PROLOG

3.8K 183 4
                                    

Hiruk pikuk khas suasana kantin di siang hari terasa seperti biasanya, beberapa siswa berkumpul di satu meja dan mulai membicarakan hal-hal yang mereka lewati. Mereka berbicara tanpa melewatkan satu suap pun untuk dimasukkan ke dalam mulut.

Lingga Baganti, orang bilang itu adalah sekolah menengah atas yang sangat ketat. Beberapa dari mereka memilih melewati sekolah terfavorit itu selain karena biaya sekolahnya yang mahal. Tapi ketahuilah, semua siswa di sini hidup dengan menyenangkan.

Mereka hidup berkelompok, membentuk sebuah kelompok sosial yang diisi dengan individu yang berbeda-beda. Ada kelompok yang saling menguntungkan, atau bahkan hanya hubungan sepihak.

Ada kelompok yang berisi para individu di kelas teratas, atau juga kelompok yang hanya berisi murid-murid pecundang di dalamnya.

Mungkin ketika di dalam kelas, itu tidak terlihat. Tapi ketika bel makan siang berbunyi, lihatlah kelompok-kelompok yang memenuhi tiap-tiap meja di penjuru kantin. Terkadang ada juga individu yang memilih untuk menyendiri, bukan karena tidak ingin bergabung membentuk kelompok, mungkin perbedaan prinsip membuatnya terasingkan.

Siang itu, suasana kantin yang tadinya ramai tiba-tiba menjadi hening ketika beberapa penjaga datang menutup semua jendela, menurunkan gorden merah membuat suasana di dalamnya hanya diterangi cahaya lampu.

Para murid saling tatap, bahkan antar anggota kelompok lain, seakan-akan mengutarakan kalimat dari kedua bola mata mereka apa yang tengah terjadi. Tak selesai dengan keterkejutan itu, gema pantofel seakan memecah keheningan di antara murid di sana.

Jauh di depan sana, di lorong yang menghubungkan langsung dengan kantin, iring-iringan guru berjalan menuju ke arah mereka.

Suasana masih sama, hening. Hanya saja, pertanyaan di kepala mereka semakin bertambah.

Di depan para guru, seorang pria memimpin jalan. Seseorang yang tidak pernah para murid itu lihat sebelumnya, tatapan tajam itu sangat menusuk, membuat satu pun di antara mereka tidak berani berbicara.

Langkahnya berhenti di kantin, tepat berada di tengah-tengah para kelompok. Tatapannya datar meski terasa bengis, bahkan ketika pandangan itu mengedar, para murid menundukkan kepala mereka, terlalu takut dengan aura yang tak biasa.

Tapi sepertinya itu tak berlangsung lama, satu kelompok yang berada di tepi dinding tiba-tiba saja terpekik, mengalihkan atensi semua orang di sana.

Beberapa dari mereka menutup mulut tidak percaya, dan beberapanya lagi berdiri melihat apa yang terjadi.

Jauh di sana, seorang individu penyendiri, cairan merah pekat menggenang di lantai mejanya. Murid itu memuntahkan darah, dengan tubuh yang tertunduk lemas.

Maniknya bangkit, menatap lurus ke depan, tepat berhadapan dengan tatapan pria asing di tengah. Pandangan keduanya bertemu, entah kenapa itu terasa seperti sesuatu yang sangat besar, kedua pasang mata tidak pernah mau beranjak tenggelam pada manik masing-masing.

Murid itu kembali memuntahkan darah untuk kedua kalinya, sebelum akhirnya tubuh itu tumbang.

Dia pingsan.

Semua murid kembali terpekik. Seorang individu berdiri, dua garis hitam di lengan seragamnya menjelaskan bahwa ia adalah pemimpin setiap individu.

"OSIS, ambil tandu!"

Lingga BagantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang