How This Story Ends -7 - Sial. Kami Bertemu Lagi 4.2

803 163 21
                                    




Jangan lupa vote, komen, share cerita ini dan follow akun WP ini + IG @akudadodado.

Thank you :)

🌟

Aku sudah mengenakan chef jakcet berwarna hitam dengan bahan makanan yang ada di kitchen island. Aku menunggu tamu Beau datang dan membiarkan mereka mengobrol sambil aku memasak lalu menyajikan makanan yang baru matang.

"Kalau dia ada komentar yang aneh-aneh, kamu cuekin saja. Dia biasa ngoceh-ngoceh karena harus jaga image di depan umum." Beau memberikan isyarat seakan dia tengah meresleting mulut, "Ini termasuk convidential conversation dan kamu sudah tanda tangan NDA."

Dia tidak perlu mengingatkanku untuk hal ini karena aku tidak berniat untuk melepaskan pekerjaan dan membayar pinalti dengan uang yang tidak aku miliki. Jadi, aku hanya menyampirkan senyum sebagai balasan dari kata-kata yang terdengar halus tapi penuh ancaman itu.

"Kamu mau bicarain apalagi? Kita sudah sepakat untuk tidak masuk ke partai kalau banyak syarat setelah terpilih. Non partai, titik." Tamu itu berjalan dengan langkah tegas ke dapur yang juga ruang makan. Dia menarik kursi di samping kepala meja makan yang diduduki oleh Beau.

Aku memicingkan mata untuk melihat jelas profil dari samping tamu ini. Aku masih sbuk mencoba mengingat dari mana pernah aku lihat saat Beau menimpali obrolan tanpa basa-basi itu.

"Relawan masih mengumpulkan KTP dan jumlahnya masih di bawah ambang batas. Dana untuk kampanye juga hanya cukup sampai beberapa bulan lagi. Dana yang dijanjikan oleh pribadi, kelompok dan organisasi belum juga masuk. We are on tight budget here. Kita harus memikirkan rencana cadangan untuk ini, terutama karena calon independen perlu 7.5% dari Daftar Pemilih Tetap (DPT). Itu 750.000 KTP minimum. Lo nggak bisa bersaing kalau ini belum terpenuhi. Kita harus realistis kalau lo masih mau terjun di dunia politik."

"Belum ada kabar juga dari pengusaha-pengusaha yang awal kita temuin?"

"Nggak ada. Mereka pasti masih nentuin mau berpihak ke siapa untuk kelancaran bisnis."

Tamu Beau berdecak pelan. "Hasil survei elektabilitas gimana?"

"Lo masih di bawah petahana. Terutama dengan sentimen kehidupan pribadi lo yang nggak bisa dibilang cemerlang."

Cowok itu mengempaskan punggungnya ke kursi dan membuatku takut kalau itu akan patah karena tenaga dan tubuh besarnya.

"Itu lagi? Apa hubungannya kehidupan pribadi dengan karier politik gue?"

"Itu nggak bisa dipisahkan. Istri dari calon gubernur itu kayak cerminan gubernurnya. Orang-orang bisa lihat karakter lo dari istri. Semacam perpanjangan tangan. Dan banyak penelitian yang sebutin kalau political spouse itu penting untuk image dan si calonnya juga." Beau menderamkan jemarinya ke atas permukaan kayu meja makan. "Yang mudahnya: siapa yang mau ibu-ibu PKK itu lihat kalau lagi ada kumpul-kumpul? Lo yang dateng gitu? Atau lagi ada acara imunisasi atau sosialisasi mengenai ASI, lo siap datang padahal lo nggak punya anak dan lebih banyak jadi receiving end dari boob?"

Seolah-olah baru ingat ada aku di ruangan ini, Beau menoleh dan mengatakan, "Sorry."

Cowok yang baru datang itu pun jadi mengikuti arah pandang Beau lalu menoleh kembali ke pada bosku, menuntut penjelasan.

"NDA." Satu kata itu saja dan tamu Beau yang semula tegang menjadi rileks. "Leah, kamu bisa mulai masak."

Aku terkesiap pelan. Wajah itu. Aku ingat melihatnya di rumah Eyang! Ini si male escort itu 'kan?

Cowok itu juga tampaknya mengingatku, terbukti dengan telunjuknya yang tertuju kepadaku dan suaranya yang tiba-tiba lebih tinggi satu oktaf. "Kamu?!"

Beau melihat ke arahku dan tamunya yang masih membelalak. "Kalian kenal?"

"Dia yang gue bilang ngira gue male escort dan lecehin gue."

"Yang lo kira lagi ngerayu lo dengan pura-pura nggak kenal dan nabrak lo?"

Sampai sini aku harus masuk ke dalam pembicaraan. "Saya benar-benar nggak kenal dia," kataku kepada Beau yang sudah tertawa dan kini dia terbahak. Aku ingin melanjutkan dengan "Egonya perlu dicek, karena itu penuhin kepalanya dan tutupin otak jadi nggak bisa bekerja dengan baik." tapi tidak aku katakan lantaran pekerjaan ini masih menjadi prioritas dibanding meladeni cowok dengan ego yang meledak-ledak.

Beau melakukan gerakan menyapu wajah dengan tangannya, "Wajah Benjo ada di mana-mana."

Wait a minute, di mana gue pernah dengar nama itu, ya?

"Gue ragu dia pernah keluar rumah dan punya teman yang seumuran," sahut cowok yang dipanggil Benjo itu. "Atau dia punya waktu untuk lihat sekitar, soalnya bocah-bocah ini sibuk sama ponselnya."

Aku menggigit lidah agar tidak mengeluarkan umpatan yang akan membuatku dipecat secepat kilat. Tingkah cowok ini berbanding 180 dengan saat pertama kali kami bertemu. Tidak ada senyum ramah, dia hanya menatapku dengan tatapan yang menghakimi (sesuai ucapan Beau di awal tadi) dan songong. Memangnya dia kira usiaku berapa tahun?

Kesahan panjang lolos dariku. Aku lebih memilih meladeni Beau dengan senyum yang aku paksakan. "Aku lebih pilih tidur ketimbang lihat hal-hal nggak penting."

Beau terbahak lagi.

"Itu semakin membuktikan kalau anak-anak sekarang nggak peduli dengan sekitar dan politik. Padahal, itu berpengaruh ke masa depan mereka juga."

"Sumpah, deh. Anak-anak sekarang?" tanyaku ke diri sendiri kemudian memutar bola mata. "Ok, Opa," bisikku.

10/7/23

Wkwkw opa sama gen z

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
How This Story EndsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang