Selama hidupnya, Taeyong tidak pernah berada dalam posisi seperti saat ini, limbung, berusaha meyakinkan teman-temannya kalau dia baik-baik saja, kalau yang di lihatnya itu benar-benar nyata.
Desis kesal yang tertahan buat wajahnya semakin merah padam, pacuan motornya mulai melambat seiring pagar rumah besar yang di buka oleh pelayan.
Begitu dia memasukan kendaraannya kedalam, Taeyong diam sejenak, mesin motor sudah di matikan tapi dia masih belum bergerak, dengan kening mengkerut dia melihat ke gantungan yang terpajang di depan pintu rumah, sejak kapan mereka memiliki hiasan itu.
Tungkainya mulai di bawa melangkah, setelah melepas helmnya Taeyong mendekat pada gantungan pintu itu, tangannya dia julurkan, menikmati ukiran yang entah kenapa terasa cantik sekali. Begitu jarinya menyentuh permukaan manik disana, bola mata Taeyong melebar sempurna.
"T- tolong.. l- lepas~"
"Ma-af, tolong, n-akh - nafas~"
Wanita itu meremas lengan temannya yang mencekik lehernya, bola mata bergulir menampilkan putihnya saja dengan cakaran-cakaran lemahnya yang berusaha menjauhkan cekikan dari temannya.
"Lo udah ngambil semua yang gue punya! Semuanya, Hera!"
Taeyong ambruk, jatuh terduduk setelah bentakan terakhir kali seolah ikut membuatnya melemas. Matanya menatap horor gantungan pintu rumah, lantas dengan kelabakan Taeyong merangkak menghindari gantungan itu, kemudian berlari setelah dia sudah berada di dalam rumah.
"Bu! Ibu!"
Suaranya menggema di seluruh penjuru rumah, para pelayan yang di sibukkan dengan pekerjaan mereka saja melirik penasaran pada tuan muda mereka yang mulai menggedor pintu kamar ibunya.
"Bu, buka dulu! Ibunda tercinta!"
Berselang beberapa detik, pintu terbuka. Bukan menampilan ibu, melainkan ayah yang melayangkan tangannya untuk memukul pucuk kepala putranya.
"Udah nggak pulang semalam, sekalinya pulang malah buat bising."
"Wow," Taeyong memalingkan wajah melihat penampilan ayahnya, paruh baya itu hanya mengenakan bokser dengan kausnya yang terbalik.
"Apa, wow wow?" Ayah kepalang geram, ingin sekali menggadaikan anaknya ini barang sehari saja.
Seolah kembali pada kepanikannya, Taeyong menggelengkan kepala cepat.
"Gantungan pintu di depan rumah kita itu, sejak kapan ada disana?" Mimik mukanya menampilkan keseriusan, ibu yang menyadari suami dan putranya masih berseteru mulai meninggalkan ranjang, mendekat pada mereka berdua yang sama-sama tolak pinggang.
"Gantungan apa?"
"Gantungan aneh di pintu depan Bu!"
"Oh, ibu abis beresin loteng terus itu ibu dapet dari kotak kenangan masa SMA ibu, yaudah di pajang aja daripada nganggur." Ibu berujar santai, sambil mengusaki Surai putranya dia melanjutkan, "Semalam nginap di tempat Ten?"
"Di bar sama Yuta, Ten brengsek." Mengatupkan kedua bibirnya, Taeyong keceplosan.
"Dimana?"
"SAUNA, YAH!" Seperkian detik sebelum ayah layangkan pukulannya, Taeyong berlari sekuat tenaga menghindari ayah yang mulai melemparinya dengan sandal rumah.
"MAU AYAH BIKIN KAMU JADI PERAN UTAMA DI SINETRON? UANG AYAH TARIK SEMUA!"
"SUMPAH YAH, AKU DI SAUNA!"
"KESINI KAMU, LEE TAEYONG!"
Ibu cuma bisa menggelengkan kepala melihat tingkah mereka, kemudian memilih mengabaikan, ibu kembali masuk kedalam kamar. Moodnya sudah hilang.
Nafasnya memburu, Taeyong menutup pintu sambil tidak berhenti mencibir, membuat gestur memaki-maki angin hampa depan pintu, seolah dia tengah berkelahi dengan ayah.
Tubuhnya di baringkan di atas kasur, Taeyong menatap lamat atap kamarnya yang mulai di tumbuhi sawangan, atas pintanya sendiri, Taeyong tidak mengizinkan siapapun memasuki ruang kamarnya meski itu pelayan. Biasanya dia akan merapihkan kamarnya sendiri seminggu sekali, tapi belakangan ini di kejar skripsi mengurus diri saja tidak benar apalagi kamarnya.
"Oh, ibu abis bersihin loteng terus itu ibu dapet dari kotak kenangan masa SMA ibu, yaudah di pajang aja daripada nganggur."
Taeyong menggigit kuku jarinya.
Masa SMA ibu,
Kata-kata itu berputar di kepalanya, seingatnya ibu tidak pernah cerita apa-apa soal masa remajanya, selain kabar yang sempat Taeyong dengar dari ayah kalau ini keluaran dari SMA terbaik pada masanya dulu.
"Pradiptha Darmawangsa, kalo nggak salah."
Taeyong menggeledah isi tasnya, mengeluarkan laptopnya dari dalam sana, kemudian dengan cekatan jari-jarinya bermain di atas keyboard.
SMA Pradiptha Darmawangsa dalam pencarian utama, kemudian selama beberapa detik di landa gugup, hasil pencarian mulai muncul di permukaannya.
-SMA Pradiptha Darmawangsa, 1995
-Kebakaran sekolah Pradiptha Darmawangsa, memakan korban...
-Angkatan terkahir Pradiptha Darmawangsa
-Hancurnya mimpi para orangtua
-Pradiptha Darmawangsa, angkatan terbaik, 1995.
Taeyong menekan penelusuran terakhir, kalau tidak salah ibunya lulusan tahun itu.
Netranya bergulir membaca setiap deretan kalimat di dalam sana, kelulusan terakhir kali sebelum kebakaran sekolah terjadi. Pada masa itu, pendidikan ini memang menjadi tujuan utama para orangtua, sebab siapapun yang memiliki ijasa dari sekolah ini, dapat melanjutkan pekerjaan yang lebih baik lagi.
Kemudian senyumnya mengembang melihat foto angkatan terkahir di layar laptopnya, ada ibu dalam balutan seragam SMA yang berdiri di antara banyaknya para siswa, Taeyong tidak berhenti memuji rupa ibu yang cantik sekali, pantas ayah tergila-gila dengan ibunya, bahkan pernah sekali ayah mendapati Taeyong dan ibu berkelahi, ayah sama sekali tidak memihaknya, dengan lantang memberi teguran keras pada Taeyong dengan satu kalimat yang tidak pernah Taeyong lupa. "Sebelum menjadi ibumu, dia wanita ku, jadi tolong berlaku sopan."
Memikirkannya saja Taeyong sudah mual.
"Nah, yang itu aku."
Deg.
Baru saja bernostalgia pada kejadian dulu, Taeyong di buat membeku lagi, dia merasakan jelas dingin yang merambat pada sekujur tubuhnya, seolah ada seseorang duduk di belakang tubuhnya. Tanpa berani menoleh, Taeyong menekan satu gambar yang menampilkan tiga wanita dengan piala kejuaraan mereka disana.
"Aku, ibumu, dan Jung Naya."
Taeyong pejamkan mata kala suara itu mulai terdengar cekikikan. Dia hampir ingin berlari lagi tapi mengingat ayah dan ibu mungkin saja sedang melanjutkan kegiatan mereka yang tertunda karna kepulangannya tadi, tidak mau mengusik untuk yang kedua kali.
"Lo," tangannya terkepal berusaha menetralkan nafas karna sejatinya Taeyong takut berada di posisi seperti ini. "Lo mau apa sebenarnya?"
"Bantu aku, Lee."
Tubuh Taeyong seolah mengejang, rasanya enteng sekali sampai dia merentangkan kedua tangannya dengan buku jari saling mengepal, matanya bergulir sampai hanya terlihat putihnya saja, dia terpaku selama beberapa saat sebelum kewarasannya di kembalikan, tapi kali ini dia menampilkan senyuman begitu lebar.
"Jung Naya atau ibumu, di antara mereka salah satunya pasti pembunuh ku."
Sambil melangkah sempoyongan turun dari ranjang, Taeyong berkaca seolah tengah memuji dirinya.
"Kamu tampan, tapi laki-laki pendek dengan mulut pedas yang kemarin lebih tampan, mangkanya lebih baik menggunakan tubuhmu untuk membunuh dua wanita itu."
TBC.
KAMU SEDANG MEMBACA
Behind The Shadows [Lee Taeyong]
FanfictionDi bawah hujan tengah malam, kali pertama menjumpai kejanggalan. Tangan yang terulur menjeritkan bantuan, begitu di genggam dia justru di tarik kedalam misteri yang perlu di pecahkan. "Menurut lo, gue terlalu ikut campur?" "Telat kalo mau mundur se...