"Nggak datang lagi, Ga?"
Secangkir kopi di pagi hari rupanya mampu membuat jiwanya sedikit lega, tapi tidak untuk sambungan telepon yang kembali berdering setelah ia matikan secara sepihak.
Menghela napas panjang, mencoba untuk mendengarkan kalimat permohonan dari Zony perihal agenda nanti malam. Dimana Sadam membuka sebuah peluang besar bagi mereka para jagoan yang berani mengalahkannya dalam adu balap mobil.
"Kesempatan besar yang seharusnya nggak lo sia-sia kan!"
"Nggak bisa, Zon. Gue harus nambah jam belajar gue buat jadi peringkat lima teratas di kelas unggulan batch pertama!"
"Tai!" sungut Zony dari seberang. Merasa kesal karena janji Dirga tak bisa dipegang, kemarin bilang 'iya' tapi ketika tiba pada hari H justru mangkir dari acara.
Untuk saat ini, Dirga tak mau menghabiskan waktunya untuk keluar tanpa adanya tujuan yang pasti. Ajakan Zony beberapa waktu lalu pun tak ia indahkan karena lebih mementingkan kepentingan pribadi demi mendapatkan nilai tambah pada semester ini.
"Dirga nggak mungkin setuju, Pa." Memelankan langkahnya ketika mendengar suara Arini dari arah dapur, mencoba untuk mendekat, bersembunyi di balik lemari kaca agar kedua orangtuanya tak menoleh dan menghentikan interaksinya kala melihat sang anak menatap keduanya dengan raut sendu.
"Itu adalah jalan satu-satunya bila nanti uang Papa belum kembali. Dirga harus cuti kuliah untuk sementara waktu karena bisa dipastikan Papa tidak bisa membayar biaya semester mendatang."
Jantungnya mendadak berdebar tanpa adanya sosok yang membuatnya jatuh pada cinta pertama. Bukan perihal asmara yang saat ini tengah menjadi permasalahan pada degup jantungnya, melainkan kalimat Amar yang seakan menyerah sebelum berperang.
Beberapa bulan lagi, semester baru tiba. Seluruh mahasiswa diwajibkan untuk membayar biaya kuliah tanpa adanya kekurangan ataupun memohon agar jatuh tempo diperpanjang. Jika Amar tidak bisa membayar uang kuliah sang anak, lantas bagaimana nasib mimpi yang menggantung di langit-langit?
Harus berusaha sendiri, mencari jalan keluar dari program beasiswa yang diadakan oleh kampus. Belajar ekstra setiap pagi hingga larut malam, serta menolak keras berbagai ajakan yang hanya menghabiskan waktu di tongkrongan tanpa membicarakan hal yang relevan.
"Minta tolong sama Kak Ochie aja ya, Tha. Aku nggak bisa nemenin kamu, soalnya masih banyak tugas yang harus diselesaiin."
Agatha mengerucutkan bibirnya selepas sambungan tersebut ia matikan sepihak. Dirga tak mau menemaninya untuk bertemu dengan klien, padahal niatnya ingin memperkenalkan cowok itu sebagai kekasihnya sekaligus ingin melihat Dirga berdecak kagum dengan setiap proges dari dirinya.
"Nggak salah minta tolong ke gue? Kenapa nggak sama yang kemarin malam desah-desah nggak je---"
"Diem, anjing!" potong Agatha, melipat kedua tangannya di depan dada sementara Ochie yang menjadi sopir pribadinya, mengantar gadis itu ke salah satu kafe milik seorang klien yang katanya ingin mengajak mereka collab.
"Tha, lo tuh, tahu nggak sih, bahayanya sex bebas?"
Pembahasan yang sebenarnya tak mau Agatha dengar. Berkedok nasihat, tapi ujung-ujungnya menyalahkan gadis itu perihal kejadian kemarin.
"Sekalipun kalian terbilang bukan lagi dibawah umur, tapi melakukan sex sebelum pernikahan akan merugikan pihak perempuan, doang!"
"..."
"Dirga bisa aja kabur, nggak mau tanggung jawab setelah tahu kalau lo bunting. Dia bakal pilih karirnya daripada menikah di usia muda."
Menggeram, menatap Ochie lamat sebelum memberikan jawaban, "gue sama Dirga masih waras, Kak. Kita nggak mungkin senekat itu!"
Apakah Ochie akan percaya begitu saja? Tentu tidak!
Akal seolah dikuasai oleh hawa nafsu sekalipun keduanya mengatakan tidak akan melakukan hal lebih selain ciuman bibir. Omong kosong anak muda! Ochie sudah paten dengan itu semua. Belagak tak ingin melakukan aksi nekat sebelum meresmikan hubungan sakral, justru terlena dengan bujuk rayu setan.
"Kemarin memang dalam kondisi masih waras, tapi apa yang terjadi selanjutnya kita nggak pernah tahu, Tha. Otak semua cowok tuh, hampir sama!"
"Dan Dirga bukan termasuk di dalamnya!"
"Terus lo percaya gitu aja?"
***
"Makasih banyak atas kesempatan yang udah lo kasih ke gue, Tha. Gue benar-benar merasa beruntung karena berhasil mengembangkan kafe gue."
"Sama-sama, Bim. Semoga collab kita bisa menarik konsumen banyak, ya."
"Pasti, Tha. Soal promosi, lo serahin ke gue aja."
Jiwa-jiwa marketing yang membuat Agatha merasakan beban di pundaknya sebelah kiri hilang. Perihal membuat promosi ke media sosial, lebih baik di-handle oleh orang lain daripada harus bersusah payah memikirkan editan mana yang sekiranya tepat ketika dilihat oleh para calon pembeli.
Sejenak singgah di kafe milik Bima selama lima belas menit, mengajak Ochie untuk segera beranjak lantaran schedule lain telah menunggunya untuk mewujudkan sebuah brand kecantikan sendiri.
"Hari ini saya membawa beberapa sample untuk Anda coba terlebih dahulu."
Keperluan wanita, termasuk skincare dan make-up. Cukup rumit, tapi untungnya ada Ochie yang tanggap perihal isyarat Agatha.
Mulai lelah dengan setiap pertemuan yang ia jalani hari ini, ingin segera limbung di ranjang disertai alunan musik slow yang membuatnya cepat tertidur. Agatha mau itu, tapi tanggung jawabnya pada janji sang papa masih belum sepenuhnya terealisasi.
"Ingredient-nya bagus, Tha. Kayanya bakal cocok sama selera lo." Duduk melamun, menyandarkan punggung pada sandaran kursi, melihat pemandangan luar dari jendela lebar yang terdapat di ruangan Sabara sebelum mendapat tabokan singkat tepat di keningnya dari gadis yang sejak tadi menggerutu tak dianggap.
"Apa lagi sih, Kak? Udah lo atur aja, gue pengin tidur!"
Semudah itu? Iya! Hanya Agatha yang bebas menugaskan siapa saja untuk melakukan kepentingan yang tidak bisa ia urus dalam waktu dekat. Termasuk mengecek sample, dan justru memilih pergi ke balkon kantor guna merasakan semilir angin sore hari.
Mengecek ponselnya, notif dari Dirga mendadak mengacaukan lamunannya. Padahal hanya sebatas memberikan informasi perihal kesibukannya dengan berbagai tumpuk buku di meja belajar.
"Serius banget," kata Agatha dari sambungan telepon.
"Biar nggak kaget waktu tes pertama."
Agatha bahkan baru ingat jika tes kelas unggulan minggu pertama akan diadakan esok hari. Pantas saja Dirga tidak bersedia menemaninya, ternyata ada hal yang lebih penting.
Mengejar deadline demi mendapat peringkat lima teratas.
Peduli setan dengan notif lain yang muncul setelah sambungan telepon ia matikan. Dosen pembimbing kelas unggulan pun ikut nimbrung menghantui ponsel Agatha guna mengingatkan gadis itu perihal tes esok hari.
"Tenang saja Pak, tidak perlu khawatir dengan hasil ujian saya besok."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Come on, Ga!
Teen Fiction"Hal bodoh yang terulang kembali, berharap mendapat validasi bahwa kamu pencium yang handal?" Sedari dulu penyakitnya masih sama. Belum sembuh atas keberanian serta remehan orang-orang yang membuat emosinya sering meradang. Melakukan berbagai cara...