"Bu-"
Taeyong membuka pelan pintu kamar orangtuanya begitu sapa miliknya tidak mendapat jawaban.
Pandang matanya mengedar, Taeyong melihat sekitar ruangan yang hampa kemudian hela nafas berat dia keluarkan."Laper, ayah nggak ada, ibu juga nggak ada." Ranumnya tidak berhenti menggerutu, Taeyong sudah berniat meninggalkan kamar jika saja tungkainya tidak berhenti mendadak, Taeyong sedikit merasa ragu menyadari pemikiran gila yang mengisi kepalanya.
"Tapi mumpung kosong, kan-"
Kesampingkan dulu masalah di marahi dan di beri sangsi dari orangtua, Taeyong berniat menggeledah kamar ayah ibunya saat ini.
Lantas setengah jam dia habiskan memeriksa setiap sudut laci dan lemari, mencari barang-barang penting yang mungkin bisa menjadi barang bukti, lagipula ibunya dan Jung Naya berteman sudah pasti ada sedikit hal yang menyangkut tentang Jung Naya di ruangan ini, setidaknya begitu pemikirannya.
"Dimana sih-"
Brak.
Taeyong memekik dengan tubuh sedikit terperanjat, kotak kaca di sisi figur hiasan lainnya terjatuh, pecah bersamaan dengan kalung milik ibunya yang terkapar.
"Anjrit bisa di amuk gue!"
Di barengi ringisan, Taeyong berusaha merapihkan kekacauan dengan mengabaikan fakta bagaimana benda itu bisa terjatuh. Baru ketika dia menarik kalung ibunya netranya tidak sengaja menangkap benda kecil yang tersembunyi di balik kalung ibu.
"Kamera?" Taeyong terdiam, keningnya mengkerut sempurna dengan rahang yang tiba-tiba menguat, dia memperhatikan tempat ibu meletakkan kotak kalungnya kemudian menyadari benda itu mengarah pada sofa di kamar ini. Taeyong mendesis ketika merasa mendapat satu lagi bukti, seingatnya ibu sering berbicara dengan temannya di kamar ini, meski kala itu Taeyong tidak tau menahu tentang Jung Naya.
"Tae!"
Sampai pekikan Ten dari luar ruangan menggema, Taeyong membiarkan pecahan kaca di kamar ibunya sebelum berlari keluar mendatangi temannya.
Disana Ten terdiam memandangi gantungan yang ibu kaitkan di depan pintu rumah, benda itu juga hancur sebab terjatuh mengenaskan.
"Kenapa?-" kalimat tanya menggantung sebab Ten berbalik sambil menyodorkan satu hal yang mungkin lebih berguna dari kamera yang Taeyong temukan.
"Gue tadinya mau beli makan, tapi gantungan ini jatoh gitu aja, terus ini-" Ten menyodorkan flashdisk ke hadapan temannya. "Gue nemu ini, kayaknya sengaja di selipin di antara pernak-pernik gantungan-"
"Gue rasa, kita menang." Taeyong menyela, tersenyum bangga sambil ikut memamerkan kamera kecil di tangannya.
______________
Untung saja laptop ibunya tidak terkunci, Taeyong menyadari kamera ini tersambung kesana. Kemudian setelah menyalakan, mencari bagian bagian terpenting dari durasi video yang begitu panjang, Taeyong menemukan potongan gambar dimana ibunya dan Jung Naya duduk berhadapan.
Keduanya duduk dengan rasa penasaran begitu besar, kemudian potongan video itu mulai mereka nyalakan.
"Tindakan kamu udah kriminal, Naya!"
"Aku nggak bunuh mereka! Halte itu memang makan tumbal!"
Bora bangkit sambil memukul mejanya sendiri, dengan sorot tajam mencengkram pakaian temannya.
"Kamu nggak bisa bohong lagi! Aku udah berusaha diam dari dulu! Kamu pembunuh, kamu yang bunuh orang-orang itu bahkan Kim Hera!"
Taeyong mengepalkan tangan ketika video itu menampilkan ibunya yang terjatuh setelah Naya menepis tangannya cukup kuat.
"Aku udah bilang untuk nggak bahas lagi soal Kim Hera!"
"Naya- kamu kenapa berbuat sejauh ini?"
Nada suara ibu tidak sekeras tadi, pun ketika ibunya kembali bangkit Taeyong bisa melihat raut Naya di dalam video itu tampak ketakutan, seperti tengah di intimidasi.
"Aku cuma mengambil lagi apa yang seharusnya milik ku!"
"Nama baik Hera kamu hapus! Olimpiade Nasional kamu rebut! Gelar murid teladan berbalik ke nama kamu! Naya kamu bunuh Hera cuma buat semua ini?!"
"DIAM BORA! AKU NGGAK BUNUH HERA!"
Ten menahan temannya ketika Taeyong hampir menghancurkan layar laptop ibunya, sebab disana terlihat Jung Naya yang bangkit sambil mencekik ibunya.
"Dia sendiri yang mati! Aku nggak bunuh dia!"
Dengan nafas memburu, Naya menatap bengis Bora yang berusaha memukuli lengannya.
"Diam atau kamu bernasib sama kayak dia, jangan pernah ganggu kehidupan ku, jangan ikut campur sama masalah ku, Lee Bora."
Tubuh Bora di jatuhkan, sekuat tenaga wanita itu terbatuk sambil berusaha meraup udara, mengusap lehernya yang mungkin terasa begitu nyeri, Bora menatap Naya yang berdiri angkuh sambil melipat tangannya.
"Kalau benar aku membunuh semuanya juga, kamu bisa apa? Kamu nggak punya bukti apa-apa. Bora coba pikir, siapa yang mau percaya pembisnis seperti ku terlibat kematian anak remaja yang tidak punya urusan apa-apa tentang perusahaan."
"Ada, ada bukti tentang Kim Hera-"
Dagu Bora di cengkram, kalimatnya terdiam dengan wajah sepenuhnya mendongak menatap Naya.
"Sejauh ini nggak ada yang bisa nemuin jasad Kim Hera, beritanya di data sekolah bisa aku hapus dengan mudah." Naya tertawa pelan, menepuk kecil pucuk kepala Bora yang bergetar.
"Ini peringatan, kalau kamu masih mau menghabiskan waktu bersama keluarga kecil kamu, tutup mulut. Jangan pernah bicarakan ini dengan ku.""BANGSAT!"
Keduanya memekik bersamaan, Taeyong mengepal tangan sekuat mungkin sambil mematikan video di layar laptop ibunya, beberapa kalimat umpatan juga sudah meluncur bebas. Dia beberapa kali memaki sosok Jung Naya yang terlihat bangkit di video itu, meninggalkan ibunya yang mulai menangis sendirian.
"Ini udah cukup! Gue bisa hubungin bokap gue!"
"Sabar dulu!" Ten menahan tangan temannya yang sudah mengeluarkan ponselnya.
"Tunggu bokap lo balik, gue takut hp lo udah di sadap-" sambil meringis dia mulai menyalakan lagi laptop dihadapannya kemudian memasukkan flashdisk.
"Liat bukti apa yang kita dapet disini."_____________________
Jung Naya jatuh tersungkur setelah cekikikan di lehernya terlepas, dia beringsut mundur berusaha menjauh dari jangkauan Bora dengan jiwa yang sudah di rasuki Hera semakin mendekatinya.
Raut wajah Bora benar-benar gelap, memandangnya begitu bengis. Dan Naya sadar, saat ini dia tengah berhadapan dengan hal gila.
"Kebenaran akan selalu menang," Bora menyunggingkan senyum culas, "Kamu pikir bisa menghentikan anak-anak muda? Jung Naya, masih ada waktu untuk menyerahkan diri atau reputasi mu selama ini hancur."
Begitu sebelum sorot matanya memancar permusuhan dengan sangat jelas, Bora bangkit meninggalkan ruangan Jung Naya yang kelabakan.
Nafas wanita itu memburu sambil memukuli dada, Naya secepat kilat meraih ponselnya, menekan nomor utama dengan sedikit gemetar.
Lantas ketika panggilan tersambung, Naya dengan deru emosi dan kalut menutupi kilat matanya mulai menyerukan perintah.
"Na Yuta, bawa anak itu."
TBC.
KAMU SEDANG MEMBACA
Behind The Shadows [Lee Taeyong]
FanfictionDi bawah hujan tengah malam, kali pertama menjumpai kejanggalan. Tangan yang terulur menjeritkan bantuan, begitu di genggam dia justru di tarik kedalam misteri yang perlu di pecahkan. "Menurut lo, gue terlalu ikut campur?" "Telat kalo mau mundur se...