpustakaan, tempat favorit sekaligus sebagai tempat dirinya serta teman-teman dekatnya kumpul di sini.
Suasana begitu menenangkan dari atas lantai tiga, memandangi orang-orang yang berlalu-lalang di bawah dari kaca jendela transparan besar.
"Aduh."
Octa menoleh, tidak ada seorang pun selain dirinya di sini, untuk memastikan Octa berjalan menelusuri suara tersebut.
Ternyata ada seorang gadis dibalik rak buku perpustakaan sedang membereskan buku-buku yang berserakan di bawah. Tanpa berkata apapun, tangannya membantu gadis itu merapikan buku-buku, dan menyimpan di dalam rak.
"Makasih ya," ucap gadis itu. Octa hanya mengangguk singkat, sedikit mendorong kacamatanya yang mengendur. Tiba-tiba gadis itu mengulurkan sebelah tangannya yang terdapat gelang tasbih hitam kecil. "Kenalin namaku Kanaya, Kanaya Ramadhani, namamu siapa ya?"
Octa membalas jabatan tangan dari Kanaya yang berkeringat dingin. "Octavia Destiyana Ramiza."
Kanaya mengerjap. "Waw, nama yang bagus," gumamnya. Memperhatikan Octa berjalan ke arah jendela. "Kamu suka menyendiri, ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Muslimah Berprestasi
Spiritual"Berjuang meraih rida sang Ilahi." -Muslimah Berprestasi- Mereka memiliki segudang prestasi, mimpi, dan harapan tinggi. Menjadi kebanggaan sekolah, peraih lima pringkat teratas berturut-turut, dan membuat banyak orang iri. Namun selain prestasi yan...