Happy Reading guys🤗
●●●●●●●●●●●●●
Ana duduk termenung di depan kelas Diniah, menunggu para santri pulang. Seperti yang di perintahkan Ian tadi, ia akan menemui laki-laki itu. Lima belas menit bel sudah berbunyi, dan para santri pun sudah pulang. Hanya tinggal Ana dan beberapa santri yang piket membersihkan kelas.
Tadi ia juga menyuruh agar Ella dan Maya pulang duluan, agar ia tidak canggung saat bertemu Ian. Melihat situasi yang sepi Ana bergegas masuk ke kantor Madin.
"Assalamu'alaikum." Ucapnya sedikit keras di samping pintu.
"Wa'alaikum salam."
Terdengar jawaban beberapa kakang dari dalam, membuat Ana ragu untuk masuk. Hingga ia tak sadar jika salah seorang ustad menghampirinya.
"Kamu nyari siapa?" Tanya kang Faruq, ustad yang mengajar di kelasnya tadi.
Ana menunduk, kemudian mengintip ke dalam ruangan karena pintu terbuka lebar. "Mau cari ustad Ian." Ujarnya pelan.
"Ouh kang Ian, yaudah masuk aja tadi kayaknya lagi beresin kitab." Kang Faruq sedikit menyingkir dari pintu memberi jalan Ana untuk masuk.
Ana mengangguk, kemudian masuk. Sebelumnya ia sudah mengucapkan terimakasih pada kang Faruq. Di dalam tampak Ian sedang duduk di kursi dengan handphone di tangan, selain Ian juga ada beberapa ustad lain.
"Nyari siapa Mbak." Tanya salah satu ustad yang Ana tidak tahu siapa, karena tidak mengajar di kelasnya.
"Ustad Ian." Ucap Ana sambil melirik Ian dan membuat laki-laki itu mengalihkan pandangan dari handphone.
Ian meletakan handphonenya. "Kamu tadi dari mana?" Tanya Ian seraya menyuruh Ana untuk lebih mendekat. "Mas lihat kamu tadi pagi di dekat mall."
Ana di buat gelagapan dengan ucapan Ian. "Ehm tadi tuh, eh Ana ada tugas terus suruh beli barang. Iya beli barang." Terangnya dengan cepat, ia sedikit tidak yakin Ian akan percaya dengan ucapannya.
Ian mengangkat sebelah alisnya. "Tugas? Kamu bolos kali." Cibir Ian sambil melemaskan tubuhnya ke sandaran kursi.
"Kang saya duluan." Ucap beberapa ustad yang keluar sambil menenteng kitab.
Ian mengangguk. "Hati-hati kang, nanti saya nyusul." Ucapnya sembari menatap para temannya yang sudah pulang. Kini hanya tinggal Zaynal dan pengurus Madin.
"Bener gak? Kamu bolos." Ucap Ian menatap Ana dengan ekspresi datar.
"Ana gak bolos mas." Protesnya sedikit gamang, menatap Ian dengan sedikit takut. Kemudian saat melihat lagi raut wajah Ian ia jadi merasa bersalah. "Iya Ana bolos sekolah tadi." Imbuhnya pelan.
"Mau jadi apa kamu kayak gitu, bolos sekolah terus."
Ana menatap sekeliling, hanya ada beberapa kakang. Ia kemudian menatap Ian.
Prok prok prok
"Hmm jadi apa yah, kak Zaynal kira-kira jadi apa ini." Ucap Ana di sertai seringai lebar, teringat scane pesulap pak Tarno.
Seketika Zaynal dan dua kakang pengurus Madin tertawa melihat tingkah Ana, sedangkan Ian hanya meraup wajah frustasi. "Hadeh, mas gak mau denger kamu bolos sekolah lagi, udah sekarang pulang." Ian menyerah untuk menghadapi tingkah Ana.
Ana mengangguk semangat. "Makasih mas Ian sayang, bye-bye."
"Eh bentar, besok jangan pergi ke luar nenek mau kesini." Imbuh Ian sambil membuka handphonenya.
"Okeh." Setelah menjawab itu Ana langsung keluar kantor dan balik ke pondok karena hari sudah sore. Mungkin kali ini ia alpa sholat ashar.
"Dia siapa Ian?" Tanya salah satu kakang pengurus Madin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mubayyin [On Going]
Teen FictionUsaha Ana dalam mencari keberadaan sang ayah membuatnya harus tinggal di pondok pesantren, dan berada dalam pengawasan Ian, tetangga sekaligus ustad di pesantren itu. Walau di awal merasa terkekang dan tidak membuahkan hasil, namun kedekatannya deng...