10 - Hidup Sengit

4.5K 525 103
                                    

Terasa sepi, sama seperti hari-hari sebelumnya ketika langkahnya telah menginjak halaman rumah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Terasa sepi, sama seperti hari-hari sebelumnya ketika langkahnya telah menginjak halaman rumah. Sangat jarang mendapati kedua orangtuanya menyambut kehadiran sang anak di depan pintu, tapi hari ini pemandangan tak biasa kembali Dirga rasakan setelah terakhir kali menemukan sambutan serupa ketika umurnya masih delapan tahun.

Sang papa yang kemarin malam masih memberikan kabar bahwa tak bisa pulang pada bulan ini, justru telah tiba di rumah. Dengan sebuah senyuman penuh arti sembari memberikan isyarat pada sang anak untuk masuk.

"Bukannya masih ada kerjaan di Makassar?" Sembari duduk, melepas ransel serta merapikan rambutnya, nampak acak-acakan karena lari tergesa guna mengambil ponselnya yang tertinggal di kantin.

"Tepat satu minggu yang lalu, kontrak Papa sudah habis. Tidak ada masa perpanjangan, karena perusahaan memiliki peraturan bagi mereka yang telah bekerja selama sepuluh tahun, akan mengalami regenerasi."

"..."

"Papa sengaja tidak memberitahu kamu dan langsung pulang begitu saja, karena Papa belum siap menjawab sejuta pertanyaan yang bersarang di benak kamu--"

"Dirga nggak akan paksa Papa untuk jawab semua pertanyaan itu. Tanpa perlu dijelaskan, Dirga sudah mengerti akan kecemasan Papa."

Arini telah menceritakan segalanya, perihal keadaan sang suami yang diharuskan untuk beristirahat lama setelah kontrak habis, serta semua hal yang berada dalam tanggung jawabnya, termasuk biaya pendidikan kedua anaknya.

Tahun-tahun sebelumnya memang tidak begitu kentara mengenai kesulitan yang telah dialami orangtuanya. Bersikap biasa saja seolah masih mampu dengan keberhasilan Dirga meraih nilai terbaik pada jurusan teknik sipil dalam ujian masuk Universitas, sangat disayangkan jika prestasi itu berhenti di tengah jalan tanpa dukungan dari orang tua.

Anak pertama adalah harapan awal orang tua. Ingin melihat pilar-pilar menjulang yang mengatasnamakan karya seni dari sang anak, tanpa ragu mendukung setiap pengeluaran yang selama ini tidak bisa dikatakan sedikit.

Masuk ke dalam kamar, membuang ranselnya ke ranjang sembari melangkah ke arah balkon.

Suasana sendu dari lantai dua semakin membuat kepulan asap rokoknya membaur dengan tiupan angin. Melihat kendaraan beroda empat yang baru saja keluar dari halaman rumahnya semakin menambah rasa sakit karena merelakan sebuah penyalur kenangan berada di genggaman orang lain.

Amar resmi menyerahkan mobil sejuta kenangan tersebut kepada pemilik barunya. Tak ada harapan lain, membangun usaha pun perlu modal tinggi, tak cukup bila uang kompensasinya ia gunakan untuk memulai bisnis baru.

"Kamu nggak masalah kan, kalau berangkat kuliah naik motor?"

Tidak ada masalah apapun mengenai kalimat yang masih terngiang-ngiang tersebut. Hanya saja sebuah keinginan untuk mengendarai mobil kembali runtuh karena saat ini tak ada satupun kendaraan beroda empat yang terparkir di garasi.

Come on, Ga!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang