Tak terasa waktu cepat bergulir maju, hari pun terasa begitu singkat untuk dilalui. Banyak hal yang terlewat, banyak momen indah yang hanya akan menjadi kenangan semata, banyak pula hari-hari yang lebih baik daripada pekan kemarin.
Sepekan telah berlalu, tergantikan dengan pekan penuh perjuangan hari ini.
Pukul 07:30.
Pagi itu lab komputer tengah dipadati oleh kerumunan manusia-manusia pencari angka. Masing-masing di antaranya juga tidak sekedar duduk saja, tapi ada yang menyibukkan diri dengan menghafal kisi-kisi, mempelajari materi, bahkan ada yang menyempatkan diri latihan soal.
Jadwal PTS diberikan beberapa sesi. Ada yang sesi pagi, siang atau bahkan sore.
Kelas Abel mendapat sesi pagi, ia pun berjalan terburu-buru di koridor sekolah. Disusul Kiera, Missa dan Deeva yang juga baru datang. Minggu ini mereka harus rela begadang demi mencapai target yang diinginkan. Kendati sudah banyak menghafal dan mempelajari materi yang guru berikan minggu lalu, banyak dari mereka yang masih mendapatkan nilai di bawah KKM. Apalagi PTS dilakukan di dalam lab ber-AC dan dua pengawas sekaligus yang sedia berjaga ke sana-sini.
Sebelum benar-benar masuk ke lab, keempat manusia itu pergi menuju TU terlebih dahulu untuk mengambil kartu nomor peserta ujian. Kebetulan mereka terlambat mengambil karena bayaran SPP yang belum lunas sepenuhnya.
"Jadi inget masa MPLS gue," ujar Abel di sela berdesakan mengambil kartu.
"Iya njir, dulu pas MPLS rela lari-larian nyari kartu ucapan biar dapet hadiah." Jawab Kiera usai maju karena antrean berkurang sedikit.
"Duhh, lama amat," keluh Missa, cewek itu memperhatikan lab Multimedia yang akan menjadi tempat ujian mereka, hampir seluruh muridnya sudah masuk ke dalam.
"Sabar Miss, ntar kalo telat bisa request tambah waktu." Jawab Deeva membuat yang lain tertawa.
"Pengawas hari ini siapa sih?"
Deeva tampak mengingat. "Bu Ani sama Bu Era kalo nggak salah,"
"Njir, besok Bu Irene gimana dong?"
"Yaudah lah, mau gimana lagi."
Tanpa sengaja mata Abel melihat ke arah koridor, kepala sekolah berjalan beriringan bersama seorang pria cukup berumur menuju ke arahnya. Abel tidak tahu siapa pria itu, sebelumnya tidak pernah melihatnya di area sekolah. Tangan Abel menepuk pundak Deeva. "Siapa tuh,"
Deeva mengarahkan atensinya ke apa yang Abel tunjuk, matanya menyipit seperkian detik setelahnya melebar karena ia tahu siapa pria itu. "Itu Pak Raditya, yang punya sekolah ini!"
"Ah, yang bener," Missa ikut memperhatikan pria itu. Kiera tidak peduli karena ia sedang membayar uang kartu.
Mereka berdua berhenti di ruang guru yang kebetulan bersebelah dengan TU, mata pria itu rupayanya melihat ke beberapa anak termasuk Abel yang sibuk mengantre di ruang TU dan membayar lewat kaca jendela kecil di sana.
"Itu mereka sedang apa?" tanya beliau pada kepala sekolah.
Kepala sekolah tersenyum. "Oh itu, mereka anak-anak yang belum bayar SPP bulan ini, Pak. Jadi sebelum ikut ujian mereka harus bayar dulu."
"Lain kali kalo ada ujian seperti ini bagikan saja semua kartu tanpa menunggu SPP lunas. Kasihan mereka berdesakan begitu."
Kepala sekolah itu tampak segan, ia hanya menanggapinya dengan seulas senyum tak enak. Lalu keduanya masuk ke ruang guru, entah apa yang sedang mereka bicarakan.
"Pantes aja banyak dihargai orang." Ujar Abel diangguki yang lain.
"Bersyukur banget Keno punya Bokap kayak Pak Radit, kaya banget tuh pasti dia." Timpal Missa sembari tersenyum. Matanya membayangkan uang yang bertumpuk-tumpuk di atas tempat tidur Keno.

KAMU SEDANG MEMBACA
Ineffable | Dear Diary | End
Genç KurguIneffable adalah sesuatu yang melampaui kemampuan bahasa untuk mengungkapkannya. Arti lain adalah "tak terlukiskan". Ada banyak kisah yang ditulis di cerita ini, salah satunya Abel. Gadis berkulit sawo matang yang tidak percaya akan cinta. Abel piki...