Chapter 8 | Oh, NO!!!
Maksud Zavan dengan tumbal itu, gue hanya disuruh berdiri di tengah-tengah selama mereka menari kayak lagi melakukan pesugihan. Di klub ternama. Klub gay. Namanya Apollo. Dulu, Maret dan banci-banci yang dia sebut sebagai pacarnya selalu mention tempat ini untuk bersenang-senang. Sekarang, gue ada di tempat ini dan dijadiin tumbal.
Oke, jadi gue memang ikut bareng Zavan. Rex awalnya nggak ngebolehin, dan gue merasa makin sayang sama dia. Karena dia mau ngelindungi gue. Sayangnya, hal itu nggak bisa terlaksana karena cowok yang matanya kayak Iblis itu-namanya Sid kalau nggak salah-mendesak Rex membiarkan Zavan menjadikan gue tumbal. Tujuan dari tumbal itu adalah supaya botty seperti Zavan akan selalu merasa perjaka dan lubang pantatnya sempit meski sudah disodok berkali-kali. Gue nggak mau ikut campur soal itu. Gue ngeri.
Waktu seorang striptease menggoyangkan pantatnya di selangkangan gue, jantung gue berdetak kencang. Gue serasa sedang dilecehkan. Mungkin detakkan ini terjadi akibat efek dari upacara pertumbalan ini deh. Gue juga nggak tahu pasti. Gue hanya ingin ini semua berhenti dan gue balik lagi ke sisi Rex. Mungkin kami bakal cipokkan di bawah temaramnya lampu disko. Oh, Rex dan bibirnya yang kenyal itu. Rex pasti nggak bakal nolak juga.
Speaking of the cipok-friend, dia lagi berdiri di sana. Dua puluh meter di depan gue. Melipat kedua tangan di dada dan melotot tajam ke arah dua striptease cowok yang masih saja menggoyangkan bokong montok mereka di selangkangan gue. Melihat matanya yang tajam itu, gue ngerasa dia lagi cemburu. Entah kenapa, pikiran kalau dia lagi cemburu itu buat gue bahagia. Karena bukan gue aja yang merasa risih saat dia lagi digodain sama pelayan di Diatmika Fullhouse tadi. Gue merasa kalau perjodohan yang sedang Mami gue lakukan ini berhasil, dan gue nggak peduli. Swear to my new hormone homo deh.
Bahkan gue nggak peduli Lolita mau nyabik-nyabik kontol gue dan dibuang ke kubah Merapi.
Lagu Gimme More yang dikumandangkan oleh DJ-nya membuat dua striptease yang masih sibuk dengan bokongnya itu makin menggila. Zavan bahkan menggerakkan tubuhnya seakan-akan dia sedang kerasukkan arwah keperjakaan gue. Matanya merem-melek seperti sedang ke-enakkan disodok. Gue melirik ke beberapa orang yang ikut menari seperti Zavan. Gue makin bergidik ngeri. Gue nggak mau mati. Karena tujuan tumbal ya mati. Gue kan masih mau cipokkan sama Rex. Meski itu pikiran yang nggak seharusnya gue kumandangkan dalam otak gue karena gue ini masih straight. Oke, mungkin.
Sedikit straight. Atau Bisek. Atau apapun itu. Call it what you want!
Sekarang Zavan dan beberapa orang melempari badan gue dengan kondom. Lalu berteriak serempak, mengalahkan dentuman musik. "Hombala hombala hem-hem, lana lana cong beng-beng, jungkling-jungkling perjaka ting-ting, mokana-mokana bling-bling."
Lalu badan gue seperti kesetrum. Oh, God! Ini seriusan, ya? Gue beneran mau dijadiin tumbal?
Wajah gue pucat pasi. Mati belum ada di daftar hidup gue untuk saat ini. Iya, sih, gue sempat ingin bunuh diri. Itu kan karena gue masih denial sama keberadaan Rex di hidup gue. Sekarang sudah nggak lagi. Gue sudah siap menjadi... setengah homo. Istilah untuk setengah homo ada nggak, ya? Pokoknya gitu lah. Gue nggak mau tiba-tiba sudah ada di neraka pas buka mata. Tapi gue juga nggak mau jadi hantu. Ya, masa gue jadi hantu akibat dijadiin tumbal untuk para homo yang ada di sini. Karena gue masih perjaka di umur gue yang sudah kepala dua ini. Kalau iya gue mati, pasti bakal ada Sutradara homo buat film horor tentang gue. Judulnya:
Dendam Sang Tumbal Setengah Homo!
Terus cover-nya foto gue waktu di party Halloween-nya Demian. Mata melotot sambil meletin lidah. Itu foto jelek banget. Tiap gue lihat rasanya gue pengen berubah jadi Sailor Moon aja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Horrible Life!!!
HumorFebri nggak pernah menyangka hidupnya akan penuh cobaan. Maksudnya, Febri tau betul dia nggak laku dan masih perjaka sampai umurnya berkepala dua. Oh, itu nggak penting. Tapi tetap membuat Febri nelangsa. Sampai akhirnya dia bertemu dengan sosok Rex...