6. THE BEGINNING (6)

5K 307 21
                                    

Darapuspita bangun dari tidurnya saat matahari sudah diatas kepala. Matanya mengerling, wanita itu tidak menemukan sang suami. Istri Aji itu menangis mengingat kejadian semalam. Aji memaksanya.

Ia mencoba bangkit dari tempat tidur, tetapi gagal. Seluruh tubuhnya sakit. Ia menghiraukan semua rasa sakitnya dan menyibakkan selimut. Dara bangun perlahan dan berjalan menuju kamar mandi dengan langkah tertatih-tatih.

Dikamar mandi, Dara tidak membersihkan diri, wanita itu malah membungkuk sembari mengurut tengkuknya. Cairan kental berwarna merah keluar dari mulutnya. Disertai dengan mual yang benar-benar hebat.

Berulangkali kali Dara mengeluarkan cairan kental itu dari mulutnya. Naas Dara tersengal-sengal. Tenaganya disedot habis hanya dengan memuntahkan cairan yang mirip darah itu.

Tubuhku, rasanya panas sekali. Arghhhh ... dan lagi, perutku sangat sakit! batin Dara.

Satu jam lamanya Dara didalam kamar mandi. Selama itu pula, kamar mandi berubah warna menjadi merah. Muntahan Dara yang berupa darah berceceran dimana-mana.

"Hahh ... hahh ... ugh ... n-napasku, sangat berat. K-kenapa aku jadi seperti ini?" tanya Dara.

Dara bangkit dengan tenaga yang tersisa, ia mulai menyiram air dingin ke seluruh tubuhnya. Wanita itu berharap napasnya kembali teratur dan panas tubuhnya segera lenyap.

"DARA! DARA! DIMANA KAU?" teriak Aji dari luar kamar mandi.

Dara—yang sedang kesakitan—tidak menjawab panggilan suaminya. Ia mementingkan keselamatan dirinya terlebih dahulu. Wanita itu merasa jika dia bisa mati kapan saja, muntahan darah ini sangat mengerikan.

Aji—yang sedari masuk kamar tidur berteriak-teriak—tiba-tiba masuk ke dalam kamar mandi. Wajah pria itu terkejut melihat kamar mandi yang berubah menjadi kolam darah. Ia hendak pergi, tetapi urung saat melihat istrinya menggigil di sudut kamar mandi.

"Apa yang terjadi disini?" tanya Aji.

Dara tidak menjawab, ia memandang suaminya dengan air mata yang mengalir tanpa henti. Mulutnya kembali memuntahkan cairan merah kental.

Aji bergidik melihat sosok istrinya. Pria itu malah keluar dari kamar mandi dan tidak lagi kembali. Sedangkan Dara, wanita itu sudah pingsan saat kaki Aji meninggalkan kamar mandi.

***

Gayatri dan Widati berniat mengunjungi istri dari kakak ipar mereka. Awalnya mereka hanya akan mengetuk pintu kamar Dara dan akan pergi jika tidak ada jawaban.

Namun, mereka memutuskan masuk setelah melihat suami Darapuspita ada diluar rumah. Betapa terkejutnya mereka saat melihat tubuh Dara tergeletak tidak berdaya.

"Astaga! Mba Dara! Mba Gayatri, ini Mba Dara kenapa?" tanya Widati.

"Bagaimana aku bisa tahu itu, Wid? Sebaiknya kita bersihkan noda darah ditubuh Mba Dara, lalu membaringkannya ke tempat tidur," pinta Gayatri.

"Baiklah, Mba Gayatri."

Widati masuk ke kamar mandi dan mengambil wadah berisikan air. Istri Teja itu membawa wadah air dengan hati-hati, sebab didalam perutnya ada seorang bayi. Widati tidak ingin terjadi yang tidak-tidak kepada bayinya.

"Ini airnya, Mba Gayatri."

Gayatri mengangguk, wanita itu mengambil kain dari lemari milik Dara dan membasahinya dengan air. Dengan telaten, istri Daru itu mengusapkan kain basah pada tubuh Dara yang terkena banyak darah.

"Kok bisa ada darah gitu ya, Mba? Tadi di kamar mandi aku dibuat terkejut! Kamar mandinya sepertinya kolam darah, Mba," ungkap Widati.

"Darah? Kau tidak kenapa-kenapa kan? Bayimu baik saja?"

"Tenang, Mba. Aku memang terkejut, tetapi tidak sampai ketakutan setengah mati. Bayiku baik-baik saja, aku orangnya kuat dan tidak penakut."

"Benarkah? Duh ... Aku mungkin sudah berteriak keras ya, mungkin Mas Daru juga."

"Mas Daru memang kenapa, Mba?" tanya Widati.

Mereka berdua memindahkan Dara keatas tempat tidur dengan pelan-pelan. Kedua ibu hamil ini, takut jika terjadi hal yang tidak diinginkan, menimpa bayi mereka. Untungnya Dara ringan, seringan bulu.

"Mas Daru itu penakut, sama seperti aku," jawab Gayatri.

"Ohh ... eh, Mba Gayatri merasa kalau tubuh Mba Dara terlalu ringan?"

Gayatri menatap tubuh Dara yang sudah bersih dan tertutup selimut. Istri Daru itu menyadari jika wajah Dara terlalu pucat. Ia juga merasa ada yang aneh dengan lengan Dara yang sangat kurus.

"Aku ... tidak tahu, Wid. Kalau boleh jujur, Mba merasa ada yang aneh dengan rumah ini. Mba tidak mau menyimpulkan tanpa bukti, sepertinya ... hal yang menimpa Mba Dara ada hubungannya dengan keanehan rumah ini," ungkap Gayatri.

Widati hendak menanggapi, tetapi Darapuspita bangun dan mengagetkannya. Anehnya ... wajah pucat Dara sudah menghilang, begitu saja.

Ini aneh, Mba Gayatri berkata jika wajah Mba Dara pucat, juga lengan Mba Dara tadi kurus! Akupun merasakannya, tetapi ... kenapa sekarang seakan semua hal aneh itu tidak pernah terjadi pada Mba Dara, batin Widati.

Dara menatap Gayatri dan Widati dengan tatapan bingung. Kepalanya sempat berdengung beberapa detik.

"Kalian kenapa ada di kamarku?" tanya Dara.

"Mba Dara tidak ingat? Kami sendiri tidak tahu apa yang terjadi pada Mba Dara. Saat kami datang, Mba Dara ... tergeletak di lantai," ungkap Gayatri.

"Ha?"

***

Singkatnya, aku hamil. Mas Aji sangat senang mengetahui kehamilanku ini. Tanpa terasa, sudah enam bulan bayi ini di dalam perutku. Hari ini, adalah hari kelahiran anak Gayatri dan Widati. Kamu harus menjadi anak yang baik dan lahir dengan sehat nantinya ya nak. Seperti kedua sepupumu itu, batin Dara saat melihat kedua keponakannya.

Anak Gayatri dan Widati sama-sama perempuan. Mereka cantik dan sangat kecil. Matanya merah seperti bapak-bapaknya. Para istri Cakrawangsa tidak berhenti tersenyum, ini adalah kebahagiaan yang berarti bagi keluarga Cakrawangsa.

Usai berpuas hati melihat keponakannya, Dara pamit kepada Gayatri dan Widati. Ibu hamil yang satu itu sudah lelah, Dara hendak kembali ke kamar. Tetapi, ia mendengar bisik-bisik dari ruangan yang difungsikan sebagai gudang.

"Dimana tempat kita menumbalkan mereka?"

Tunggu, tumbal? Itu suara Mas Aji. Kenapa Mas Aji membicarakan tumbal? batin Dara.

"Bukankah itu bisa dimana saja? Yang penting ada dirumah Cakrawangsa ini bukan?"

Suara Teja, batin Dara.

Wanita itu memutuskan untuk diam lebih lama di lorong. Dara mencoba menguping pembicaraan suaminya, sebisanya. Tangan kanannya memegang perutnya yang mulai membesar, ia berharap anak di dalam kandungannya tidak mendengar pembicaraan gila ini. 

"Iya, malam ini juga. Seperti yang diminta iblis Cakrawangsa, kita akan menumbalkan putri-putri cantik kita."

Daru? Tunggu, mereka akan menumbalkan anak mereka sendiri? Untuk apa? Atau jangan-jangan, Mas Aji juga akan menumbalkan anak di perutku ini? batin Dara bergejolak.

Dara mundur perlahan dan segera berbalik. Air matanya mengalir tanpa ia inginkan. Wanita itu, harus kabur dari rumah ini.

"Itu berarti, firasatku tentang hawa aneh rumah ini ada benarnya! Kamu tenang saja ya nak ... ibu akan melindungimu dengan mengerahkan semua yang ibu bisa."

Tumbal Keluarga CakrawangsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang