12.

7 2 0
                                    

"Ten, nginap?"

Sapa ibu meluncur bebas dengan senyumannya waktu putranya pulang bersama teman dekatnya.

Ten mengangguk kecil, turun dari kendaraan Taeyong kemudian mendekati ibu, sekedar untuk mencium punggung tangannya untuk balasan sapa tadi.

"Aku ada proyek kecil buat tugas semester, Bun."

Ibun, begitu Ten biasa memanggilnya. Sadar akan pembicaraan mereka terakhir kali yang menyatakan kalau ibu Taeyong ini pasti menyimpan sesuatu, Ten ingin menggunakan akal liciknya.

"Proyek sama Taeyong? Kalian bukannya beda jurusan."

Sekali lagi Ten mengangguk kecil.
"Sama ibun sih, sedikit hehe."

"Ibun?"

"Iya, topiknya soal gedung kosong yang dulunya bekas SMA Pradiptha Darmawangsa. Terus Taeyong bilang, ibun kelulusan dari sana mangkanya aku dateng."

Taeyong yang sedari tadi memperhatikan cuma diam sambil sesekali memandang tak percaya pada si licik yang pandai sekali berbicara. Memanfaatkan tugas kuliahnya sampai membuat ibu tidak ada pilihan lain selain menganggukkan kepala.

"Bun, aku udah pusing banget nyari tau soal sekolahan itu. Berita yang aku dapet juga sekedar gedung yang kebakaran, nggak ada penyelesaian."

"Bacanya yang teliti dong Ten, udah selesai dengan sekolah itu yang di tutup, gedungnya jadi kosong sampe sekarang."

Ten mendesis, kali ini sedikit menimbang sebelum mempertanyakan satu hal.
"Tapi aku nemuin satu berita, ada keluarga yang ngamuk abis gedung sekolah ini di tutup, katanya karna putrinya menghilang, jadi korban api atau kemana perginya, nggak ada yang tau ibun." Ujarnya yang pada akhirnya tidak bisa dia tahan. Ten memperhatikan setiap gerak gerik ibu yang sedikit memiliki perubahan.

Seperkian detik berikutnya mereka di telan bungkam, Taeyong menarik nafas panjang kemudian mendekati ibu dan temannya ketika merasa tidak ada hasil dari rencana Ten.

"Nanti aja lah kita bahas lagi, aku laper ini juga udah malem, ibu kenapa coba masih di luar?"

Perhatian ibu teralih oleh Taeyong, tatapan ibu menyorot ragu, sedikit bingung yang kentara terlihat dari ibu yang sibuk membuka mulut, kemudian mengatupkan nya lagi.

"Udah ayo masuk, dingin." Taeyong menyeret ibu sambil memberi kode pada Ten untuk menjeda dulu.
"Ayah belum pulang?"

"Lembur, kalian mau makan apa?"

Taeyong tersenyum tipis sambil mengusapi bahu ibunya.
"Nggak usah Bu, nanti aku masak mie aja."

Lantas ibu yang menarik nafas panjang, mulai berbalik menatapnya.

"Tae," begitu Taeyong pusatkan seluruh perhatian pada ibu, paruh baya itu sontak terdiam, hanya memandangi wajah putranya.

Taeyong resah tentu saja, ibunya selalu begini kalau sudah bahas masalah sekolahnya, ini terjadi sejak terakhir kali Taeyong mempertanyakan tentang Kim Hera dan Jung Naya. Ibunya jadi terlihat sangat tidak nyaman.

"Bu, istirahat aja udah malem."

"Tae,"

"Iya, aku dengerin."

"Ibu ini, orang jahat, Tae."

Taeyong membeku bingung memberi reaksi, pun ibu yang meninggalkannya begitu saja memasuki kamar dengan sedikit membanting pintunya. Sementara Ten dari sofa depan sibuk mengigiti kuku jarinya, memperhatikan tingkah mereka.

_____________

"Kita harus sama-sama terus ya!"

Anggukan semangat tiga remaja itu bersamaan dengan tawa mereka yang keluar memenuhi taman belakang sekolahnya.

"Iri deh sama Hera, lo bisa ke luar negeri habis lulus ini kan?"

Salah satunya mengangguk, menyandarkan tubuh di batang pohon sambil menatapi dua temannya.

"Keren kan, nanti kalian nyusul gue dong."

"Gue nggak sepinter lo."

"Lee Bora~"

Yang di sebut namanya terkekeh, beralih memeluk temannya begitu melihat wajahnya berubah canggung. Satu sekolah juga sudah mengenal si pintar dan dua temannya, pasalnya mereka berbanding terbalik, sangat. Kalau si pintar ini sering membawa nama untuk sekolah, temannya justru tidak menghasilkan apa-apa.

__

"Jung Naya!"

Lambaian tangan di balas delikan, Lee Bora mendekati temannya sambil membawa dua kotak kue coklat.

"Lo belakang ini sering ngejauh dari kita, sih."

"Perasaan lo doang, itu apa?"

Lee Bora pamerkan senyum lebar.
"Kue coklat, lo mau? Gue bikin ini buat ngerayain hasil temen kita, dia menang lomba olimpiade antar kota lagi, udah banyak banget kampus yang lirik dia sekarang."

Lee Bora waktu itu tidak mengerti kenapa Jung Naya mendecih.

"Makan semua sama kalian deh."

"Lo mau kemana?"

"Kemana aja, pengap terus belakangan ini."

___

Bora membeku, bingung bagaimana memisahkan dua orang ini yang saling beradu pandangan tajam.

"Lo lupa kalo dia pacar gue?!"

"Naya, berani sumpah. Dia bukan cowok baik-baik!"

"Halah!"

Tubuh Hera terdorong cukup kuat oleh Naya yang tidak bisa menahan diri dari emosi yang menguasainya.

"Bilang aja lo mau rebut dia kan?!"

"Naya!"

"Bora lo jangan belain dia terus, lo juga ada sama gue kan waktu liat cewek ini masuk mobil cowok gue!"

Lee Bora berdiri di tengah mereka, menahan keduanya untuk tidak mengakhiri perdebatan ini dengan perkelahian.

"Omongin ini pelan-pelan, Hera juga pasti punya alesan."

"Emang dasarnya rakus! Lo ambil aja semuanya Kim Hera. Emang mau lo semua jadi milik lo, kan?!"

____________

Peluh membanjiri keningnya, ibu bangkit dari tidurnya yang terusik, tubuhnya lantas bergetar seakan kembali pada kenangan indah yang justru coba dia lupa.

Tangannya merambat, meremas pakaian tidur suaminya yang masih terlelap, ibu kembali di serang gugup dan rasa takut akan satu kejadian yang tidak pernah bisa dia lupa, kejadian yang membuat semua masa mudanya berakhir trauma dan ketakutan tiada ujungnya.

"Bu,"

Menoleh secepat kilat, ibu berhambur dalam pelukan ayah ketika laki-laki itu bangkit ikut duduk sambil menyalakan lampu tidur.

"Mimpi buruk lagi? Belakangan ini ibu sering nggak tenang kalo tidur." Sambil berikan segala macam afeksi penenang, ayah kecup pucuk kepala istrinya.
"Ibu mau konsultasi?"

Ibu menggeleng.
"Ibu takut,"

"Takut kenapa? Ini yang ibu peluk nih kepala polisi." Kali ini kalimat ayah di barengi kekeh jenaka, niatnya untuk membuat ibu kembali tenang.

Terbukti dari ibu yang ikut tertawa kecil, ayah menangkup pipinya, mengusap wajah ibu yang mengkerut karna keringat.
"Ayah nggak tau apa yang lagi ibu sembunyiin, tapi kalo ibu udah siap, ibu bisa ngomong kapan aja sama ayah."

Dalam dekap hangatnya di penghujung malam mencari ketenangan, ibu mengangguk lemah.

TBC.

Behind The Shadows [Lee Taeyong]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang