Part 5
Masa Kini dan Masa laluDi penghujung tahun 2004
“Ada yang aneh dengan taman itu, Ji” Ucapku kepada teman seperjalananku ketika kami sedang menikmati kopi di sebuah warung di depan taman kota.
“Ini sih ngga bisa di sebut taman, Ga. Tapi hutan” Sahutnya.
“Terserah, yang penting di pintu masuk tulisannya taman” sungutku
“Tapi bener apa yang kamu bilang, Ji. Taman itu terlalu rimbun dan pohonnya juga gede-gede. Tapi bukan itu maksudku. Ada sesuatu yang lain di dalam sana” sambungku
“Mau cek ke dalam?” Ucap temanku yang bernama Aji itu.
“Kita cari info dulu aja”
“Bu, nuwun sewu (Bu, permisi)” Ucap Aji kepada wanita paruh baya pemilik warung.
“Nggih mas, pripun. (Iya mas, bagaimana)” Jawabnya.
“Bu, kulo Aji, niki rencange kulo sing buagus dewe asmane Arga. Menawi Ibu gadah lare putri ingkang tasih legan.... (Bu, saya Aji. Ini teman saya yang paling ganteng namanya Arga. Apa Ibu punya anak gadis yang masih sendiri....)”
Plaaaak... telapak tanganku langsung melayang di kepala Aji dan seketika menghentikan ucapannya.
“Sing genah. (Yang bener)” Ucapku, sedangkan Aji hanya cengengesan dan ibu pemilik warung itu pun tertawa terpingkal-pingkal.
“Ampun dimirengke, bu. Cah edan niku (Jangan didengarkan, bu. Anak gila itu)” Ucapku lagi.
“Mase kok yo lucu tenan to. Tapi nggih asline kulo gadah lare putri, mas. Nanging tasih sekolah” Ucap ibu itu sambil sesekali masih tertawa.
“Nah, Ga. Tenan to. (Nah, Ga. Bener kan) Ucap Aji, namun aku langsung menyelanya sebelum bicaranya semakin melantur.
“Menengo. (Diamlah)”
“Lha badhe tanglet nopo to mas jane. (Lha mau tanya apa sih mas sebetulnya)” Ucap ibu pemilik warung itu setelah puas dengan candaan dari Aji.
“Kulo badhe tanglet tentang taman meniko, bu. (Saya mau tanya tentang taman itu, bu)” Ucapku dengan nada lebih serius.
Ibu pemilik warung yang bernama Sri itu pun seketika menatap lekat kepadaku. Guratan tajam yang menunjukkan keseriusan jelas terlihat dari wajahnya. Tak ada lagi lontaran canda dari mulut Aji yang menunjukkan dia pun mulai serius.
“Wonten ancas menopo njenengan nagletake taman meniko? (Ada tujuan apa kalian menanyakan tentang taman itu?)” Ucap Bu Sri.
“Mboten wonten tujuan nopo-nopo, bu. Namung penasaran mawon kok taman niku kados mboten kaurus. (Tidak ada tujuan apa-apa, bu. Hanya penasaran saja kok taman itu seperti tidak terurus)” Ucapku.
“Taman kui ora kok ora kaurus. Nanging ora ono sing sanggup ngurus. (Taman itu bukannya tidak terurus. Tapi tidak ada yang sanggup mengurus.) Tiba-tiba terdengar suara lelaki menjawab dari luar warung. Kami bertiga pun serempak melemparkan pandangan kepadanya.
“Njenengan mawon sing crita, pak. Ketoke mas-mas iki ora seko kene dadi durung ngerti soal taman kui” Ucap Bu Sri.
“Aku Pak Marto, mas. Bojone Bu Sri. (Aku Pak Marto, mas. Suaminya Bu Sri)” Ucapnya memperkenalkan diri, yang ternyata suaminya Bu Sri pemilik warung itu. Kami pun langsung menyalaminya dan ikut memperkenalkan diri.
“Sampeyan ini dari mana dan mau kemana, kok tiba-tiba penasaran dengan taman itu?” Ucapnya kemudian.
“Kami dari kota sebelah, pak. Sebetulnya kami sekedar lewat mau ke Desa Rowosari mengunjungi saudara kami. Kebetulan kami istirahat di sini dan penasaran dengan taman itu kenapa tidak terurus” Ucapku, sedangkan Aji masih asyik menyeruput kopinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bulan Hujan Dan Perempuan di Sudut Taman (Tamat)
HorrorRoh perempuan yang mati membawa dendam terus bergentayangan selama ratusan tahun. Dia terus menunggu sosok kekasih yang bisa membuatnya tenang. Akankah penantiannya itu terjawab? Cerita yang mengambil setting waktu berbeda-beda serta sudut pandang d...