Bab 10
Manunggaling Sukma
Alas Kidul, zaman kerajaan hindu
Deru angin seketika bergemuruh mengiring sukma Sundari yang menyatu dengan jiwa Iblis Kolosetro. Wujud iblis itu perlahan memadat dan terbentuk sempurna. Dia berdiri berdampingan dengan wujud roh Sundari. Lingga, Ki Sentani dan Nyi Robloh langsung berlutut. Junjungan mereka telah bangkit.
Tatapan dingin terpancar dari mata Sundari. Tak ada lagi keceriaan dan senyuman seperti ketika dia masih hidup. Hanya aura dendam yang kini terpancar darinya. Kesadaran sepenuhnya masih ada pada rohnya. Tapi semua sudah tidak lagi berarti. Yang menjadi tujuannya saat ini hanyalah membinasakan semua manusia yang membuatnya menjadi seperti ini. Diawali dari ketiga sosok di depannya. Namun hal itu ternyata urung terjadi, sebab ketiga sosok itu telah terikat perjanjian dengan Kolosetro. Mereka diberikan jaminan hidup abadi karena telah berhasil membangkitkannya.
Kolosetro menggerakkan tangannya ke depan. Kabut tipis keluar menggulung lalu membalut tubuh ketiga orang itu. Perlahan tubuh mereka bergetar, lalu kulit mereka memerah, melepuh dan mengelupas. Gumpalan kabut yang membalut tubuh mereka menebal. Menutup seluruh permukaan tubuh hingga beberapa saat, kemudian kembali menipis dan lesap begitu saja.
Seiring dengan menghilangnya kabut itu, terlihat perubahan pada tubuh mereka bertiga. Mereka menjadi lebih muda, segar dan tegap. Kekuatan hitam terpancar, mengiring tatapan mata yang semakin tajam. Bayaran atas perjanjian iblis telah tunai mereka tuai. Ambisi untuk menguasai semakin membuncah tak terkendali. Namun mereka tidak sadar, konsekuensi atas semua itu tidak akan berhenti sampai di sini.
“Aku jaluk sukma kabeh warga desa alas kidul. (Aku meminta sukma semua warga alas kidul)” ucap roh Sundari.
“Sendiko dawuh, Ndoro Ayu. (Siap melaksanakan tugas, Ndoro Ayu)” jawab ketiga orang itu.
***
Lamat suara gending terdengar mendayu dari dalam hutan. Perlahan namun pasti alunan musik gamelan yang biasa menjadi pengiring tarian itu semakin jelas terdengar. Beberapa warga keluar dari rumah untuk memastikan dari mana sumber alunan gending itu. awal mula mereka menduga dari kediaman Ki Wongso, namun sejenak kemudian mereka tersadar, rasanya tidak mungkin sanggar Ki Wongso berlatih di tengah malam begini.
Deru angin berhembus kencang menerjang hamparan pemukiman. Atap rumbia berterbangan. Dinding anyaman bambu yang tak cukup kokoh pun roboh membuat warga panik. Mereka keluar untuk menghindari hantaman reruntuhan bangunan rumah mereka.
“Kae seko kono suarane! (Itu dari sana suaranya!)” Teriak salah satu warga.
Warga lainnya pun seketika melihat ke arah yang ditunjuknya. Dalam kepekatan malam, terlihat sesosok perempuan keluar dari rimbunnya hutan. Sosok perempuan itu mengenakan kebaya hitam dan balutan jarik di bagian bawahnya, tersemat pula selendang panjang berwarna merah di pinggangnya. Rambutnya tersanggul rapi dengan barisan cunduk menthul di atasnya.
Sosok perempuan itu berjalan pelan dan anggun menuju ke pemukiman warga. Namun sebelum memasuki pemukiman, perempuan itu tiba-tiba berhenti lalu menggerakkan tubuhnya dengan sangat lentur. Ya, perempuan itu menari. Dia membawakan tarian Mayang Rontek dipadukan dengan gerakan Mojoputri. Gerakan tarinya yang seharusnya sangat indah berubah menjadi misterius. Membawa aura hitam penuh dendam yang mampu membuat kaku siapapun yang melihatnya. Tariannya bukan lagi tarian yang sarat citra seni, tapi telah bertransformasi menjadi tarian kematian.
Warga yang berkerumun itu terlihat terkesima dengan gerakan tari sosok perempuan itu. Namun tanpa mereka sadari perlahan sukma mereka tertarik keluar dari tubuhnya dan terbawa alunan gending pengiring tarian itu menuju ke dalam alas kidul. Usai sukma seluruh warga itu keluar dari tubuh masing-masing, perempuan itu menghentikan tariannya dan berjalan pelan menuju ke kerumunan warga yang masih berdiri mematung tanpa sukma. Dengan gerakan mantap dia mencabut sebilah golok yang ternyata sejak tadi sudah terselip di belakang kenditnya. Satu per satu leher warga itu ditebas hingga kepalanya terputus dan menggelinding ke segala arah.

KAMU SEDANG MEMBACA
Bulan Hujan Dan Perempuan di Sudut Taman (Tamat)
TerrorRoh perempuan yang mati membawa dendam terus bergentayangan selama ratusan tahun. Dia terus menunggu sosok kekasih yang bisa membuatnya tenang. Akankah penantiannya itu terjawab? Cerita yang mengambil setting waktu berbeda-beda serta sudut pandang d...