34. THE WHITE HOUSE

2.9K 220 3
                                    

"Maafkan kami. Kami memanggil iblis Cakrawangsa untuk mempercepat waktu di rumah Cakrawangsa. Kami melakukan hal ini agar iblis Cakrawangsa mendapatkan tumbal lebih cepat," ujar Ian.

Ujaran tersebut membuat asap merah yang duduk di singgasana tertawa terbahak-bahak. Semua pria yang ada disana hanya menundukkan kepalanya, takut jikalau asap merah itu melakukan hal yang mengerikan.

"Apa kau bodoh? Keluarga Cakrawangsa sudah rusak semenjak menumbalkan putri yang baru lahir, bukannya putri yang berusia 17 tahun. Walau diperbolehkan, tapi ... apa kalian para pria Cakrawangsa tidak sadar diri? Mengapa masih saja menumbalkan putri yang baru lahir? Bukankah jaman semakin canggih? Kemarin aku lihat sudah ada cara menentukan hari kelahiran seorang bayi. Mengapa kalian masih saja mengikuti tetua kalian yang bodoh?" tanya sosok asap merah.

Semua orang terdiam. Mereka tidak menyadari akan hal ini, yang mereka pikirkan hanyalah kekayaan, kecerdasan dan sanjungan orang-orang.

"Namun, tetua diberikan petunjuk oleh iblis Cakrawangsa. Petunjuk yang ditulis dengan darah ... orang tua mereka," celetuk Bahas Cakrawangsa.

"Ahh ... mengenai tumbal yang diberikan satu tahun sekali? Tentu, kalian bisa menumbalkan putri kalian yang baru lahir. Tapi, mengapa mereka tidak memuaskan iblis Cakrawangsa dengan tumbal 17 tahun? Itu yang menjadi kewajiban, bukannya menumbalkan putri yang baru lahir terus-menerus."

"Lalu ... kami harus apa?" tanya Ian.

"Hiduplah dengan kemiskinan bodoh! Hahaha!" teriak sosok asap merah.

Detik berikutnya, sebuah kejadian tidak terduga terjadi. Lingkaran aksara Jawa yang ada di atas langit-langit berputar semakin cepat. Petir menyambar dari luar rumah, membuat pria-pria yang ada di ruangan itu menutup telinga.

Petir menyambar sebanyak sepuluh kali dengan suara yang nyaring. Setelah beberapa petir menyambar, terdapat suara berat nan serak yang menggema di ruangan itu.

"Kita nggawe iki dadi gampang. Sampeyan isih bisa ngorbanake putri sing nembe lair. Aku isih bakal mbayar pengorbananmu. Aku ugi badhe ngijabahi panyuwunipun, wekdal ing griyanipun Cakrawangsa langkung cepet 9 wulan ngajeng. Nanging, aku pengin Serinaraya Cakrawangsa dikurbanake karo bayi-bayimu." ¹

Sosok asap merah hendak memprotes, tetapi ia sadar memprotes tuannya hanya akan menambah masalah untuk dirinya sendiri. Pada akhirnya, diam menjadi pilihan si asap merah.

Sementara itu, pria-pria Cakrawangsa bersimpuh. Mereka mengucapkan terima kasih terus-menerus. Ekspresi mereka menjadi senang hati.

"Saya, akan membawa anak saya ... Serinaraya Cakrawangsa ... untuk ditumbalkan. Saya berjanji. Tetapi, usianya belum genap 17 tahun. Apakah ... itu tidak masalah?" tanya Ian.

Tidak ada jawaban, hanya keheningan yang menyambut pertanyaan Ian Cakrawangsa. Pria itu menatap sosok asap merah, tapi sosok itu sibuk untuk mempersiapkan kepergiannya dari dunia manusia. Ian menghela napas panjang.

"Saya anggap keterdiaman ini berarti ... tidak masalah," lanjut Ian.

***

Sudah 30 menit berlalu, sosok busuk masih saja belum berhenti. Sosok itu masih berjalan di depan Seri, menjadi pemandu perempuan itu. Matahari mulai terik, Seri merasa kulitnya terbakar.

Membawa tas seberat tiga kilogram, ditambah batu ruby yang entah kenapa terasa semakin berat. Seri berjalan di trotoar dengan bermandikan peluh. Tetapi, sosok busuk itu tidak memiliki inisiatif untuk meneduh.

Tumbal Keluarga CakrawangsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang