How This Story Ends - 3 - Lele, Kare, dan Eyang 2.2

1K 200 20
                                    


Jangan lupa vote, komen, share cerita ini dan follow akun WP ini + IG @akudadodado.

Thank you :)

🌟


Karenina melemparkan satu kacang ke udara dan ditangkap dengan mulutnya. "Nanti gue email employer-nya deh."

"Eyang, tapi ini legit 'kan kerjaannya? Kita bukan bakalan pura-pura diperkajakan dan nantinya di-drugged terus dijual ke luar negeri?"

"Lo dan skenario di dalam kepala lo itu bener-bener luar biasa, deh. Nggak mau coba tulis novel atau jadi screen writer gitu? Kayaknya cocok."

"Harusnya imajinasi dia yang luar biasa itu dipakai buat mikir soal pacar. Jangan positive thinking terus. Apa bahasa anak-anak seusia kalian? Over thinking?" Eyang tidak membiarkanku dan Karenina menjawab karena dia sudah menjentikkan jari tuanya tiga kali. "Iya, itu. Dan untuk menjawab pertanyaan kurang ajarmu itu: ini legit dan bagus untuk resume kalian."

Aku mengembuskan napas panjang dan melihat Eyang yang duduk di depanku lalu ke arah Karenina, dan kembali ke Eyang lagi. Aku dan sahabatku sudah merencanakan ini selama sepekan, tetapi dapat menemukan celah untuk menanyakannya karena tidak mau melewati batas. Tapi setahun bertetangga dan intensitas bertemu yang rutin seharusya membuat pertanyaan ini seharusnya tidak tabu.

"Aku kalau sudah tu—" aku berdeham dan menelan kata yang akan aku keluarkan saat meliat tatapan tajam Eyang, "dewasa mau kayak Eyang. Kalau misalnya aku nggak nikah atau punya anak. Di rumah, jalan-jalan, hidup dari uang pensiun, pacaran sama yang muda-muda. Kasih tahu dong, Eyang, kerjanyanya apa dulu?"

"PNS," jawabnya singkat, tapi aku dan Karenina tahu kalau masih ada kelanjutan dari jari yang memakai cincin dan anting berlian. "Tapi saya jandanya juragan tanah."

Tawaku dan Karenina pecah lalu kami melakukan high five. "Kan. Bener kata gue. Nggak mungkin Eyang nikah sama rakyat jelata," kataku puas.

"Makanya gue bilang kalau Eyang itu panutan banget," sahut Karenina.

"Ngapain saya nikah sama orang yang bikin hidup makin susah? Saya mau hidup senang, tanpa banyak mikirin soal harga kalau mau beli barang."

Aku menutup mulut karena takut teriakan iri keluar dari sana. "Itu. Itu cita-cita. Kalau mau barang, bisa ambil tanpa perlu hitung sisa uang buat akhir bulan berapa. Eyang resmi jadi cita-citaku waktu tua nanti. Aku perlu hint cari juragan tanah di mana karena foto kakiku lagi nggak terlalu menjual."

"Orang-orang yang punya kesenangan aneh itu nggak tertarik lagi buat beli foto kakimu?"

Ini adalah pekerjaan sampinganku. Menjual foto kaki untuk orang-orang yang rela membayar dengan harga yang mahal. Bahkan terkadang di luar bayanganku. Aku beberapa kali foto di bathtub Eyang setelah memberikan penjelasan kalau ada yang meminta foto kaki di antara busa-busa dan rela membayar tiga kali lipat gajiku. Jadi, aku dan Karenina datang dengan lampu LED dan dipotret dengan ponsel Karenina yang kameranya jauh lebih bagus.

Eyang tidak memberikan komentar negatif tentang pekerjaan sampinganku dan membiarkan kami beberapa kali datang untuk mengambil foto dan juga video.

"Itu foto kejual lumayan 'kan? Mungkin lo harus cari kaos kaki yang lucu. Atau kali ini jualan yang ..." Karenina melihat pada dadaku lalu menaik turunkan alis untuk memperjelas poinnya yang membuatku melotot dan dia tertawa. "Katanya air mandi juga laku dijual. Atau kuku bekas dipotong." Karenina mengerutkan wajahnya. "Gue nggak mau menghakimi, tapi fettish di luar sana mulai di luar nurul."

"Gue nggak peduli di luar nurul kek, nalar kek, selama bawa duit buat gue sekolah lagi," aku mengangkat bahu, "gue jalanin. Asal bukan foto toket atau minky gue. Atau jadi simpenan om-om. Batas gue jelas."

"Yang terakhir bawa banyak uang, tapi persaingannya ketat," balas Eyang sambil melihatku dari ujung kaki sampai kepala dengan mata memicing, "kamu nggak bakalan bisa bertahan lebih dari sebulan dan langsung diganti sama yang lebih muda dan menarik."

Aku tersedak wine yang sedang aku telan hingga terbatuk-batuk. "Aku masih muda, Eyang. Penampilanku juga nggak buruk-buruk amat," ujarku setelah batukku reda sambil melihat ke arah Karenina untuk meminta pembelaan darinya, tapi dia justru memalingkan wajah. Hal itu membuatku mendengkus.

"Gue nggak percaya lo setuju sama Eyang."

"Lo nggak jelek-jelek amat, ta—"

"Maksud lo gue Jelek? Karena dari kalimat lo itu tetap ada kata Jelek," potongku.

Karenina mengesah pasrah. "Penampilan lo itu kurang trendi."

Eyang mendengkus kencang. "Trendi? Dia jelas-jelas kayak lahir di era saya. Kemeja bunga-bunga kecil? Rok plisket bahan satin warna hijau yang bahkan nggak cocok dengan kemejanya?" Eyang menjelaskan pakaianku dengan hidung berkerut.

Aku melongo semakin lebar. Tidak percaya dari awal botol wine dibuka, hingga kini tinggal setengah, hanya aku yang menjadi bahan celaan.

"Coba. Kapan terakhir lo beli baju baru? Setiap gue belanja dan lo temenin, lo cuma lihat-lihat tanpa bawa pulang kantong. Semua baju lo itu bawaan dari sewaktu SMA."

"Gue nggak lihat di mana urgensi belinya. Kita kalau kerja juga pakai seragam. Pulang kerja gue maunya pakai yang nyaman; kaos dan jogger." Tatapan kedua orang di ruangan ini membuatku menyerah dan mengangkat tangan ke udara. "Okay, okay. Uangnya sayang dipakai. Mending ditabung buat bayar sekolah kuliner yang harganya mahal. Bukan cuma harganya, sih. Biaya hidup di sana juga. Belum lagi uang yang harus ada di tabungan untuk visanya. Aku cuma memilah mana prioritas uangnya. Lagian, aku punya pacar. Buat apa belanja-belanja begitu?"

27/6/23

Komen dan pencet bintang dooong huhu

Komen dan pencet bintang dooong huhu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
How This Story EndsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang