Lingga Baganti -30

690 106 6
                                    

"Saddam, liburan ini gak seru tau kalau Lo gak ikutan main!" Seruan tiba-tiba dari Finola diangguki semuanya.

Setelah puas mencoba semua permainan di festival, mereka akhirnya mencari beberapa makanan untuk penghibur perut yang sedari tadi meraung lapar.

Paris mengangguk. "Iya, tujuan awal kita liburan kan sebagai pendekatan diri, tapi Lo cuma diam aja."

Saddam menatap seluruh OSIS di sana. "Kalian gak bisa memaksa seseorang, gue emang gak suka hal-hal kayak gini."

Mendengar itu Kaivan mendengus kesal.

"Hidup Lo monoton amat, padahal kita masih muda, ada banyak waktu untuk menikmati hidup," ujarnya.

"Terkadang yang hal yang menurut kalian motonon itu yang bisa menyelamatkan hidup kalian." Saddam tidak berbicara lagi setelahnya, begitupun yang lain.

Saddam sudah mau ikut bersama mereka saja itu seperti keajaiban mengingat bagaimana sulitnya berinteraksi dengan pemuda itu dahulu, dan kalau memang karakter Saddam seperti itu, yasudah, tidak ada yang bisa dilakukan lagi selain menghargai keberadaannya di sini.

Langkah sepuluh orang itu mengarah pada spot makanan, dan dari area wahana ke sana cukup jauh karena harus melewati area kosong yang sepertinya ingin dibuat tempat aksesoris dari spanduk yang terpasang, tapi entah kenapa tidak ada yang berjualan di sana.

Saddam menghentikan langkahnya membuat yang lain juga ikut melakukan hal yang sama, mereka menatap pada Saddam serempak.

"Kenapa?" Luna bertanya.

Saddam diam sejenak, ia seperti merasakan aura yang aneh di sekitar sini tadi, tapi tiba-tiba menghilang. 

Saddam menggeleng. "Bukan apa-apa."

Mereka kembali melanjutkan langkahnya meskipun hati telah dipenuhi pikiran yang negatif, sebab jika Saddam telah melakukan hal yang seperti itu, pertanda ia merasakan sesuatu. Seperti peristiwa saat drama angsa hitam waktu itu.

Mereka melewati sebuah tenda, di atas mejanya terdapat barang-barang aneh yang sangat khas dengan peramal. Seorang nenek-nenek tampak menunduk di sana membuat para OSIS bergidik, ada peramal di festival seperti ini?

Saddam juga memperhatikannya, ia merasakan sedikit kejanggalan, tapi ia benar-benar kebingungan.

Para OSIS mempercepat langkah sebelum suara itu menginterupsi mereka.

"Kamu sepertinya kebingungan nak, mampir lah dahulu."

Semua orang berteriak, terkejut tentu saja. Tiba-tiba saja nenek itu bersuara.

Hikaru menggeleng cepat. "Gak nek, kita buru-buru."

Terdengar kekehan halus dari sana. "Sekalipun aku tahu jawaban dari kebingungan kalian? Sekalipun aku tahu tentang jiwa tersesat tanpa tubuh yang kalian bawa sekarang?"

Saddam tercekat, ia menoleh langsung pada nenek itu. Nenek itu terkekeh melihat ekspresi Saddam, lalu mengulurkan tangannya mempersilahkan.

"Silahkan, mampirlah sebentar."

Kaivan menggenggam tangan Saddam, pemuda penakut itu memohon agar Saddam tak termakan rayuan sang nenek. Tapi Saddam justru menghempaskan tangan Kaivan dan menghampiri meja tersebut.

Melihat itu, mau tak mau para OSIS pun ikut ke sana, membuat Kaivan mengumpat pelan dan bersembunyi di balik tubuh Hikaru.

"Katakan apa yang ada ketahui." Saddam menatap tajam wanita tua itu.

Kekehan kembali terdengar.

"Kalian benar-benar datang, ramalan itu benar adanya."

Para OSIS di sana mengernyit, apa yang dibicarakan oleh nenek itu? Dan apa yang ingin diketahui oleh Saddam? Apa tentang Abraham Franklin?

"Jangan berbelit-belit," desis pemuda berkacamata itu.

Sang wanita tua menghela napas.

"Selamat datang sepuluh anak yang diramalkan, dan ... jiwa yang tersesat." Kali ini wanita itu tersenyum.

Saddam mengernyit, ia jelas melihat aura yang tak biasa dari wanita tua ini.

"Anda bukan manusia," ujarnya dingin.

Wanita itu masih mempertahankan senyumannya. "Jangan terlalu cepat menyimpulkan."

"Siapa anda? Anda punya aura yang sama dengan ..."

"Aku di sini hanya untuk menyelesaikan tugasku, maka jangan banyak bicara, tanyakan saja apa yang sepantasnya kamu tanyakan."

Saddam terdiam kembali, ia tahu bahwa wanita ini bukanlah manusia, tapi ... kenapa? Ia menoleh pada Daniel, tampaknya pemuda itu juga buntu.

Saddam mengarahkan pandangannya pada para OSIS, mereka juga sama bingungnya dengan Saddam. Saddam menghela napas sebelum akhirnya Isamu menepuk pundaknya.

"Mungkin ini petunjuk yang Lo cari," ujar Ketua OSIS itu.

Isamu benar, mungkin ini adalah petunjuk yang selama ini ia cari. Tapi kebingungan tentang kenapa petunjuk ini datang di tempat seperti ini lah yang ia pertanyakan.

Saddam menghela napas, kemudian beradu pandang dengan wanita tua itu. Dari ujung matanya ia tahu bahwa orang-orang tengah berhenti pada tempatnya sekarang, tapi tidak ada yang menyadarinya.

"Siapa aku?"

Wanita itu terkekeh. "Itu pertanyaan yang terlalu susah untuk ditanyakan. Beri aku pertanyaan yang lebih mudah."

"Siapa aku?" Daniel berbicara.

Wanita itu menoleh pada Daniel. "Kamu adalah jawaban dari segala kebingungan ini, wahai jiwa yang tersesat."

"Apa semua ini berhubungan dengan Lingga Baganti?"

"Aku yakin kamu tidak sebodoh itu untuk tidak mengerti apa yang terjadi." Wanita itu tersenyum kaku.

"Dari awal kedatangan kalian ke Lingga Baganti, pertemuanmu dengan Daniel Ogawa, hingga bertemunya sepuluh anak yang diramalkan, itu telah menjadi awal dibukanya lembaran kedua dari perjanjian itu. Kedatangan Abraham Franklin hanya tahap dari beberapa hal yang akan segera datang."

"Maksud anda bertemunya kami semua sekarang, itu telah ditulis dalam takdir?"

Wanita itu diam sejenak sebelum bicara. "Itu karma, bukan takdir. Takdir adalah hal yang telah digariskan sebelum kelahiran seorang insan, tapi karma, adalah balasan dari apa yang dilakukan di masa lalu."

Wanita itu tersenyum kembali.

"Dengar, semua yang terjadi hari ini adalah karma. Aku sendiri pun tidak tahu karma apa yang terjadi di Lingga Baganti sehingga bangunan itu sangat terkutuk. Hanya kalian sendiri lah yang bisa menjawab seluruh kebingungan itu, kamu sudah mendapat petunjuk kedua, ketiga, dan keempat. Cari petunjuk pertama dan semuanya benar-benar akan jelas.

Karma Daniel Ogawa membuatnya terikat dengan Lingga Baganti, padahal dia sama sekali tidak bersalah, tapi dia bukan satu-satunya. Daniel Ogawa harus mengetahui penyebab kematiannya terlebih dahulu, baru kamu akan mengetahui tentang siapa kamu. Apakah kamu benar-benar keturunan Kama atau hanya seorang penghianat."

Wanita itu lagi-lagi tersenyum.

"Aku pikir tugasku telah selesai. Dan dengan ini, selesai juga tugas dari para jiwa suci yang berkorban. Kemenangan dari kalian akan menyembuhkan para jiwa yang berkorban. Petunjuk terakhir dariku agar semuanya segera lengkap, petunjuk pertamamu ada di dekatmu sendiri.

Saddam Delana, kembalilah di mana tempatmu berasal. Kamu sudah terlalu lama pergi, kini saatnya kembali."

Wanita itu menoleh pada Fannan dan tersenyum kembali.

"Dan aku juga akan segera kembali. Duhan Alexander, senang bertemu dengan dirimu kembali. Aku harap tidak ada pengorbanan lagi seperti yang kita lakukan di masa lalu. Aku akan menyusul Jaeja. Dapatkan kemenangan itu untuk kami yang berkorban, sekali lagi selamat tinggal."

Lingga BagantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang