32. THE ROTTEN GHOSTS

3K 231 4
                                    

Melihat putrinya berlari dengan takut-takut, membuat hati Miran seakan di tusuk jarum. Putrinya yang ia beri nama Seri itu selalu canggung bahkan takut ketika berhadapan dengannya. Inilah hidup yang harus dijalani Miran, jauh dengan putrinya dan hidup dengan cengkraman perjanjian Cakrawangsa.

Miran menghela napas saat mengingat betapa buruk nasibnya, tetapi nasi sudah menjadi bubur. Sudah resikonya menikahi seseorang dari keluarga Cakrawangsa. Walau pada awalnya ia tidak tahu dan merasa jika dijebak oleh sang suami.

Butuh waktu yang cukup lama bagi Miran untuk memantapkan hatinya lagi. Begitu sudah mantap, wanita itu berjalan menuju bagian paling ujung dari rumah bagian timur. Disana terdapat sebuah ruangan dengan pintu berukiran jawa. Ruangan tersebut adalah ruangan yang paling sering digunakan untuk upacara penumbalan.

Miran menggapai gagang pintu dan memutarnya. Lantas dengan sedikit tenaga, ia mendorong pintu hingga terlihat isinya. Mata Miran menyipit saat memasukinya ruangan tersebut.

Ruangan dengan cahaya terang dan berwarna merah. Cahaya tersebut tidak berasal dari lampu, melainkan dari lingkaran penumbalan yang sangat besar.

Lingkarannya diperbesar? Oh, pasti karena penumbalan kali ini besar-besaran, batin Miran.

Lingkaran tersebut sudah dipersiapkan sejak sekarang sebab akan digunakan beberapa minggu lagi. Tanpa disadari keluarga Cakrawangsa sendiri, kehamilan setiap keluarga Cakrawangsa terhitung cepat. Tidak perlu sembilan, delapan atau tujuh bulan. Hal ini tidak disadari karena setiap keluarga selalu berfokus dengan cara cepat menghasilkan anak, agar bisa ditumbalkan.

Kecepatan dari periode kehamilan ini disebabkan oleh perilaku keluarga Cakrawangsa sendiri. Sebab mereka tidak bisa memenuhi tumbal yang berusia 17 tahun, kebanyakan tidak lahir saat malam Jumat Kliwon. Cakrawangsa yang membutuhkan banyak intisari kehidupan, terpaksa membuat periode kehamilan setiap istri Cakrawangsa menjadi lebih cepat.

Sebenarnya, apa keuntungan menumbalkan bayi-bayi mungil seperti ini? Bukankah yang diminta oleh Cakrawangsa adalah tumbal berusia 17 tahun? Setahuku, tumbal yang berusia 17 tahun memiliki intisari kehidupan yang sangat banyak. Apa penyebab keluarga Cakrawangsa merubah hal ini? Awal mula penumbalan bayi yang baru lahir ini ... dari siapa? batin Miran.

Wanita itu masih mengamati lingkaran penumbalan yang berputar dengan pelan. Sulit baginya untuk melihat penumbalan, apalagi menikmati hasil yang didapatkan dengan perasaan senang. Miran tidak ingin mengakui ini, dia juga memakai harta yang didapat dari penumbalan. Tetapi, dari lubuk hati yang paling dalam, Miran merasa sungkan.

Miran memilih keluar dari ruangan itu. Terlalu lama disana bisa membuatnya merenungi nasib terus-terusan.

***

Ini sudah malam, dan sudah waktunya tidur, tetapi Seri masih mondar-mandir di depan meja belajarnya. Diatas meja belajar sudah ada batu ruby yang masih saja berpendar-pendar. Rasanya Seri ingin membanting batu ruby itu, sebab ia sudah muak dengan cahaya yang menganggunya.

Perempuan itu resah karena pertemuannya dengan sang ibu. Suasana canggung yang terjadi benar-benar membuat Seri tidak nyaman. Belum lagi, Seri kabur tanpa permisi yang hormat.

Ibunda bukannya jarang keluar ya? Mengapa ... tadi dia berada di dekat lorong yang menuju gedung barat? Aih, gara-gara Ibunda Miran Cakrawangsa ... aku tidak jadi menyelinap, berkeliling dan mencari tahu apa yang terjadi, batin Seri

Tidak ingin tidur terlalu malam, juga tidak ingin bertemu sosok berpakaian serba emas, Seri memutuskan untuk pergi tidur. Begitu selimut ditarik, Seri memejamkan matanya. Alam mimpi menjadi destinasinya malam ini.

Namun, bau busuk dan rasa berat di tangan sebelah kiri membuat Seri terbangun. Ia melihat ke arah kiri dengan mata kantuknya, butuh beberapa menit untuk perempuan itu tersadar dan melihat apa yang disebelahnya.

"AAH!" teriak Seri.

Untungnya, Seri membuat kamarnya menjadi kedap suara beberapa bulan yang lalu. Perempuan itu melakukan hal ini karena ia tidak ingin seseorang mendengar rencananya untuk menggagalkan upacara penumbalan.

Teriakan Seri tidak membuat rumah Cakrawangsa menjadi gaduh. Yang gaduh hanyalah Seri. Perempuan itu terduduk dan mundur beberapa kali hingga punggungnya menabrak tembok. Ia tidak menyangka, jikalau sosok busuk akan mengganggu waktu tidurnya.

Kenapa aku mundur? Seperti ketakutan ... aih, aku hanya kaget. Tunggu, sosok itu tidak pernah menggangu seperti ini sebelumnya. Apa jangan-jangan terjadi sesuatu yang membuat sosok busuk nan mengerikan ini resah? batin Seri.

Punggung Seri terangkat dari tembok. Perempuan itu mengikis jarak, hanya sepersekian sentimeter. Ia merapikan rambutnya yang berantakan, lantas menatap sosok busuk itu tanpa ekspresi.

"Apa tujuanmu? Mengapa kau menganggu waktu istirahatku? Sebelumnya, kau tidak pernah begini?" tanya Seri.

Sosok itu hanya diam, tetapi secara tiba-tiba sosok itu menunjuk jendela kamar yang terbuka lebar. Mata merahnya masih menatap Seri. Hanya suara napas yang terdengar ke telinga perempuan itu.

"Setan napas? Ah ... itu tidak penting. Sekarang adalah bagaimana caranya memahami gerak-gerik anehmu ini," ujar Seri.

Sosok itu menunjuk-nunjuk Seri, lalu menunjuk dirinya sendiri. Dilanjut dengan berpindahnya sosok itu ke depan pintu kamar Seri. Seri memutar otaknya dengan tenang, kejeniusan yang didapat dengan cara curang bekerja dengan baik. Perempuan itu mengangguk-angguk mengerti.

"Jadi, kau ingin aku mengikutimu dan pergi ke luar. Nah, sekarang ... keluar ke ...."

Sosok itu menunjuk jendela dan berpindah ke depan jendela. Seri mengikuti sosok itu dan melihat keluar jendela. Begitu perempuan itu di depan jendela, sosok busuk menunjuk gerbang keluar.

"Ha? Keluar dari rumah Cakrawangsa? Untuk apa?" tanya Seri.

Kali ini, sosok itu tidak berbuat apa-apa. Ia hanya terdiam sembari memandang Seri. Orang yang dipandangi menarik rambutnya dengan pelan, takut rontok.

"Baiklah, besok saja ya? Malam-malam seperti ini ... berbahaya. Apalagi ... aku bisa melihat teman-temanmu," ujar Seri.

Seri sudah menganggap masalah selesai. Ia naik ke atas tempat tidur dan menarik selimutnya.

"Selamat tidur, siapapun kau," celetuk Seri.

Sosok busuk itu masih berdiri di sana, memandangi Seri yang mulai terlelap. Sosok itu mengambil tempat di kursi belajar pemilik kamar. Sorot matanya berubah menjadi sendu, jika anak bungsu Ian melihat wajah sendunya sudah pasti akan berkata, 'hantu bisa sedih?' .

Sosok itu membuka mulutnya, mencoba berbicara kepada Seri. Gigi-giginya yang tajam dan berwarna kemerahan terlihat. Setetes air menetes dari matanya yang berwarna merah darah.

Sosok itu menangis di depan Seri. Perempuan yang sudah terlelap tentunya tidak akan mengetahui hal ini. Sosok itu membuka mulutnya perlahan, sembari menatap rembulan yang indah dan sedap dipandang.

Untuk beberapa saat, tidak ada suara yang keluar dari mulut sosok itu. Melihat rembulan membuat air mata kehitaman mengalir semakin deras.  Sosok itu benar-benar berharap agar bisa diberikan kesempatan untuk mengucapkan sepatah kata.

"M-maaf karena aku ... ker-ras kepala."

Tumbal Keluarga CakrawangsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang