38 (imun lemah)

4.9K 302 9
                                        

Di balkon kamarku, beberapa bungkus rokok berserakan di lantai. Aku tetap menikmati rokok tanpa henti meskipun dokter sudah melarangku untuk mengonsumsinya, apalagi aku baru saja pulih. Saat putung rokok yang hampir habis akan kuganti dengan yang baru, tiba-tiba seseorang menahannya.

"EL!" suara Rin menggema penuh amarah.

Aku terdiam. Melihat wajah kakakku yang marah seperti ini adalah pemandangan yang langka. Biasanya, dia selalu ramah, tapi kali ini tidak ada setitik pun kelembutan di tatapannya. Rin pasti tahu kondisiku yang sedang tidak baik karena kebiasaan buruk ini.

"Tubuhmu itu untuk dijaga, bukan dirusak begini!" bentak Rin.

"El banyak pikiran," jawabku lesu, mencoba membela diri.

"Kau bisa bagi bebanmu denganku! Aku kakakmu, bukan pajangan hidup, kau tahu!" ucap Rin dengan nada kesal.

"Kak..." gumamku pelan, tak tahu harus berkata apa.

"Hm," Rin hanya bergumam dingin, menatapku tajam.

Aku menggaruk belakang kepalaku, bingung harus bagaimana. Perlahan aku mendekat dan memeluk tubuhnya erat. Pikiranku terlalu lelah dengan tanggung jawab yang terus bertambah. Aku tahu pembantaian keluarga Pratama akan terjadi lusa. Aku harus bersiap menghadapi kemungkinan terburuk dalam hidupku.

"Ayah melarangmu merokok, dan Kakak juga akan melakukan hal yang sama," ucap Rin, tangannya menepuk punggungku lembut.

"El capek... mau istirahat saja," bisikku di bahunya.

"Kakak gendong ke kamar, ya?" tawar Rin, suaranya melembut.

"Ini memalukan," sahutku dengan suara rendah.

Namun, tanpa mendengarkan protesku, Rin langsung menggendongku. Refleks, aku melingkarkan tangan di lehernya.

"Kakak akan minta izin Kakek untuk terjun ke dunia bisnis agar bisa membantu dirimu," ujar Rin serius.

"Kak..." aku memanggil pelan.

"Kenapa?" tanya Rin, melirik ke arahku.

"Hangat," gumamku pelan.

Rin tidak menunjukkan tanda-tanda keberatan. Meski aku tidak suka dimanja, entah kenapa saat ini aku merasa nyaman. Kakakku tidak peduli dengan keberatanku, dan dia hanya memastikan aku baik-baik saja.

"Jadilah pemimpin yang bijak, El," kata Rin, mengelus punggungku.

"El mau istirahat seminggu, Kak. Aku tidak mau lagi terlibat dalam rencana Papi untuk saat ini," gumamku.

"Masih sakit, tapi memaksa pulang," Rin mendesah pelan.

"Aku benci bau obat-obatan," jawabku dengan lemah.

"Ajarkan Kakak soal bisnis, ya. Ayah sangat sibuk, jadi Kakak ingin membantu," pintanya.

"Tentu," sahutku singkat.

"El, badanmu hangat. Apa kamu demam?" tanya Rin khawatir.

"Aku juga merasa sedikit pusing, Kak," jawabku jujur.

Setelah sampai di kamar, Rin membaringkanku di kasur. Saat dia hendak pergi, aku langsung mencegahnya. Rin tersenyum kecil, lalu berbaring di sampingku.

"Kakak pusing?" tanyaku pelan.

"Mungkin besok pagi," jawab Rin santai.

"Kak... aku senang kamu masih hidup. Setidaknya saat aku sibuk di duniaku, masih ada sosok Kakak yang menjaga keluarga ini," ucapku tulus.

"El, kita baru bertemu. Jangan pergi ke mana pun, ya," ujar Rin, memeluk tubuhku erat.

"Aku pewaris utama keluarga ini, Kak. Itu sebabnya musuh kita banyak. Mereka ingin aku mati karena berpikir keluarga Zayan hanya memiliki satu pewaris. Kakak dan Aditya sengaja tidak dipublikasikan demi keamanan kalian," jelasku.

Transmigrasi Ello (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang