Perlu waktu untuk mengikhlaskan kepergian seseorang yang sangat berarti dalam kehidupan. Perlu waktu untuk tetap menjalani hari-hari seperti biasannya setelah ditinggalkan. Perlu waktu untuk menerima apa yang telah menimpa setelah tiga minggu kepergiannya.
—Ini perihal waktu.
Siapa yang tidak terpukul melihat cinta pertama seorang anak pergi untuk selamanya?
Siapa yang tidak nestapa jika hari-hari menunggu kondisinya membaik—dinyatakan sehat dan boleh pulang dari rumah sakit, membuat semua orang bahagia setelah mendengar kabar tersebut. Namun, alih-alih kabar bahagia yang didapatkan. Justru, hal yang tidak terduga, menambah duka mendalam untuk sang anak.
Yang dimaksud sehat di sini yaitu; sudah tidak merasakan sakit yang diderita selama kurang lebih satu bulan. Yang dimaksud pulang, sejatinya bukan pulang ke rumah, kembali bercengkrama dan menghabiskan waktu bersama keluarga. Melainkan, pulang, bertemu Tuhan.
"Ayah, sekarang udah gak sakit-sakitan lagi, ya? Ayah pasti bahagia di sana," gumam sang anak yang merindu kehadiran cinta pertamanya.
Desir ombak menerpa kedua kakinya di atas pasir cokelat yang lembut, kerudung hitam panjang mencapai pinggul tengah menari-nari bersama angin yang tertiup kencang. Langit jingga dan matahari yang tidak menyengat—moment yang paling ditunggu-tunggu pengagum senja.
Termasuk dirinya.
Namun, senja kali ini terasa menyedihkan, penuh kehampaan dan kekosongan.
Tempat ini adalah tempat favorit bersama keluarga kecilnya saat ia berumur lima tahun. Saat itu, belum memiliki seorang adik. Jadi, jika ditanya perihal kasih sayang orangtua, dirinya lah yang paling puas, karena dibesarkan penuh perhatian, kelembutan, dan juga masa-masa yang paling menyenangkan.
Entah mengapa, semakin dirinya berlama di sini, semakin terperosok dalam lamunan masa lalu.
"Ara, tanggap bolanya!"
Gadis mungil mengejar bola voli yang melayang menjauh, membuat rambut panjang kuncir kuda itu bergerak mengikuti ritme langkah kaki. Wajahnya sangat menggemaskan, pipi tembam, hidung sedikit mancung—bagaikan blesteran orang Indonesia dan orang Arab.
"Ayah! Bolanya, Ayah!" teriak sang anak, panik, menunjukkan bolanya yang perlahan hanyut oleh ombak kecil.
Sang ayah mendekat, mengangkat tubuh anaknya yang sedikit berisi, berjalan dan semakin mendekati bola yang terbawa arus. Perlahan, semakin mendekat, air mencapai pinggang sang ayah, dan sang anak disuruh untuk menangkap bolanya.
"Ayo sedikit lagi, nak!"
Sang anak berusaha menangkap bola, namun belum membuahkan hasil. "Aku nggak bisa, ayah!" ucap sang anak, mulai frustasi.
"Ayo, berusaha sedikit lagi, Nak! Kamu pasti bisa! Ayo, sedikit lagi!" Sang ayah mengulangi perkataannya, menyemangati sang anak.
Tangan mungil gadis itu hampir menyentuh bola, dan—
"Yey! Bolanya dapat!" teriak sang anak, terlihat begitu antusias. Rasa senangnya kian bertambah tatkala sang ayah mengangkat tubuh sang anak ke atas lalu memutar secara perlahan.
"Anak ayah hebat!"
Ia merasakan ada seseorang yang memegang pundaknya. "Udahlah, jangan galau mulu!"
Ia melirik dua kawannya dengan kedua sudut bibir terangkat, hingga pandangannya kembali kosong menatap matahari—sejengkal dari permukaan air laut.
"Zivara, kalo aku nge-doa minta sama Allah boleh gak?"
"Lawak lu, ya tinggal doa aja segala pake nanya!" jawab Zivara, jengkel mendengar pertanyaan nyeleneh dari Fahima.
"Berarti, boleh ya kalo aku minta supaya ayah balik lagi."
Sontak mendengarnya saja membuat Zivara melotot dan refleks memukul punggung Fahima cukup keras sampai menimbulkan suara. "NGACO LO! YANG BENER AJA!"
Octa hanya bisa tersenyum tipis menonton kelakuan absurd dari mereka. Sejujurnya, ia merasa iri dengan keluarga Fahima yang terbilang cukup harmonis, tidak kekurangan kasih sayang sedikitpun dari orang tua, tidak mendapatkan perlakuan kekerasan dari ayahnya.
"Kata kamu boleh!"
"Ya, gue pikir lo doa nya bukan begituan!"
Fahima menatap Zivara sinis dengan mulut mengerucut. "Makanya kalo aku ngomong tuh dengerin sampai akhir, jangan dipotong."
Zivara meniru perkataan Fahima—ya begitulah, ia sangat tidak menyukai ada orang yang sok pintar menasehati macam Fahima. Sungguh menjengkelkan!
"Kalau ada Fiya, pasti tambah seru—"
"Ngapain lo ngajak-ngajak si mulut cempreng ke sini, jelas-jelas tuh bocah nggak bakalan ikut! Emang si, sok sibuk!"
Fahima tertawa pelan, melihat ekspresi kesal Zivara, sedikit membuatnya merasa tenang. "Mau bagaimanapun juga, kita harus menghargai Fiya—"
"Meng-har-gai?" Kedua tangan Zivara berada di atas pinggang dengan kepalanya sedikit miring. "Heh! Kita udah berapa kali maklumi dia! Waktu tahun lalu—"
"Kemarin waktu ke Mall, dia ikut," ucap Octa, baru angka suara.
"Udahlah, mending balik ke rumah!" murkanya, melenggang pergi mendahului yang lain.
***
"Ara, sini, Nak," panggil sang ibu.
"Iya, bu!" Ara segera mematikan ponselnya, berjalan mendekati sang ibunda di ruang tamu, tengah menjahit baju putih SD milik adiknya yang pertama.
"Kenapa, bu?" tanya sang anak, berdiri di samping sang ibu, memperhatikan ibunya fokus menutupi bolong pada bagian ketiak kanan menggunakan jarum dan benang warna senada.
Wanita itu menepuk-nepuk kursi di sampingnya. "Sini, nak, duduk." Sang anak menurut, menunggu ibunya berbicara. "Ara, kamu tahu restoran ayah tidak ada yang meneruskan, mau tidak mau ibu jual restoran itu untuk membayar hutang-hutang ayahmu."
Ara mengangguk. "Kebutuhan kita semakin hari semakin bertambah, termasuk ... Membayar listrik, sekarang sudah jatuh tempo, jikalau ibu telat membayar, listrik di rumah ini akan diputus sementara waktu. Ibu tidak ingin terus-menerus merepotkan pamanmu, Nak. Ibu tidak ingin membuat istri pamanmu itu risih. Bagaimanapun juga, ibu ... harus bekerja."
Kedua mata sang anak berbinar, senyumannya mengembang. "Ibu mau kerja di perusahaan? Seperti orang tua teman-temanku."
Namun, kebahagian sang anak perlahan luntur, mendengar respon dari ibunya. "Tidak nak, ibu ingin bekerja sebagai TKW di luar negeri."
Ara menggeleng, tidak rela. Siapa pula yang mau jauh dari orang tuanya? Seminggu pergi, ia boleh tahan kerinduan, akan tetapi bekerja di negeri seberang itu lumayan lamanya, dan mungkin ia tidak akan sanggup menahan diri untuk tetap sabar menunggu sembari menjaga dan merawat adik-adiknya.
"Kenapa? Ibu kan, lulus S3 komunikasi, kenapa tidak menjadi dosen saja? Kenapa tidak mengajar saja? Atau mencari pekerjaan yang tidak jauh dari rumah, atau mungkin ibu jadi freelance? Home work? Dan masih banyak lagi kan alternatif nya? Kenapa—"
Wanita itu tersenyum ramah, menepuk pundak sang anak menyalurkan rasa kasih sayangnya. "Sekarang kamu sudah dewasa, ibu yakin kamu bisa menjaga adik-adikmu." Ara menggelengkan kepala, pertanda bahwa ungkapan sang ibu tidak sepenuhnya benar.
"Ibu ...," panggilnya dengan suara mulai bergetar.
Sebelum mendekap anak sulungnya terlebih dahulu menyimpan benda tajam serta pakaian milik adik pertama Ara ke atas meja.
"Ara baru aja kehilangan ayah, bukan hanya Ara tapi adik-adik Ara juga, apa ibu yakin tetap pergi?" Ara semakin menundukkan kepala dengan kedua mata berkaca-kaca. "Kami sangat membutuhkan kehadiran orang tua, bu. Mungkin waktu aku kecil, aku tidak kekurangan kasih sayang sedikitpun dari ibu dan ayah, tapi lihatlah adik-adik, bu. Mereka masih kecil, sangat membutuhkan kehadiran ibu, apa ibu sudah memikirkan keputusan ini dari jauh-jauh hari?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Muslimah Berprestasi
Spiritual"Berjuang meraih rida sang Ilahi." -Muslimah Berprestasi- Mereka memiliki segudang prestasi, mimpi, dan harapan tinggi. Menjadi kebanggaan sekolah, peraih lima pringkat teratas berturut-turut, dan membuat banyak orang iri. Namun selain prestasi yan...