Seri yang sudah memutuskan untuk mengikuti cara Seto, menjadi sedikit santai. Perempuan itu tidak terlalu memikirkan hal yang terjadi sampai penumbalan dirinya tiba. Batu ruby yang selalu ia bawa, akan menjadi senjata Seri.
Sekali lagi, Seri masih belum begitu percaya. Tetapi, anak bungsu Ian itu tidak bisa memikirkan apapun untuk saat ini. Sehingga, perasaan mau tak mau, dengan mudahnya menguasai Seri.
Namun, hari-hari yang Seri pikir akan tenang, malah menjadi hari-hari terburuk sepanjang hidupnya. Entah apa penyebabnya, sosok-sosok gaib mengerikan selalu muncul dihadapan Seri. Membuat perempuan itu cemas dan ketakutan.
Batu ruby yang didapatkan Seri tidak membantu mengusir sosok-sosok itu. Malahan, batu itu selalu berpendar-pendar merah dengan terang dan mengganggu waktu tidur Seri. Cahaya itu tidak pernah padam sejak anak bungsu Ian itu menampar Edsel Cakrawangsa.
"Batu tidak berguna! Apa benar batu ini bisa merusak lingkaran penumbalan?" keluh Seri.
Perempuan itu menatap jendela kamarnya yang terbuka. Ia menghela napas. Sudah seminggu sejak Seri terbuka dan menangis kepada keempat kakaknya. Selama seminggu itu, ia menghabiskan waktu di dalam kamar. Lebih tepatnya, mengurung diri dengan sengaja.
Seri yakin, setelah ia menampar pipi kakak pertamanya, Edsel atau salah satu dari keempat kakaknya mengadu. Sebab, Seri merasakan tatapan tajam dari sang ayahanda. Walau perempuan itu sudah terlalu sering mendapatkan pandangan seperti itu dari ayahnya, tapi yang ini berbeda.
Tatapan ayahnya seperti mengatakan bahwa Seri memiliki kesalahan besar yang tidak dapat dimaafkan. Seri tidak tahu apa yang dimasalahkan ayahnya, yang jelas perempuan itu sedikit terganggu dengan pandangan Ian Cakrawangsa.
Belakangan ini, Seri juga mendengar jikalau para paman dan saudaranya yang sudah beristri sedang beramai-ramai pergi ke dokter kandungan. Seri pikir hal ini terjadi karena musim punya anak, tapi ia ingat jika keluarga Cakrawangsa menumbalkan para anak perempuan mereka. Perempuan itu langsung mengambil kesimpulan jika keluarga Cakrawangsa akan melakukan penumbalan besar-besaran.
Maka dari itu, Seri hendak mencari tahu. Hal apa yang membuat keluarga Cakrawangsa hendak melakukan penumbalan besar-besaran.
"Kalau anaknya laki-laki semua, pasti rencana penumbalan besar-besaran ... gagal?" celetuk Seri.
Namun, tentu saja tidak ada cara untuk mengubah dan menentukan jenis kelamin bayi Cakrawangsa. Semua itu adalah takdir. Para perempuan yang sudah ditumbalkan atau akan ditumbalkan, memang ditakdirkan untuk menjalani hidup seperti itu.
Seri turun dari tempat tidurnya. Perempuan itu akan keluar dan mencari tahu. Baru saja kakinya memijak lantai, sosok busuk dengan darah yang biasanya muncul, berhasil mengagetkan Seri.
"Aih. Bisakah sekali saja aku menjalani hari dengan tenang?" tanya Seri kepada sosok itu.
Tentu saja tidak ada jawaban. Seri menggerutu, lantas beranjak dari kamarnya. Perempuan itu hendak memasang telinganya dengan baik, seperti saat pertama kali mendengarkan kabar mengenai penumbalan Cakrawangsa.
Sosok busuk itu hanya diam dan mengamati setiap gerak-gerik Seri. Tanpa memiliki niat untuk menganggu sang pemilik kamar. Makanya Seri sangat bersyukur, sosok itu tidak mengganggu. Dia jadi lebih leluasa untuk mencari fakta yang informatif dan akurat.
Baru saja memutar kenop pintu, Seri dikejutkan dengan kemunculan sosok lain. Kali ini anak kecil dengan bercak darah di sekujur tubuhnya. Sosok yang memiliki senyum aneh. Senyum yang terlihat seperti mulutnya sengaja di tarik ke samping.
Senyuman lebar, dari ujung kanan pipinya ke ujung kiri pipinya. Seakan-akan, rahang dari anak kecil itu sangatlah besar.
Seri mencoba untuk tidak memperhatikan sosok anak kecil itu. Bungsu dari 5 bersaudara itu berjalan dengan semangat membara, menuju rumah Cakrawangsa bagian timur.
Rumah-rumah di bagian timur ibarat pemukiman padat di Indonesia. Kebanyakan keluarga Cakrawangsa memang tinggal disana, membuat Seri harus berhati-hati agar tidak dilihat keluarga Cakrawangsa yang lain. Begitu melewati bagian timur dari rumah Cakrawangsa, si bungsu ini melambatkan langkahnya.
Seri hendak berbelok ke kanan, tapi atensinya tersedot pada wanita muda yang duduk di depan salah satu kamar. Dia adalah Ghina—istri dari Herman Cakrawangsa. Seri merapatkan tubuhnya dengan dinding dan memasang telinganya pada posisi siap siaga.
"Padahal ... aku ingin anakku menjadi besar dan kuat. Tapi mengapa Cakrawangsa meminta tumbal lagi?" gumam Ghina.
Gumaman istri Herman itu masih dapat didengar Seri dengan jelas, sebab suasana di sekitar rumah bagian timur sangat sunyi. Untuk sejenak Seri terdiam, pikirannya melayang.
Jadi memang benar ... kalau Cakrawangsa meminta tumbal lagi. Aku tidak bisa membantu apapun ... atau ... batu ruby itu bisa membantu? Jika baru ruby itu bisa menghancurkan lingkaran penumbalan ... maka anak perempuan Cakrawangsa, akan selamat! batin Seri.
Pemikiran Seri juga dijadikan sebagai practice sebelum memakai batu ruby saat usianya 17 tahun. Hal ini juga bisa menjadi momen untuk mengetes kemampuan ruby merah yang Seri temukan di ruangan tersembunyi.
Merasa sudah cukup, Seri bergerak perlahan dari sana. Perempuan itu mencoba keluar dari rumah Cakrawangsa bagian timur tanpa menimbulkan suara.
Namun, keberuntungan sedang meninggalkannya. Sebuah tangan menepuk pundaknya, membuat bulu kuduk Seri berdiri. Dengan gerakan pelan, perempuan itu menoleh ke belakang.
"Mau apa kau di sini?" tanya seseorang di belakang seri.
Keringat dingin membasahi pelipisnya, jantung Seri berdetak lebih cepat. Orang yang menepuk pundaknya adalah sang Ibu. Miran Cakrawangsa menunggu jawaban dari anak bungsunya dengan tatapan dingin.
"M-maafkan saya ibunda. Saya datang ke rumah bagian timur, karena saya mencari ... Ibunda! Ada ... tugas yang harus ditandatangani oleh ibunda, tetapi ... saya malah lupa membawa bukunya. U-untuk itu ... saya akan kembali lagi nanti," ujar Seri dengan gugup.
Tanpa merasa curiga dengan sang putri, Miran mengangguk. Ia mempersilahkan Seri untuk kembali ke kamarnya dan mengambil buku tugasnya.
Begitu ijin sudah turun, Seri pamit dari sana. Perempuan itu berjalan sembari berlari. Alasan larinya, bukan untuk datang ke rumah bagian timur lebih cepat, tetapi untuk kabur lebih cepat dari sang ibu.
Padahal, Miran bukan orang yang jahat atau kejam. Ia hanya terlalu diam dan menahan. Fakta yang tidak Seri ketahui dari ibundanya adalah fakta jika Miran sangat menyayanginya. Hanya saja, ia menjauh. Agar saat putri bungsunya ditumbalkan, istri Ian itu tidak terlalu bersedih.
Mengapa aku berlari? batin Seri.
Seri berhenti berlari saat dia menaiki anak tangga. Di tempat itu dia mulai bersantai, sampai seorang sosok busuk muncul dihadapannya.
"Aih, kamu lagi?" tanya Seri.
Sosok busuk itu muncul lagi, jumlah munculnya lebih banyak daripada kemarin. Dari pagi sampai sore ini, sosok itu tak henti-hentinya mengagetkan Seri. Si anak bungsu masih belum tahu, alasan dari sosok busuk dengan darah yang mengering itu sering muncul di hadapannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tumbal Keluarga Cakrawangsa
Paranormal"Cakrawangsa, artinya keluarga cerdas. Tetapi, apakah menumbalkan putri mereka kepada makhluk halus adalah tindakan cerdas?" tanya Seri. Serinaraya Cakrawangsa adalah bungsu dari lima bersaudara. Cakrawangsa nama keluarganya. Cakrawangsa memiliki a...