Keluar dari kantor, berjalan di belakang dua pria yang tengah membahas perihal kepergian mendatang. Bagi Agatha, tempat yang dipilih Sabara tak terlalu jauh dibanding merelakan tahun-tahun terberatnya di New York. Sempat memiliki planning untuk menempati kota tersebut, namun berangsur mundur karena tak kuasa untuk jauh dari lingkup sang putri.
Agatha bisa mengunjungi pria itu satu bulan sekali atau mempergunakan waktu libur semesternya untuk singgah selama satu atau dua bulan. Menikmati healing berkedok mengutarakan rasa rindu sepertinya tak terlalu buruk daripada tak berkunjung sama sekali.
"Papa harap kamu segera meninggalkan apartemen. Kemungkinan besar, Papa akan menjualnya setelah kamu pindah ke rumah, dan menetap di sana."
Dulu, saat sang mama masih dapat merasakan hembusan napas keluarganya, Agatha begitu bersemangat untuk pulang ke rumah. Tempat yang benar-benar dijadikan sebagaimana fungsi aslinya sebelum semua lebur, mengikuti sang empu untuk ikut beranjak.
Perlahan menjauh dari lingkup Sabara yang pada saat itu begitu getol dengan seringai serta senyuman kecil setiap kali menatap layar ponsel, semakin diperkuat kala satu persatu wanita asing datang ke rumah tersebut, membuat Agatha merasa tak ada gunanya menyaksikan puber kedua dari sang papa ... tepat di hadapannya.
Memilih untuk pergi selepas diberi tempat singgah, namun nyatanya kembali lagi dan berakhir di rumah yang tak ingin Agatha pijak untuk selamanya.
Mulut memang begitu tajam dengan setiap kenyataan yang ada, seolah tak ingin gadis itu menjauh dan justru kembali menyambutnya beserta sosok yang nantinya akan menjadi teman ataupun tempat pengaduan. "Ochie bakal nemenin kamu selama tinggal di rumah ini. Lumayan menetap lama, karena pekerjaan dia sekarang beralih menjadi dosen di kampus kamu."
Menatap gadis tak asing di sebelahnya, mengernyit kala menerima lambaian tangan beserta senyum hangat. Semakin membuat Agatha bingung perihal kalimat yang diucapkan Sabara.
"Bukannya Kak Ochie baru lulus S2 kemarin?"
"Gue nganggur hampir satu tahun!" sergah Ochie, tak terima jika Agatha mengatakan bahwa ia baru saja lulus.
"Kok, bisa jadi dosen? Perasaan kapasitas kepintaran otak lo nggak ada setengah, deh."
"Kurang ajar."
"Pake orang dalem, ya?" tanya gadis itu, membuat sang empu menjitak tepat pada ubun-ubunnya sebelum menarik koper. Membawanya ke dalam guna mengikuti Sabara dan juga Rama yang akan menuntunnya ke kamar.
Agatha pikir, dirinya akan kembali sendirian di rumah bak mansion tersebut. Tapi ternyata kakak sepupunya sengaja diundang Sabara untuk menemani sang anak. Entah dalam kurun waktu berapa lama, tapi Agatha yakin ketika Ochie sudah menikah nanti, dirinya tak akan merasakan kehadiran orang lain di sebelahnya.
Benar-benar sendiri, dan sepatutnya Agatha tak perlu khawatir dengan hal itu. Dirinya sudah terbiasa, bukan?
"Minggu depan gue udah mulai ngajar."
"Peduli setan," jawab Agatha, acuh dan merebahkan diri di ranjang lamanya. Merasakan sumber kehangatan yang entah mengapa begitu ia rindukan dari ruangan tersebut.
"Makin tengil aja nih, bocah," gumam Ochie, kembali menyeret kopernya ke kamar sebelah dan mulai merapikan beberapa keperluan miliknya.
Agatha tak masalah dengan kehadiran Ochie di sekitarnya, justru dengan adanya seseorang yang telah ia kenal sedari kecil, semakin memudahkannya untuk bertukar pikiran ataupun bertukar cerita perihal aktivitas yang baru saja dilalui.
Mengambil ponsel yang terletak tak jauh darinya, mengamati sekali lagi jam yang tertera di layar sebelum menepuk keningnya pelan lantaran lupa akan satu hal, "hari ini gue belum makan siang."
***
Akhirnya ada manusia baik hati yang mengerti akan kondisi perutnya. Mendapat traktiran untuk lunch pertama bagi keduanya sembari melayangkan cerita masing-masing.
"Kenalin cowok lo ke gue, dong!"
"Nggak! Yang ada bakal lo embat. Lo kan, pencinta brondong!" sergah Agatha sembari menusukkan garpu ke kentang goreng milik Ochie.
Gadis itu berdecih, turut menyeruput es krim yang telah mencair sebelum keningnya dibuat mengernyit dengan sosok asing yang tiba-tiba mendekat sok akrab.
"Tha, kebetulan banget ketemu sama lo di sini."
Agatha kontan mengentikan aktivitas makannya, mendongak dengan alis terangkat sebelah. "Ada perlu?" tanyanya setelah menghembuskan napas panjang, merutuki kehadiran gadis menyebalkan yang entah mengapa datang tanpa undangan.
"Ada, makanya gue tadi cari lo ke kantor. Tapi kata staff karyawan yang lain lo udah pulang. Gue bahkan udah telepon lo berkali-kali---"
"Mbak, bisa nggak kalau ngobrol duduk dulu? Atau nggak nunggu Agatha selesai makan?"
Haura langsung menoleh ke arah Ochie, menatap gadis itu dengan raut bingung sebelum mendapat sorot penuh isyarat dari Agatha untuk menyingkir terlebih dahulu.
Paham akan maksud tersirat tersebut, Haura lantas beranjak dari sana. Memilih tempat lain untuk menunggu Agatha selesai dengan aktivitasnya serta menyibukkan diri setelah memesan boba tea.
"Temen lo?"
Agatha menggeleng. "Sebatas kenal tanpa adanya status teman!" Tak ingin dicap sebagai sepasang sahabat ataupun teman, gadis itu bahkan akan menolak mentah-mentah keinginan Haura untuk menjadi temannya. Dulu mungkin dirinya akan berbangga hati mengenal seorang kakak tingkat yang bersedia menjadi partner dalam bisnis.
Akan tetapi setelah tahun ke dua mereka mengenal, Agatha merasa Haura tak ingin adanya orang lain yang mencampuri bisnisnya sekalipun Agatha---sosok yang dulunya mengulurkan tangan ... membantu dirinya mengembangkan bisnis tersebut.
"Partner bisnis?"
Berdehem sebagai respon akan pertanyaan Ochie, tak ingin menjawab 'iya' karena sejatinya baru merasakan penyesalan beberapa bulan ini.
"Oh.. yang waktu itu pernah lo ceritain? Siapa sih, namanya? Naura, Haura, Laura, Yura?"
"Haura, nyet!" desis Agatha, sesekali melirik ke arah Haura yang terlihat masih duduk tak jauh darinya, memainkan ponsel, benar-benar menunggu Agatha selesai dengan kegiatannya.
Jujur, gadis itu teramat muak kala berhadapan dengan Haura untuk yang kesekian kali. Hanya karena iming-iming sebuah keuntungan besar yang akan ia peroleh, Agatha merasa menjadi manusia bodoh karena begitu gampang diperdaya dengan orang tak tahu diri.
"Punya partner kaya dia sama aja makan hati setiap hari. Kalau ada maunya, sikapnya manis banget. Giliran omset tembus ratusan juta langsung putus kontrak secara sepihak.."
"..."
"Emang kocak kakak tingkat lo satu itu."
Jika sedari awal tahu sifat Haura seperti apa, Agatha mana mungkin memberanikan diri untuk membujuk sekretaris sang papa untuk apply permohonan dia? Dia bisa saja menolak Haura saat itu juga, tapi terlanjur termakan oleh bujuk rayu setan yang ia sesali sampai detik ini.
"Mending lo tarik semua dana perusahaan untuk produk dia dan bikin brand sendiri tanpa melibatkan orang asing sekalipun teman yang udah lo anggap kaya saudara sendiri!"
***Lanjut? Double up? Vote sama komen harus rame, sih!
KAMU SEDANG MEMBACA
Come on, Ga!
Teen Fiction"Hal bodoh yang terulang kembali, berharap mendapat validasi bahwa kamu pencium yang handal?" Sedari dulu penyakitnya masih sama. Belum sembuh atas keberanian serta remehan orang-orang yang membuat emosinya sering meradang. Melakukan berbagai cara...