Horrible X-ray!!!

22.5K 1.7K 219
                                    

Chapter 35 | Nggak jadi sad ending!

Sekali lagi, gue mengguncang-guncang tubuh Rex, memanggil nama cowok itu dengan putus asa. Kalau dia mau mati, please, cari tempat yang lebih bagus. Jangan di tengah jalan begini. "Rex?!" Gue meremas kuat-kuat tangannya yang masih hangat. "REX?!"

"Berisik, Febri!" balas Rex, membuat gue menunduk. Gue menatap wajahnya, mata Rex masih terpejam. Tadi dia ada ngomong, kan? "Kamu jangan teriak-teriak, kepalaku makin pusing."

"Eh, kamu nggak mati?" Rex membuka matanya, menatap gue sengsara. "Kamu udah nggak gerak-gerak lagi, napas kamu nggak keluar dari hidung, kamu nggak jawab pertanyaanku. Aku pikir kamu udah dibawa pergi sama malaikat gitu, padahal kamu kan masih banyak dosa. Kamu belum jelasin semuanya. Kalo kamu mati pun, aku nggak bakal bolehin pergi."

Rex akhirnya kembali menghembuskan napas. "Kamu tadi nyuruh aku jangan banyak gerak, ya aku nggak banyak gerak." Wajah Rex mulai memerah. Gue ingin sekali berdiri dan bersorak pada semua orang yang lagi menonton di sini kalau pacar gue masih hidup. MASIH HIDUP! Sengaja pakek capslock biar dramatis. "Aku nahan napas bentar, tiap aku ngehembusin napas, kepalaku pusing. Aku mejamin mata karena pandanganku berkunang-kunang." Rex membalas genggaman tangan gue. Dia menyelusupkan kepalanya ke dalam perut gue yang kembang-kempis karena cemas. "Aku tau kamu panik, tapi jangan teriak-teriak Febri. Banyak orang."

Gue mengernyit. "Aku tau, tapi aku kira kamu mati. Makanya aku ber-drama kayak di sintron-sinetron. Ternyata kamu masih hidup, nanti rating sinetron kita turun." Bisa gue lihat Rex tersenyum kecil mendengar lelucon gue. Dia tahu kalau gue sedang menghibur diri sendiri agar kepanikkan gue nggak makin menjadi-jadi. Darah dari kaki Rex masih mengucur, seperti selang air. Dan itu mengerikan. Gue takut dia kehabisan darah. Ambulans sialan itu mana, sih?! "Kamu pura-pura mati lagi, biar ada yang nangis. Tadi aja ada Ibu-Ibu mewek."

Kekehan Rex yang sangat menakutkan itu, semakin menakutkan kalau dia lagi dalam kondisi utopia seperti ini. "Aku masih nggak bisa ngerasain kakiku," beritahunya, gue mencoba untuk nggak melirik ke arah kaki kirinya yang remuk. Bisa gue lihat kaki itu agak bengkok, mungkin patah. Semoga aja nggak diamputasi. Meski kalau Rex kehilangan kakinya gue akan tetap ada di sisinya. Gue cinta sama dia. Dan gue sangat takut waktu mengira telah kehilangan dia. Mata gue dibukakan karena hal itu. "Aku bakal cacat, Febri."

"Nggak apa-apa," ujar gue, menenangkan. "Aku mau punya pacar cacat, biar anti mainstream."

Dia menyuruh gue menunduk, lalu berbisik. "Makasih. Aku cin-"

Kata-katanya terputus, bunyi mobil ambulans yang amat berisik itu membuat Rex berhenti. Gue menoleh ke arah mobil itu, dua orang petugas keluar dari dalamnya dengan cekatan. Salah satu-nya menghampiri kami, memeriksa keadaan. Sedangkan yang satu lagi mengeluarkan stretchers.

"Sudah berapa lama dia di sini?" tanya petugas itu, mengecek nadi di leher Rex.

"Lima belas menit, mungkin. Atau lebih." Afi yang menjawab. "Bisa dibawa pergi sekarang?"

Petugas itu mengangguk cepat. "Harus! Dia sudah kehilangan banyak darah. Bisa gawat." Petugas itu melirik temannya. "Kode merah. Langsung minta penanganan dokter."

Selama Rex dinaikkan ke stretchers, gue sama sekali nggak mau melihat. Rex merintih keras-keras, suaranya yang serak seperti tenggelam di tenggorokannya. Afi menarik gue ke dalam dekapan-nya. Setelah Rex sudah masuk ke dalam ambulans, gue mengikuti. Ingin menemani cowok itu di dalam sana. Dia nggak boleh sendirian. Gue mau mengganggu dia dulu, supaya dia tetap hidup. Pokoknya dia nggak boleh mati! Gue masih mau cipokkan sama dia. Sama itu juga. Ya, ampun! Kenapa gue malah mikir soal itu, ya?

"Maaf, kalau boleh tau Anda siapa korban?" tanya petugas yang mengangkat Rex tadi.

"Pacarnya," jawab gue tanpa tahu malu. Semua orang yang tadi jadi penonton kami terhenyak kaget. Peduli setan! "Bisa saya masuk ke dalam sekarang? Pacar saya sekarat, you know." Petugas itu mengangguk. Gue pun menginjak pijakkan untuk naik ke dalam ambulans. Gue berbalik, menatap Afi. "Lo telpon Bunda sama yang lain, ya. Kasih tau. Kami bakal ke rumah sakit... ke rumah sakit mana kita, Pak?"

Horrible Life!!!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang