Horrible Kudos!!!

24.3K 2.2K 230
                                    

Chapter 22 | Damn out loud!

Gue langsung memalingkan wajah. Bukan berarti gue nggak mau dicium sama Rex, ya. Cuma... gue bingung. "Lo mau ngapain?"

Nggak ada jawaban, hanya hembusan napasnya yang teratur itu terus-terusan membelai pipi hingga menjalar ke leher gue. Rex akhirnya menjawab dengan bisikkan. Suaranya serak dan dalam. Juga agak bergetar. Membuat gue merinding. Dalam artian yang bagus. "Nyium lo."

Gue mendorong tubuh Rex kuat-kuat, membuat cowok itu mundur beberapa langkah dari gue. Mata kami saling menatap. Gue mencoba membaca sesuatu di matanya, tapi gue sama sekali nggak menemukan apa-apa. He is such a mystery. Atau asshole. Sekarang dia mau nyium gue, heh! Apa yang ada di pikirannya itu? Selama sebulan ini gue sudah mencoba untuk move on karena dia nggak menunjukkan keinginannya akan gue. Di saat-saat gue sudah bisa melupakan dia, that fucking guy datang lagi. Menghancurkan semua step-step move on yang hampir komplit.

"Gue sama sekali nggak ngerti lo, Rex," kata gue, mengakui kejujuran itu dengan nada suara setajam mungkin. "Sebulan yang lalu lo dorong gue menjauh, nyuruh gue untuk nggak berharap apa-apa dari lo. Sekarang, di sini, cuma kita berdua dan lo mau nyium gue. What the fuck is wrong with you? Gue bingung, Rex. You-God!"

"I'm sorry," bisiknya. Mungkin untuk dirinya sendiri. "I'm sorry, Febri."

Ini benar-benar nggak tertahankan. "Lo sebenernya mau apa, Rex? Apa yang lo mau dari gue?"

Dia mendesah. Menggulung lengan kemejanya untuk mengalihkan matanya dari mata gue. "Gue nggak tau, Febri. Gue sama sekali nggak tau apa yang gue mau dari lo."

"Lo nggak tau?" desah gue kecewa. Juga marah. Sakit hati. Bingung. Semuanya dicampur jadi satu. Great! Andai saja Mami nggak pernah menjodohkan gue sama dia. Nggak akan kayak begini gue sekarang. Penyesalan memang selalu datang belakangan. Kalaupun Mami mau menjadikan gue homo, kenapa dia nggak menjodohkan gue sama... hmmh, sama siapa, ya? Oh, terserah deh. Sama Raynold juga boleh. Meski sebenarnya gue nggak begitu suka bule. Ditilik dari pengalaman gue soal bokep homo yang gue lihat pas Mei tonton, punya bule kayak rudal. Gue nggak siap buat di-bom. Terus pantat gue meledak. Never mind. "Stay away from me, then."

Rex menggeleng. Cowok labil sialan. Kenapa dia nggak mengangguk, heh? "Gue nggak bisa."

"Tapi lo pengen gue ngejauh dari lo?" tanya gue dingin. Dia pikir dia aja yang bisa? Oh-oh, gue bakal kebal sama sifat sok dinginnya itu. Apalagi saat dia mengangguk atas pertanyaan gue tadi. Really, Rex? Dia benar-benar asshole. Douchebag! Dickhead! Kalau dia memang meinginkan hal ini, fine! Let's play this fucking game! Kita lihat siapa yang akhirnya kalah. Dan tentu saja itu bukan gue. Kalah nggak ada di kamus hidup Febri. Dia mau jadi asshole, gue pun bisa.

Tanpa aba-aba, gue langsung mendorong tubuh Rex hingga merapat ke dinding kamar mandi. Mencium bibirnya yang kering dengan kasar. Rex terkesiap, kedua tangannya memegang bahu gue erat. Nggak lama setelahnya, dia membalas ciuman gue. Gue paksa masuk lidah gue meski dia belum membuka mulutnya. Rex menyambut lidah gue dengan suka cita. Tangannya sudah pindah ke pinggang, tangannya yang satu lagi meremas pantat gue. Damn! Dia belajar dari mana hal itu, hmmh? Pasti dari bokepnya Kakak Cantik. Nggak mau kalah, gue membelai lehernya. Yang satu lagi gue masukkan ke balik kemejanya. Tangan gue merinding saat menyentuh bulu-bulu halus yang tumbuh di bawah pusarnya. Gue naikkan tangan gue hingga ke perutnya yang rata, kencang dan nggak beraturan karena napasnya patah-patah.

Gue mencubit putingnya cukup kencang. Rex tersedak. Gue langsung menjauhkan diri dari Rex.

Kami bertatapan. Bibir gue agak bengkak karena gigitannya tadi. Leher Rex agak merah karena goresan kuku gue. Sambil tersenyum lebar, gue pun berbalik pergi. Gotcha! You're so dead, Rex!

Horrible Life!!!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang