Chap 08

6 2 2
                                    

Enjoy your time

.

.

.

.

.

Langit malam masih menggantung. Bintang-bintang masih bertaburan mengisi kekosongan kelamnya malam. Meski tidak ada bulan, kondisi langit malam itu tetap ramai dengan kemerlapnya.

Ethan dan dua pengikutnya telah sampai di perbatasan Willsden. Kondisinya tidak jauh berbeda seperti di sisi lainnya, banyak bangunan berbentuk bola dan tanah lapang yang dilapisi baja. Anehnya tidak ada Aero di sana. Suasananya sepi dan hening. Bahkan terlalu hening untuk ukuran wilayah penjagaan perbatasan.

"Bukankah ini aneh?" tutur James yang melihat keadaan di sana. "Terlalu sepi di sini," timpal Max menyetujui ucapan James. Ethan masih mengamati keadaan sekitarnya dengan waspada. Takut-takut kesunyian itu menjadi salah satu jebakan untuk menangkap mereka.

"Aku tidak merasakan ada manusia di sekitar sini. Sepertinya aman," kata Max saat dia yakin jika tempat itu benar-benar bersih dari para Aero. Udara dingin yang berembus sama saja seperti mata-mata untuk Max. Udara akan mengirimkan pantulan getaran yang akan diterima oleh Max dan menerjemahkannya. Mirip seperti sonar yang ada pada hewan dan kapal.

"Kalau begitu kita harus cepat menemukan senjata dan batu elemen kita," usul Ethan segera. Mereka kembali mempersiapkan diri. "Tapi aku lapar," keluh James menghentikan Ethan yang sudah akan pergi.

"Yang benar saja? Kau baru saja menghabiskan sepotong roti," ucap Max sambil memandangi James sanksi.

Sejujurnya Ethan juga sudah menahan lapar sejak tadi, namun dia tahan. Mereka tengah dikejar waktu, sedangkan kekuatan mereka masih belum maksimal tanpa adanya senjata dan batu elemen. Bahkan kalau bisa mereka ingin binatang mereka bisa kembali juga.

"Baiklah, kita akan istirahat sebentar di sini. Max, cari makanan yang layak di dalam bangunan bulat itu. Yang banyak, aku juga lapar," perintah Ethan santai. James sudah membuat lubang kecil di Jadecreek sebagai sumber air minum mereka saat ini. Ethan sudah mendudukkan dirinya di dekat James, menonton anak itu yang masih mengurusi sumber air mereka.

Max hanya bisa menatap mereka sinis. Tapi dia tetap menjalankan tugasnya walau dengan mulut yang masih mendumel tidak jelas. "Cari tempat air juga!" teriak James dari kejauhan. Max hanya mengangkat jempolnya sebagai isyarat. Dia masih kesal tentu saja. Dia juga lelah, tapi dia yang selalu diperintah.

Max memilih untuk memasuki bangunan yang paling dekat dengannya. Pintunya terbuat dari besi tapi tidak memiliki gagang pintu. Hanya ada sebuah lampu kotak kecil berwarna biru. Tiba-tiba meuncul sinar dari sana. Sinar itu diarahkan ke wajah dan keseluruhan tubuh Max. Seketika lampu kecil itu berubah menjadi merah dan pintu tidak terbuka.

"Hah? Kunci pintu macam apa ini?" Max mencoba membuka pintu itu tapi tetap tidak bisa. Lampu itu terus berwarna merah dan mulai mengeluarkan bebunyian aneh. "Sepertinya memang harus menggunakan kekerasan." Pedang angin mulai keluar dari tangan kanannya. Dia memasang kuda-kukta untuk membalah pintu baja di hadapannya.

TRANG

Tidak berhasil. Tergores saja tidak apalagi terbelah. Max pusing hanya karena sebuah pintu. Dia menyugar surainya yang mulai menutupi pandangannya, mencoba mencari cara lain yang mampir ke kepalanya. Ingin mencoba ke bangunan lain tapi sepertinya semua pintunya sama saja. Ingin langsung menghancurkan bangunannya tapi banyak membuang tenaga. Merepotkan.

I Was KingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang