Begitu mendapati Ten yang sudah duduk nyaman di atas ranjangnya, di temani dengan dokter yang baru saja mengganti tabung infusnya. Taeyong menarik nafas lega.
"Chittaphon~"
"Diem disitu!"
Kedua tangan yang dia rentangkan mau memeluk Ten, di urungkan begitu saja sebab Ten menudingnya pun dengan pandang mata keliwat tajam.
"Lo nggak tau sepanik apa gue kemaren."
"Ampas, aw!" Di akhiri ringisan, sebab Taeyong meninju bahunya.
"Nyesel gue dateng sekarang,"
Rutukannya cuma di balas cibiran, Taeyong ambil tempat di sisi ranjang Ten setelah dokter tadi pamit undur diri. Pandang matanya lekat menilik wajah temannya yang masih sedikit pucat, Taeyong menghela nafas menyentuh perban di atas luka Ten.
"Sakit?"
"Sakit lah, bego!"
Lagi-lagi meringis, susah sekali mau bicara baik-baik dengan Ten ini menurutnya.
"Ten, malem itu lo kenapa bisa di keroyok sama bajingan elit?"
Bajingan elit, Ten tertawa untuk julukan yang Taeyong berikan, dia menarik nafas dalam sambil membenarkan posisi duduknya.
"Jung Naya, gue rasa dia di balik orang yang nembak gue."
Taeyong mengangguk, dia juga jelas tau soal itu. Kali ini hela nafas yang di keluarkan nya sedikit lebih berat.
"Tae, soal Jung Naya-"
"Nanti dulu, lo baru sadar." Taeyong membungkamnya dengan sentilan di dahi, padahal Taeyong juga mau membahas hal ini. Tapi melihat wajah Ten yang jelas sekali masih menampil lelah, Taeyong ingin membiarkannya menenangkan pikiran lebih dulu.
"Kapan di bolehin keluar dari rumah sakit?" Topik pembicaraan di ubah dengan cepat.Begitu saja Ten mendengus sambil melirik kearah tabung infusnya yang masih baru.
"Katanya habisin infus itu dulu.""Oke gue tungguin lo disini kalo gitu."
"Lo nggak ada kelas?"
"Ada matkul pak Donghae, tapi gue bolos."
"Tolol, inget nilai lo selalu merah di kelas pak Donghae."
Cibiran Ten di balas endikan bahu, Taeyong mengabaikannya beringsut pindah untuk merebahkan diri di sofa ruangan itu.
"Sekalian numpang tidur ya, gue capek. Jadi detektif rupanya nggak gampang."
Ten mendesis, memperhatikan Taeyong yang memejamkan mata menggunakan sebelah tangannya untuk menutupi wajah, dia bergumam pelan sebelum meraih ponselnya.
"Lo bisa berhenti kalo capek."
Seperkian detik hening, Ten kira Taeyong sudah lelap. Jadi atensinya dia rubah untuk menggulir sosial medianya yang sudah berapa hari ini tidak dia aktifkan.
"Kalo berhenti, sama aja ngebiarin kriminal jalan bebas di kota." Lantas Taeyong menyahut, sambil memutar tubuh untuk menghadap punggung sofa, dia mendesis "lagian, gue udah janji mau bantu Hera nemuin dimana jasadnya." Kali ini gumamannya lebih kecil, memastikan kalau Ten tidak bisa mendengarnya.
Abai, Ten memilih mendengus kemudian mulai memasukan email kedalam ponselnya, bola mata bergulir dengan kerutan kening yang perlahan semakin kentara, Ten sontak menegakkan tubuh begitu papan salinannya kosong, data-data yang dia simpan dalam emailnya juga sudah tidak lagi ada. Padahal Ten ingat dengan jelas semua berita dan biografi tentang Jung Naya dia simpan dengan rapih.
"Tae, lo ke kos gue?" Ragu, Ten melirik pada Taeyong yang mengendikan bahu.
"Semua data tentang Jung Naya, ilang dari penyimpan gue."Taeyong tersentak, ikut bangkit hanya untuk mendapati Ten yang masih kelabakan mengutak atik ponselnya.
Membuka berbagai website untuk dia ketikan pencarian serupa seperti yang di lakukan di komputernya. Tapi tidak ada, berita tentang Jung Naya semasa sekolah, foto-foto lawas Jung Naya, lenyap.
Saat ini ponselnya justru menampilkan hal lain.
Jung Naraya, pemilik perusahaan elektronik terbesar di ----
"Siapa yang ngeblokir pencarian gue?"
___________________
Gelas kopinya mendingin seiring dengan hela nafasnya yang saat ini terdengar lirih, dalam hati gusar, tangannya juga gemetar waktu dia sibuk mengusapi wajahnya.
"Lo bawa yang gua minta?"
Dia melirik melalui ekor mata, melihat laki-laki dengan pakaian formal menghampirinya yang masih gundah.
Seperkian detik mempertimbangkan keruh yang mengerubungi isi kepala, dia akhirnya menyodorkan flashdisk pada pria asing ini."Bagus, biaya rumah sakit nyokap lo akan di urus, tinggal pastiin mereka diem nggak bertindak lebih jauh lagi."
Nyatanya mereka sudah mulai menggali, hal yang di anggap biasa malah berujung menjadi begitu rumit sekarang.
Seakan tunduk pada aura yang penuh akan kuasa, dia mengangguk membiarkan lawan bicaranya meninggalkannya yang kembali hampa.
Kemudian ponselnya berdering, dengan kening mengerut dia terkejut mendapat kabar bahwa Ten sudah siuman.
________________
"Yakin mau ke kos? Kenapa nggak nginep aja di rumah gue."
Keduanya sama-sama ragu, Ten saja bingung mau membuka pintunya atau kabur saja ketempat Taeyong, pasalnya takut ketika membuka nanti mereka di kejutkan dengan orang yang mungkin memang sedang menunggu di dalam sana. Orang yang bisa saja sudah mengubrak abrik isi komputernya, atau sialnya lagi pencuri.
"Ah.. Ten," kemudian tetangga di sebelah kamarnya yang sepertinya baru pulang kampus mulai menyapa, sedikit menghancurkan ketegangan di antara mereka berdua.
"Baru pulang?""Iya kak, gue baru balik dari rumah sakit."
"Rumah sakit?"
Kening tetangganya mengkerut, sambil memasukan kunci dia menatapi raut Ten.
"Aneh, perasaan gue semalem denger suara gitar lo. Kirain latihan buat manggung lagi."
Ten dan Taeyong saling pandang, ragu semakin memenuhi pikiran mereka, bahkan ketika tetangga Ten sudah sepenuhnya lenyap dengan pintu kamar yang di tutup. Ten perlu merapalkan banyak doa dalam hati sebelum membuka pintunya.
Brak.
Pintu di buka dengan keras, keduanya bersembunyi di balik dinding dengan ruangan yang mulai terbuka lebar. Sedikit saja, Ten melongok sedikit, melihat sekitar kamarnya yang terasa tenang, Ten menarik nafas lega.
"Aman," katanya pada Taeyong sebelum mereka masuk kedalam dengan sedikit berjengkit.
Menelusuri seluruh isi ruangan, kamar mandi, dapur, balkon, bahkan di balik gorden atau dalam lemari. Untungnya mereka tidak menemukan hal apapun yang bisa di curigai.
Taeyong menghela nafas sebelum mendudukan dirinya di atas ranjang.
"Gue nginep disini malem ini."
Anggukan setuju jadi jawaban, memangnya dalam keadaan begini Ten mau tinggal sendiri? Jelas saja tidak.
Beringsut menyalakan komputer, selagi Taeyong mulai memejamkan mata, Ten memeriksa isi komputernya. Panik mendera, emosi juga mengisi kepala setiap kali tangannya menggulir semua aplikasi, data dirinya, dokumen tentang perusahaan yang sempat ayahnya kirim, lenyap. Ten mengepalkan tangan seiring matanya yang terpejam menahan emosi.
"Tae, lo tau kan kenapa gue ngekos?"
Taeyong mengangguk acuh.
"Karna lo lebih milih jadi anak band daripada pewaris keluarga."Ten mendesis sekali lagi.
"Sampe sekarang bokap gue nggak nyerah buat ngirim data-data perusahaan supaya gue belajar," dia berbalik menatap Taeyong yang masih tidak begitu memperhatikannya. "Dan sekarang hilang semua, pencarian gue tantang Jung Naya. Pun data perusahaan gue, hilang, Tae."TBC.
KAMU SEDANG MEMBACA
Behind The Shadows [Lee Taeyong]
FanfictionDi bawah hujan tengah malam, kali pertama menjumpai kejanggalan. Tangan yang terulur menjeritkan bantuan, begitu di genggam dia justru di tarik kedalam misteri yang perlu di pecahkan. "Menurut lo, gue terlalu ikut campur?" "Telat kalo mau mundur se...