Chap 11

3 1 0
                                    

Enjoy your time

.

.

.

.

.

Gelapnya langit sudah mulai memudar, digantikan warna biru keabuan yang menggeser latar hitam. Angin dingin merayap langsung ke kulit, mengingat ketiga pemuda itu hanya mengenakan kain biasa tanpa ada sistem penghangat otomatis. Tapi mereka lebih menyukainya. Merasakan alam menyambut pagi, mengiringi perjalanan mereka.

Wilayah lapang mulai menunjukkan beberapa bangunan normal. Semuanya masih sepi, belum ada aktivitas yang dilakukan. "Max, kau ingat di mana tempat Lilith dieksekusi?" tanya Ethan saat mereka mengambil napas sejenak. Beruntung mereka sudah mendapatkan batu elemen, mengendarai kekuatan semalaman penuh tidak berefek sama sekali.

"Di pusat kota."

Sepi, tidak ada yang berucap lagi. Mereka masih mengamati sekitar, mencoba mengingat bagian Willsden mana mereka berada. Susunan bangunan yang jauh berubah membuat mereka sedikit kebingungan mencari arah menuju kota.

"Sial, aku tidak ingat jalannya," keluh James kesal. Semuanya total berubah. Tidak ada satupun yang bisa mengingatkannya tentang arah menuju pusat kota. Ethan juga tidak tahu harus melakukan apa. Mengandalkan insting tidak membuat mereka langsung menuju ke pusat kota. Yang ada malah berputar-putar tidak tentu arah.

"Ah, aku punya ide." Seruan Max membuat dua pasang mata lainnya menatapnya penasaran. "James, buat uap air. Kita akan membuat awan sebagai kendaraan. Lewat atas akan lebih mudah mencari pusat kota," usul Max masuk akal. Tidak ada halangan pandangan jika dari atas.

"Jenius," kata James semangat. Dia segera membuat uap air yang hangat di sekitar mereka. Max membuat udara dengan suhu yang rendah, membuat uap air menjadi memadat sehingga terbentuk awan. Awan itu bertumbuh besar hingga bisa dinaiki oleh tiga pemuda itu. "Yeay, bisa naik awan," seru James senang. Dia merebahkan diri di atas awan yang lembut seperti kapas. Malah Ethan membentuk awan itu agar memiliki sandaran seperti kursi. Max tidak peduli, itu terserah mereka. Kalau mulai berulah tinggal terbangkan mereka ke langit.

Kali ini tugas Max sebagai pemandu, mengatur arah dan laju awan menggunakan embusan angin. Tenang saja, jalan-jalan dan bangunan terlihat jelas dari atas. Sangat tidak mungkin jika tersesat. Tapi kalau masih saja tersesat, kebodohan Max benar-benar tidak bisa dimaafkan. Sepertinya kepintarannya tersesat juga, bukannya menuju otak malah pergi ke jantung.

Semburat jingga mulai tampak. Hangatnya mentari pagi menyapa mereka. Ethan menikmati pemandangan matahari terbit yang ada di depan mata. Sudah lama rasanya dia tidak melihat pemandangan seperti itu. Perasaannya begitu membuncah. Entahlah, dia tidak bisa menjelaskannya. Mungkin perasaan bersyukur karena bisa melihat keajaiban alam untuk kedua kalinya. Dia ingin lebih banyak lagi. Gemerisik dedaunan, ributnya jangkrik musim panas, aroma tanah basah, tumpukan warna dedaunan musim gugur, atau jeritan anak-anak mengejar keping salju. Dia merindukannya.

"Sangat indah, ya?" Ethan memutar kepalanya ke arah James. Dilihatnya anak itu tengah tersenyum lembut sembari menatap matahari terbit. Begitupun Max. Dia juga menikmati pertunjukan gratis yang dipersembahkan oleh alam serta keajaibannya. Alam adalah bagian dari hidup mereka.

"Kita cari yang lain terlebih dahulu. Setelahnya, mari kita selamatkan kerajaan ini sebelum alam lebih marah lagi," kata Ethan yang disetujui oleh Max dan James. Kemunculan Kage sudah menjadi pengingat mereka. Belum lagi entitas pemakan partikel elemen lain yang mungkin masih berkeliaran di luar sana.

I Was KingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang