Bab 11 Ujung Penantian (Tamat)

130 9 2
                                    

Bab 11
Ujung Penantian

Tiga hari berlalu begitu saja. Badanku kini telah pulih sepenuhnya. Siang nanti kami berencana untuk kembali. Aku bersama Aji dan Paman Arya berencana akan menelusuri lebih lanjut tentang taman itu. Terutama mengenai sosok Kolosetro. Sedangkan Mas Burhan harus segera kembali bekerja setelah ijin beberapa hari.

“Kelemahan Kolosetro ada di kepalanya. Dulu ada mustika di situ. Damar sudah berhasil menghancurkannya. Tapi bisa saja mustika itu sudah kembali terbentuk, karena dia sudah mendapatkan banyak tumbal selama beberapa ratus tahun ini” ucap Mas Burhan ketika kami sedang menikmati kopi di pendopo pondok.

“Jadi kita tinggal menghancurkan mustika itu?” tanyaku.

“Betul. Tapi tidak semudah itu. Mustika itu hanya bisa dihancurkan dengan keris kembang maya. Jadi kita harus mencabut keris itu dari sukmanya terlebih dulu” jawab Mas Burhan.

“Mas Burhan sudah tahu caranya?” tanya Paman Arya.

“Saya tahu, Paman. Ada mantera khusus untuk memanggil kekuatan keris itu. Hanya Damar yang bisa melakukannya. Semoga dengan menitisnya sukma Damar pada diri saya, saya juga bisa melakukannya” jawab Mas Burhan.

“Jadi kapan waktu yang tepat untuk melakukannya, Mas?” tanyaku.

“Nanti setelah pergantian tahun, tepat sehari setelah purnama berikutnya” jawab Mas Burhan.

“Berdasarkan perhitungan saya, waktu itu tinggal delapan hari lagi” sahut Paman Arya.

“Benar, Paman. Dan saya membutuhkan bantuan dari kekuatan keris kembar sukmonogo untuk menahan kekuatan Kolosetro sebelum saya mencabut keris kembang maya” ucap Mas Burhan.

“Tenang saja, kami pasti membantu. Permasalahan ini juga menyangkut keselamatan banyak orang. Jadi kami juga ikut bertanggung jawab” ucap Paman Arya.

“Saya juga membutuhkan bantuan Mas Arga dan Mas Aji untuk menahan roh Sundari supaya tidak dikendalikan Kolosetro ketika saya mencabut keris itu” ucap Mas Burhan.

“Pasti, Mas” sahutku.

“Eh.. Aji dimana? Dari tadi tidak kelihatan di sini” tanya Paman Arya yang baru menyadari Aji tidak menampakkan dirinya sedari pagi tadi.

“Sepertinya saya tahu dia ada dimana, Paman” ucapku sambil tersenyum.

“Samperin, Ga. Bahaya kalau kelamaan ada setan datang nanti” ucap Paman Arya yang mengerti maksudku.

Aku pun beranjak meninggalkan pendopo menuju sungai kecil di belakang pondok. Aku yakin sekali Aji berada di sana. Tepat sekali dugaanku. Dari kejauhan aku melihatnya sedang duduk di atas batu di pinggiran sungai. Tidak jauh darinya juga duduk seorang gadis cantik berkerudung sedang mendengarkan bualannya.

“Ketika kita sedang berduaan dengan lawan jenis, maka yang ketiga adalah setan” ucapku mengagetkan mereka.

Gadis bernama Hana itu kaget lalu tersipu. Sedangkan Aji menoleh padaku lalu membalas ucapanku “nah ini setannya sudah datang”

“Dek Hana, nggak merasa mual?” tanyaku mengabaikan ucapan Aji.

“Memangnya kenapa, Mas Arga?” Hana balik bertanya.

“Itu yang di depan Dek Hana belum mandi dari kemarin” jawabku sambil tertawa.

“Sialan kamu, Ga. Ini tadi niatnya mau mandi di sini. Tapi ga sengaja ketemu Hana” ucap Aji membela diri.

“Padahal kan di pondok ada kamar mandi. Niat bener mau mandi di kali. Jangan-jangan ada maksud tersembunyi”

“Ngga gitu, Ga. Tadi kan antri banyak. Jadi ya aku kesini aja” ucap Aji sedikit gelagapan menahan malu.

Bulan Hujan Dan Perempuan di Sudut Taman (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang