24. THE RUBY GEMS

3.2K 232 1
                                    

Ian menepuk bahu istrinya. Miran tidak bergerak sedikitpun dari posisi duduknya, pandangannya kosong. Ian menghela napas panjang, dengan perlahan ia mengangkat istrinya dan menggendongnya. Pria itu tidak seperti yang di film-film romantis yang menggendong ala bridal style atau apalah itu, ia mengutamakan keselamatan tangannya. Juga cara menggendong di punggung membuatnya bergerak lebih cepat dan mudah.

Apakah dia syok? Bukankah dia terbiasa dengan hal-hal mengerikan mengenai Cakrawangsa? batin Ian.

Ian pikir, karena menyangkut putri satu-satunya, Miran jadi seperti ini. Tidak sepertinya yang biasa-biasa saja saat mengetahui tidak adanya Seri di dalam gudang harta. Pria itu yakin jika putrinya akan kembali, entah bagaimana keadaannya. Yang jelas, Ian berharap Seri kembali dengan selamat agar bisa ditumbalkan kepada Cakrawangsa.

Setelah memposisikan istrinya dengan nyaman, Ian berdiri sembari memegangi tangan istrinya. Miran masih tidak berbicara apapun, tetapi perempuan itu merasa tidak nyaman di gendongan suaminya.

"Aku tidak tahu jika kau seringan ini, Miran. Apakah kau tidak pernah makan dengan baik?" tanya Ian kepada istrinya.

Pria itu heran saat merasakan istrinya seringan anaknya. Terakhir kali Ian menggendong Arvin—anak ke empatnya—tidak seringan ini. Padahal jika dilihat sekilas, Miran terlihat sehat dan bugar.

Mengapa seringan ini? Apakah dia sakit? batin Ian.

Ian berjalan menuju pintu keluar gudang dengan santai. Sebelum benar-benar menutup pintu, ia melihat kembali ke dalam. Cukup lama pria itu menatap isi gudang, sampai akhirnya ia berbalik dan menutup pintu gudang.

Mereka berdua terlalu cepat keluar. Sebab, saat pintu tertutup, cahaya merah berpendar-pendar dan menyinari ruangan. Cahaya yang muncul dari lantai gudang. Sedetik kemudian, lantai gudang retak. Menyebabkan lubang besar yang membuat seluruh harta Cakrawangsa jatuh.

***

Seri merasakan sakit di seluruh tubuhnya. Tubuhnya seakan baru saja ditimpa sesuatu yang sangat berat. Mata perempuan itu mulai terbuka, matanya menyipit untuk menyesuaikan dengan cahaya tempat dia berada.

"Loh? Aku dimana?"

Seri mengedarkan pandangannya, perempuan itu melihat pemukiman warga yang rumah-rumahnya terbuat dari kayu dan sangat sederhana. Pemukiman dengan orang-orang berpakaian sederhana lalu-lalang, berada tepat dibawah.

Seri sadar jika dirinya berada di atas bukit, perempuan itu disambut dengan udara yang segar serta langit sore yang cerah. Anehnya, Seri tidak melihat satupun gedung tinggi atau setidaknya tiang listrik yang tinggi bermeter-meter.

Seri bangkit, ia mengedarkan pandangannya sekali lagi. Kini, perempuan itu yakin jikalau dia tidak berada di bawah gudang harta rumah Cakrawangsa dan juga tidak sedang halusinasi. Ini nyata. Terpaan angin yang lembut, sinar mentari yang hampir bersembunyi di ujung barat, juga suara warga-warga yang ada di bawah, semua ini bukan imajinasi Seri.

Seri memutuskan untuk turun ke bawah menuju pemukiman. Sebelum turun lebih jauh, perempuan itu mencoba melemparkan batu ruby yang ada di genggamannya.

"Aih, batu ruby ini tidak kunjung terlepas dari tanganku," keluh Seri.

Seri mulai melangkah melewati jalan setapak yang ada di dekat bukit. Perempuan itu bersyukur tidak perlu melewati jalanan terjal serta berbatu untuk turun ke bawah. Jalan setapak yang ia lalui benar-benar mulus dan dibuat seperti tangga.

Tumbal Keluarga CakrawangsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang