Lingga Baganti- 9

877 114 4
                                    

Sebuah makam.

Paris baru saja tersandung akibat sebuah batu besar panjang berbentuk aneh yang membuat kaki pemuda itu sakit.

Sekarang Saddam mengerti alasan kenapa roh itu memilih Ramu.

"Ramu menerobos masuk ke daerah ini dan bersikap frontal, mungkin dia ngakuin sesuatu. Kakinya tersandung dan roh itu mempunyai dendam khusus terhadap Ramu. Dan ketika roh itu dirasuki sesuatu, dia menargetkan Ramu karena memang dia berhubungan dengan Paris."

Penjelasan Saddam membuat semua orang mengernyit, Paris bangkit menatap pemuda berkaca mata itu.

"Kenapa gue? Gue gak ngelakuin apapun."

"Awalnya gue gak ngerasain karma apapun yang ada pada Lo, tapi setelah gue pikir, setiap makhluk mempunyai karma-nya tersendiri. Mungkin Lo ada sebagai Paris sekarang karena apa yang Lo lakuin di masa lalu," jelasnya membuat semua orang di sana semakin kebingungan.

"Maksud Lo, gue adalah reinkarnasi gitu?"

Saddam tidak menjawab pertanyaan Paris, ia berjalan ke depan menatap makam aneh itu. Memang yang menjadi fokus utamanya adalah sebuah pedang yang menancap tepat di depan batu aneh itu, dan terdapat darah yang membasahi pedang tersebut.

Saddam tahu, roh yang merasuki Ramu telah diikat oleh pedang ini, ditambah dendam yang ada pada roh tersebut membuat sihirnya semakin kuat. Saddam tidak yakin apakah ia bisa mencabut benda itu dari sana.

Semua orang di sana terdiam, menatap apa yang akan dilakukan oleh Saddam. Ketika pemuda itu menatap telapak tangannya sendiri lalu mulai mengarahkannya untuk menggenggam pedang, tapi baru beberapa detik telapak tangannya menyentuh gagang pedang, Saddam melepaskannya sembari mengerang sakit.

Isamu mendekat, melihat tangan Saddam. Dan ketika para OSIS menatapnya, semuanya terpekik.

Telapak tangan Saddam terbakar, ada luka bakar dengan darah kental yang menetes di sana.

Saddam memejamkan matanya, ketika ia memegang pedang tersebut, rasa panas yang sangat luar biasa menyerang telapak tangannya. Ini perih dan sakit, sihir yang berada di pedang itu tidak bisa ia patahkan dengan ilmunya.

"Saddam, Lo oke?" Isamu bertanya khawatir.

Saddam mengangguk sekilas.

Isamu menatap Finola, dia OSIS yang bertanggung jawab atas pusat kesehatan sekolah.

"Lo bawa sesuatu yang bisa meredakan nyerinya?"

Finola menggeleng. "Gue punya plester, tapi dengan luka separah itu, plester sama sekali gak guna."

Saddam bangkit. "Gapapa." Lalu melepas uniform sweater-nya, melilitkannya pada telapak tangannya.

Saddam kembali menatap pada makam itu, berpikir keras apa yang harus ia lakukan. Selain sihir, pedang itu seperti juga sudah dimantrai. Sihir yang sangat kuat hingga membuat telapak tangannya terluka parah seperti ini, peristiwa ini merupakan pertama kali bagi Saddam. Ia tidak mengerti apa yang salah di sini.

"Gue akan coba cabut pedangnya." Isamu melangkah maju, tapi langsung dihentikan oleh Saddam.

"Pedang itu telah dimantrai, hanya pemiliknya yang bisa mencabut benda itu."

Para OSIS saling tatap, apa itu berarti mereka hanya menemukan jalan buntu pada akhirnya?

"Terus siapa pemiliknya? Lo bilang makam ini punya tentara Belanda, di mana kita harus nemuin tentara Belanda hari gini?!" Kaivan benar-benar kesal sekarang.

"Diam Kai, Lo gak liat tangannya Saddam luka gitu?" Edrea menatap kesal pada pemuda kurus itu.

Kaivan menghela napas. "Saddam satu-satunya indigo di sini, dan seorang indigo kayak dia aja bisa luka gitu gimana kita yang orang biasa?! Udah, semuanya sia-sia. Kita cuma remaja SMA, biarin masalah Ramu diurus sama orang dewasa. Seenggaknya kita udah berusaha kan? Itu bukan urusan kita lagi!"

"KAI!" Isamu menatap tajam pemuda itu.

"Gue cuma peringatin Lo sekali," sambung Ketua OSIS itu membuat Kaivan mendengus kesal.

"Peringatan apa yang Lo maksud hah? Sam, jangan mentang-mentang Lo Ketua OSIS dan Lo bisa nyuruh bawahan Lo seenaknya cuma untuk obsesi doang! Lo terlalu obsesi untuk menjadi yang paling tegas hingga Lo lupa ada sembilan nyawa di sini yang akan Lo korbankan!"

Isamu mengernyit, ia berjalan mendekat ke arah Kaivan. "Obsesi apa yang Lo maksud? Gue di sini karena tugas! Ramu adalah siswa Lingga Baganti, dan kewajiban gue memastikan seluruh siswa di sini hidup dengan nyaman."

Kaivan mendengus. "Apa Lo pikir semua hal aneh ini masih kewajiban OSIS? Adelle dan Rimba yang ngilang tiba-tiba? Kamar asrama yang berantakan secara gak wajar? Peristiwa kerasukan massal? Abraham Flanklin yang tiba-tiba menghilang? Dan puluhan murid terbaring koma di rumah sakit tanpa gangguan penyakit apapun yang terdeteksi, dan sekarang Ramu yang kerasukan dan makam aneh ini, apa Lo pikir itu semua masih tanggung jawab OSIS hah?!"

Isamu ingin maju selangkah lagi pada Kaivan, tapi Paris dan Fannan di sana segera memisahkan keduanya.

"Kenapa kalian jadi berantem gini sih?" Fannan menatap kesal pada dua orang itu.

"Kalian berdua harus ingat tujuan awal kita ke sini." Luna yang sedari tadi diam berbicara.

Isamu dan Kaivan hanya menghela napas jengah, keduanya sama-sama kesal dengan diri satu sama lain.

Paris menghela napas. "Gue akan cabut pedangnya."

Maniknya berada dengan Saddam. "Lo bilang kalau ini semua ada hubungannya sama gue kan? Gak ada salahnya gue coba cabut pedang itu kan?"

Saddam menatap datar Paris. Benar juga, ia melupakan sesuatu. Meskipun Saddam tidak begitu yakin, tapi mungkin benar, semua ini ada hubungannya dengan karma Paris.

Saddam mengalihkan pandangannya pada makam. "Pegang dari atas dan perlahan turun ke bawah, dan cabut sekuat yang Lo bisa."

OSIS lain yang mendengar ucapan Saddam terperangah.

"Saddam, apa itu pilihan yang bagus?" Edrea bertanya.

"Paris bisa aja luka, bahkan lebih parah dari Lo," ujar Finola.

Saddam menghela napas. "Ada hal yang ngebuat gue yakin untuk Paris cabut pedang itu. Kalau dia luka, itu tanggung jawab gue."

Sekarang pasang mata tertuju pada Paris, pemuda itu perlahan melangkah ke depan menatap pedang yang tertancap di sebelah batu besar itu.

Saddam mengikuti Paris, memegang bahu pemuda itu.

"Kalau anak ini adalah orangnya, biarkan dia mengambil apa yang menjadi miliknya."

Setelah berujar seperti itu, Saddam perlahan melangkah mundur, bergabung dengan yang lain memperhatikan Paris dari belakang.

Paris memfokuskan dirinya, ia tidak suka darah, tapi sekarang ia harus memegangnya. Entah kenapa sesuatu dari dalam dirinya juga menginginkan untuk mencabut pedang itu dari tempatnya.

Perlahan ia melakukan apa yang diinstruksikan Saddam di awal, tangannya telah sampai pada atas pedang lalu secara perlahan turun ke bawah dan memegang kuat pada gagangnya.

Paris tidak dapat berbohong kalau ini benar-benar panas, tapi ia mencoba. Dengan semua tenaganya, ia mengangkat pedang itu.

Semua orang memperhatikan, Saddam juga fokus memperhatikan, ia menjadi lebih memfokuskan dirinya untuk membuat pelindung di antara mereka karena ia pun merasakan semua energi makhluk di tempat ini bercampur. Mereka semua sepertinya ikut berkumpul menatap Paris.

Dan semuanya berakhir ketika pedang itu berhasil tercabut dari tanah, beriringan dengan itu samar-samar teriakan Ramu terdengar dari sekolah.

Lingga BagantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang