Namaku Aira, kekasih Sadam Prananta. Berbicara tentang kekasih ku itu, dia tampan, tinggi, wangi, pecinta kucing, sangat menyukai bayi, matanya yang menyipit ketika tersenyum menjadi salah satu ciri khasnya, pahatan rahangnya yang sempurna membuat semua orang iri melihatnya. Hal lain yang membuatku jatuh cinta pada pemuda berusia 23 tahun itu karna dia sangat menggemaskan. Sadam tipekal orang yang selalu mengabari apapun yang akan dia lakukan tanpa ku tanya sekalipun, dia dengan senang hati mendengarkan semua cerita randomku walau telah melewati hari yang melelahkan.
Ada banyak hal yang membuatku jatuh cinta padanya, bahkan disaat masa tersulit, dengan menatap fotonya saja membuatku tersenyum, apalagi mendengar suaranya. Rasanya seperti, apapun masalahnya ketika bersama Sadam semua akan baik-baik saja.
Tapi itu dulu. Setelah melewati banyak hal perlahan semuanya pun berubah, Sadam yang ku kenal tidak seperti dulu lagi, Sadam yang aku kenal perlahan menjadi orang yang sulit aku kenali dan aku yang seiring berjalannya waktu semakin kelelehan, bukan salahnya, ini juga salahku yang terlalu kesepian dan terus menginginkan kehadirannya, sampai pada akhirnya kita berada pada kata yang seharusnya tidak pernah terucap.
"Aku boleh ngomong?" Izinku memecah keheningan,
Sore yang cerah dan angin yang berhembus lembut, harusnya saat ini kami menikmati waktu bersama setelah Sadam disibukkan dengan kerjaannya, sangat jarang Sadam bisa meluangkan waktu untukku, bukan karna dia tidak ingin namun jarak Bandung dan Karawang cukup melelahkankan,
"Boleh" jawabnya tenang.
Aku memandangnya dengan senyuman tipis, tapi mata indah yang selalu aku kagumi itu tidak tertuju ke arahku, di sudut keramaian alun-alun kota, matanya berkeliaran menatap langit sore yang indah. Awalnya aku ragu, namun jika tidak ku teruskan entah sampai kapan kami akan berada dalam keadaan yang seperti ini.
"Aku capek" kata yang ku ucapkan barusan berhasil menarik atensinya, matanya memandang kearahku dan seketika itu juga dia mulai beranjak dan berusaha menggapai tanganku.
"Kita pulang" aku menahan tangannya, dengan tersenyum tipis aku kembali berucap "Gak bakal lama, bentar aja, ya?" Untuk sesaat Sadam terlihat enggan tapi aku harus menyelesaikan semuanya sekarang.
Cukup lama kami saling menatap, sampai akhirnya dia melunak, Sadam kembali memposisikan diri duduk disebelahku,
"Gausah ngomong yang aneh-aneh, aku males brantem"
Aku tetap mempertahankan senyumku "Gak aneh-aneh" aku menarik nafas dalam-dalam, memilah kata yang tepat untuk ku keluarkan. Aku tau Sadam lelah dengan kehidupannya dan akupun sama lelahnya, dunia Sadam tak selalu tentangku namun duniaku selalu tentang Sadam.
"Sadam, yakin gak kita bakal bisa bareng terus dengan keadaan yang kayak gini?"
Melihat bibirnya bergerak seakan ingin berbicara, aku menggenggam tangannya lebih erat dan menggelengkan kepala pelan, memberi isyarat agar tidak memotong apapun yang akan aku katakan.
"Iya, aku tau kita emang udah lama, banyak hal yang udah kita lewatin, akan sia-sia kalo kita berenti sekarang. Tapi Dam, kita gak bisa selamanya kayak gini kan? pikirin baik-baik lagi kamu masih mau aku atau engga?" Aku menatap matanya yang juga sedang menatapku, mata indah yang kadang membuatku tidak bisa berkutik, aku tidak tau apa arti tatapan itu dan aku tidak ingin menebak-nebak,
"Di hubungan kita, aku yang selalu ngemis, minta waktu kamu, aku yang haus kasih sayang kamu, aku yang bodoh selalu maafin semua kesalahan kamu dan itu yang buat aku capek, tenaga ku abis" sial, tatapannya tidak berubah, apa yang dia pikirkan?
"Kamu tau gak? Katanya kalau orang banyak pikiran bisa bikin jerawatan? Liat deh muka ku, udah hampir full sama jerawat, kadang malu tapi yaudah lah" Aku tersenyum getir melihat tidak ada ekspresi apapun diwajahnya
"2 minggu kamu ngilang gada kabar, aku mikirin kamu, kamu baik-baik aja apa engga, kamu lagi sama siapa, dan sekarang? Kamu bahkan gak nanya keadaan aku gimana, aku sehat apa engga, aku sakit apa engga, apa yang kamu pikirin, Dam?"
Diam. Sadam membisu cukup lama.
"Semua keputusan ada di kamu, mau berubah atau putus, apapun itu aku terima" yang Sadam tidak tahu hatiku berteriak ingin dipertahankan,
"Kita break dulu". Aku menggelengkan kepala tidak setuju dengan keputusannya. Bukan break yang aku mau, aku mau Sadam ku yang dulu. Sial, ke apa sangat susah mengatakannya?
"Ini udah ketiga kalinya kita break, aku gak nemu apa-apa malah makin kesepian, aku gamau. Mungkin dengan kita break kamu bisa tenang tapi aku engga, yang ada aku makin overthinking, semua fikiran jelek masuk ke otak aku dan nyakitin hati aku" dengan sekuat tenaga aku menahan airmataku. Ku kira orang yang sudah sering disakiti tidak akan pernah merasa sakit lagi, tapi ternyata aku masih bisa merasakan sakit.
Sadam terdiam melihat airmata yang aku tahan di pelupuk mataku, dan sialnya pertahanan ku runtuh, buliran air mata jatuh, tidak banyak, karna aku masih berusaha menahannya, aku juga tidak ingin menangis tapi aku cengeng.
Mungkin karena Sadam enggan melihatku berlama-lama menahan airmata, dia pun meraih tanganku dan mengajakku pulang, aku tidak menolak, menggenggam tangan besarnya adalah salah satu kesukaan ku, bisa saja ini akan jadi yang terakhir?
Sepanjang perjalanan aku terdiam, menatap kosong pada setiap jalan yang kami lewati, airmata ku sudah mengering tapi lukaku tak kunjung mengering, lagi lagi aku gagal mendapat jawaban, apa yang Sadam mau? Jika sudah tidak ingin kenapa tidak melepaskan? Jika masih ingin kenapa bersikap seolah tak ingin?
Sesampainya depan rumah, aku menuruni motornya dan melepas helm, aku menunduk enggan melihatnya, Sadam pun hanya terdiam.
"Gih balik, udah magrib" usirku yang masih enggan menatap wajahnya.
Tanpa ku sangka Sadam mengeluarkan kata yang paling tidak ingin ku dengar, walaupun ini tujuan awal dari pembicaraan ku tadi tapi ada pilihan lain, "perbaiki" mungkin??
"Kita udahan aja" hanya itu, setelahnya dia menarik gas motornya meninggalkanku mematung didepan rumah.
Aku tidak menangis, aku hanya terdiam cukup lama lalu beranjak memasuki rumah, di dalam kamar aku hanya melamun lalu menatap layar ponselku berharap Sadam mengabariku dan mengatakan sesuatu yang bisa membuatku percaya bahwa tadi aku hanya salah dengar, tapi tidak ada. Bahkan notifku kosong. Kepalaku mulai sakit, berdenyut.
Apa semuanya benar-benar sudah berakhir?Bagaimana ini? Aku sudah terlalu bergantung pada Sadam, bagaimana aku bisa tanpanya? Sial.
Bahkan seminggu setelah kejadian itu kepalaku masih sering berdenyut hebat, aku semakin kurang tidur atau bahkan tidak tidur, mungkin mantra tidur dari Sadam sudah tidak mempan? Iya, dia pernah mengatakan padaku dulu,"kalo kamu gabisa tidur taruh hpnya,berdoa terus pikirin hal hal yang buat kamu senang, contohnya aku" aku menyebutnya mantra tidur karna sangat ampuh. Apa karna sekarang ketika mengingatnya hatiku sakit
***
Sadam
KAMU SEDANG MEMBACA
Sadam
Teen FictionSadam mungkin tidak tahu kalau dia jatuh cinta terhebat yang pernah aku rasakan, Lalu, patah hati yang tak berujung.