Setelah satu bulan libur sekolah, kini saatnya kembali memasuki tahun ajaran baru, kelas baru, dan tentu saja kawan baru!
Kanaya Ramadhani memulai harinya yang penuh keceriaan dengan membaca sholawat sepanjang perjalanan menuju kelas baru. Beruntung dua hari sebelum tahun ajaran baru, om brewok eh, maksudnya Pa Handi—mengajak Kanaya berjalan-jalan mengelilingi seisi sekolah, terkecuali memasuki lift—hal yang paling dihindari—khawatir listrik mati ia akan terjebak di dalam, khawatir jika ia menaikinya akan terjatuh, dan masih banyak lagi bentuk rasa khawatir yang menyebabkan Kanaya lebih memilih menaiki anak tangga.
Sebanyak apapun anak tangga yang akan dilewati, tidak membuat dirinya pantang menyerah, jika lelah ia akan berhenti beberapa menit sebelum melanjutkan hingga anak tangga terakhir.
"Ayo Nay, naik lift aja! Naik tangga tuh lama! Nanti masuk ke kelas jadi lama, belum lagi kan mau upacara," ucap Maryam.
"Enggak, ah! Mending naik tangga aja, sehat."
"Capek, udah naik lift aja, hemat waktu!" Maryam mencekal tangan Kanaya, berusaha untuk memaksa, namun Kanaya lagi dan lagi menolak secara halus. Dan akhirnya, Kanaya berjalan menuju kelasnya di atas lantai empat, memakai anak tangga sendirian.
"Gapapa Mar, tanggung udah naik satu setengah lantai ke dua, masa aku harus mundur buat milih naik lift? Tenang aja aku bisa pastiin ke kelas tepat waktu kok, lagian apa yang udah aku mulai dari awal, nggak boleh berhenti di tengah jalan, pamali."
"Ya sudah, kalau tidak mau. Sebelumnya informasi buat kamu, kalau bosan datang ke kelasku ya! Di kelas Prestasi yang aku tahu, mereka itu orang-orang individualis, dan bermuka dua."
Dahi Kanaya mengerut, tidak mengerti. "Individualis? Maksudnya?"
Mnaryam menghela napas. "Orang-orang egois, yang hanya mementingkan diri sendiri dari pada orang lain, ngerjain tugas sendiri, kalau ada tugas kerja kelompok sering kali dikerjain sendiri, ya pokonya begitu lah, itu kata kakak kelasku dulu, entah sekarang kelas Prestasi memang mewariskan tabiat seperti itu, atau sudah pudar."
"Sudah ya, aku mau langsung ke kelas, assalamu'alaikum!"
"Waalaikumsalam."
Pertemuan yang singkat, dirinya tidak satu kelas dengan Maryam lagi, entah nanti duduk bersama siapa, jelas-jelas Kanaya tidak begitu mengenal murid-murid pintar yang bertahan di kelas Prestasi atau singkatnya mungkin kelas A.
Kanaya duduk menyender pada dinding, baru menginjak anak tangga kelima menuju lantai ketiga, sudah membuat dirinya kelelahan, tidak sanggup melanjutkan. Terbayang bagaimana nantinya selama dua semester terakhir ini terus-menerus memakai anak tangga dari pada lift, entah dimulai memasuki kelas, turun ke kantin dan pulang sekolah, belum lagi jika ada seseorang yang memanggil dari pengeras suara menyuruh Kanaya yang menyebabkan gadis malang itu naik-turun anak tangga.
"Mau sampai kapan lo kayak gitu?"
Kanaya menengadah, menatap siapa yang berbicara atau mungkin bisa dibilang sedang bertanya kepadanya.
Gadis di anak tangga keenam di atas Kanaya tersenyum meremehkan. "Dasar anak kampung, dari pada lo naik tangga, lebih baik ikut gue naik lift."
Kanaya tertegun dengan tawaran gadis itu, gadis menyebalkan yang pertama kali Kanaya temui dan sempat ia menuduhnya berpacaran dengan seorang lelaki di koridor kelas.
Kanaya tersenyum paksa, menolak secara halus tawaran dari orang itu. "Maaf ya, aku—" Ia tersentak saat orang yang berada di depannya, langsung menarik paksa tangan Kanaya agar mengikutinya menuruni anak tangga. "Heh, kamu! Jangan kasar dong! Main tarik-tarik tanganku!"
Tangan kiri mencengkram pergelangan tangan Kanaya, dan gadis itu sekilas melihat jam tangan melingkar di pergelangan tangan kanan. "06.54, lo masih berleha-leha di anak tangga, sampai ke kelas bisa aja sampai jam 07.15. Sedangkan upacara akan segera di mulai 07.00," ucapnya dengan suara terdengar tegas, membuat Kanaya seketika kikuk manakala gadis itu langsung menatap iris matanya tanpa berekspresi.
Gadis itu lihai menekan tombol lift, ada beberapa orang ikut masuk ke dalam, sedangkan Kanaya masih berdiri di ambang pintu lift, wajahnya terlihat pucat dan berkeringat dingin. Hingga, gadis itu kembali menarik paksa tangan Kanaya masuk ke dalam.
Kedua mata Kanaya terpejam dengan mulut berdoa, dan kedua tangan meremas pergelangan tangan kiri gadis itu yang terbalut jas almamater sekolah berwarna biru navy.
Napas Kanaya tidak beraturan, jantungnya berdegup kencang sampai terdengar oleh telinganya sendiri, terasa di dalam sini semakin pengap, dan getaran semakin terasa kuat. Rasanya memori buruk itu, akan terulang kembali dan mungkin saja lebih parah dari sebelumnya.
"Tolong, buka liftnya, Ani takut!"
Bahkan suara dirinya sendiri sewaktu kecil, terdengar begitu jelas. Kanaya semakin meremas tangan gadis itu, membuat sang empunya meringis pelan menahan rasa sakit, dan berusaha untuk tidak mempedulikan Kanaya.
✨🌙✨
Saat upacara berlangsung di lapangan terbuka, tubuh Kanaya semakin lemas, padahal pagi tadi ia sudah sarapan nasi goreng buatan sang mama. Kanaya berusaha bertahan, walaupun kepalanya masih terasa pening setelah menaiki lift, hingga suara Waka kesiswaan mengumandangkan pidatonya terdengar samar, penglihatan Kanaya semakin berkunang-kunang.
'Aku selamat, gak terjadi apapun tadi. Hal yang aku takutkan, gak terjadi, hal yang aku takutkan cuma berasal dari pikiran, kenyataannya berbeda, dan kenyataan gak selalu berdasarkan sama apa yang aku pikirkan.'
Gadis yang memaksa Kanaya menaiki Lift itu mengangkat tangan di arahkan kepada sekolompok orang yang berada di barisan paling belakang, setelah melihat ke arah Kanaya. "PMR! Ke sini!"
"Kenapa, kak?"
"Cepat bawa dia ke UKS, hidungnya mimisan."
"Siap, kak."
Kedua alis Kanaya saling bertaut. Perlahan ia pun menyentuh hidungnya, merasakan ada cairan yang keluar, berwarna merah.
Beberapa langkah keluar dari barisan, Kanaya sudah tidak bisa menopang berat tubuhnya, kedua mata terpejam dan kepala bersandar pada pundak anak PMR, menyadari Kanaya akan terjatuh, ia langsung menahan tubuh Kanaya dan membawanya menggunakan tandu bersama tiga anak PMR yang mendapatkan jadwal tugas berjaga di lapangan.
Beberapa siswa dan siswi yang berada di barisan paling belakang fokus memperhatikan Kanaya, termasuk gadis yang memaksa Kanaya tadi.
Selesai upacara ia berniat untuk meminta maaf seraya memberikan sebotol air putih dan satu roti, ke ruang UKS.
Sebelum masuk terdengar suara seseorang mengomel.
"Kamu kalau sakit jangan memaksakan diri! Sudah tahu kalau sekolah an-Nafi itu tiga kali lipat lebih besar dari stadion sepakbola!"
"Berlebihan banget kamu tuh, Mar. Aku gapapa, nggak sakit, cuma tadi kayaknya aku ... cuma kecapekan."
"Kata aku juga apa! Mending naik lift bareng!"
Ia langsung masuk ke dalam UKS tanpa mengucapkan salam, lalu menyodorkan roti serta air minum kepada Kanaya.
"Apa ini?" tanya Kanaya, heran. Tiba-tiba saja gadis itu bersikap baik kepadanya.
Maryam berbisik kepada Kanaya sebelum pergi meninggalkan tempat ini.
"Buat, lo," jawab gadis itu, tanpa berkata apapun lagi memilih untuk pergi meninggalkan ruangan. Membiarkan Kanaya beristirahat sejenak.
Kanaya sama sekali tidak memakan roti itu, ia kembali tiduran, menatap langit UKS sambil berperang dengan seisi pikirannya.
Aku pikir trauma itu sudah hilang, nyatanya trauma itu masih ada. Dan membekas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Muslimah Berprestasi
Spirituelles"Berjuang meraih rida sang Ilahi." -Muslimah Berprestasi- Mereka memiliki segudang prestasi, mimpi, dan harapan tinggi. Menjadi kebanggaan sekolah, peraih lima pringkat teratas berturut-turut, dan membuat banyak orang iri. Namun selain prestasi yan...