Joe diam. Sedangkan aku menunggu jawaban yang akan terucap dari bibirnya. Lama sekali dia menjawabnya. “Joe, jawab. Kamu pasti punya KTH, kan? Gak mungkin gak punya.”
“Ha?” Joe mengerjap bingung. “Memangnya ada, ya, KTH macam begitu?”
Aku berkacak pinggang dan memekik. “Ada, lah!” Aku menyanggah ucapannya itu.
Harusnya setiap orang pasti punya tanda pengenal, kan? Kartu identitas mereka. Dan, Joe juga seharusnya mesti punya itu. Walau hantu sekalipun, mereka harusnya tetap punya, kan? “Masa kamu gak punya, sih?”
Dia menelengkan kepala. “Memang apa itu KTP?”
Aku berdecak pelan. Tak percaya kalau dia tidak tahu hal sepenting itu. “Kaya kartu tanda pengenal, gitu loh. Bukti kalo kamu emang penduduk di sana. Kalo di Indonesia, biasanya umur 17 tahun udah harus punya KTP.”
“Ooh, aku tidak ingat waktu hidup dulu, apa aku pernah punya benda semacam itu juga ya?”
Yhaa! Dia malah ganti tanya. “Kalo gitu KTH-mu, deh! Pasti ada, kan?”
“Tidak.” Dia menghela nafas pelan seolah bosan dengan pertanyaan konyolku. “Mana ada hantu punya tanda pengenal seperti itu. Kalau sudah mati, ya mati. Tidak ada dibuatkan kartu pengenal seperti itu.”
Aku terhenyak.
“Memangnya siapa juga yang mau membuatkannya? Kamu?”
“He?” Aku berdecak sebal. Benar juga ucapnnya itu. “Ya..., aku Cuma tanya. Siapa tahu aja, kan?”
“Tidak ada kartu semacam itu. Kalau kamu mau, ya buatkan saja sana.”
“Ogah!”
“Ogah?” Dia mengetuk-ngetuk telunjuk di dagunya. Seperti sedang berpikir keras. Entah memikirkan apa, tapi tahu-tahu dia menjetikkan jarinya semangat. “Oh..., maksudmu Pak Ogah di film anak ‘Laptop Si Unyil’ ya? Yang serba, cepek dulu dong..., itu, kan?”
Aku tercengang. Ya ampun, darimana dia bisa hafal ucapan khas Pak Ogah itu? Bahkan sampai kelogat-logatnya juga. Astaga, andai dia bisa kusentuh, sudah kutendang dia keluar jendela. Biar mati dua kali sekalian. Ketimbang meladeni ocehan tak bermutunya, lebih baik tidur saja.
“Hei, kenapa malah tidur?”
Baru juga mau rebahan, Joe sudah berkoar lagi. Membuatku mendesah kesal. “Terus apa? Aku suruh apa?”
“Kita bisa mengobrol.”
“Ngobrolin apaan, dah?”
“Apapun?”
“Misalnya?” Tanyaku malas. Aku sudah mengantuk dan tak berminat untuk berceloteh macam dirinya itu.
“Uhm..., seperti, siapa cowok yang kamu suka? Atau pacarmu mungkin? Ng..., atau gebetan?”
Aku berdecak sebal. “Obrolan macam apa itu? Unfaedah.” Tapi sungguh. Yang namanya Joe, tetaplah Joe. Aku bicara serius, malah dikira bercanda. Buktinya, dia malah tertawa kencang sekarang. Memangnya aku sedang melawak? Meyebalkan sekali.
“Aku suka mengobrol, apapun itu.”
Ya, dan aku tidak peduli. “Terserah.” Aku membalikkan tubuh acuh. Terserah saja dia mau bicara apalagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Friendly Ghost
ParanormalAku tidak pernah menyangka jika rumah peninggalan orang tuaku, ternyata sudah lebih dulu berpenghuni sebelum kami datang. Aku bukan seorang indigo. Apalagi memiliki kemampuan sixth sense. Tapi entah kenapa, aku justru bisa melihat dia, Hantu seorang...