"Kenapa lu bisa suka sama Pandu?" Pertanyaan itu membuat Panji menoleh ke arah sahabatnya. Raut wajahnya langsung berubah seketika, lalu senyum Panji merekah.
"Emang jatuh cinta perlu alasan ya?" Panji malah bertanya balik. Alis Gabriel terangkat bingung. Memang ada orang yang jatuh cinta tanpa alasan? Pikirnya.
Diamnya Gabriel membuat Panji tiba-tiba berpikir, terhanyut dalam ingatannya yang membawa kembali pada hari ketika mereka duduk bersama teman-temannya di kantin. Seperti biasa, Panji asyik bermain game online dengan Fernan, hingga suara lembut nan indah tiba-tiba mengalihkan perhatiannya dari ponselnya. Pandangan Panji tertuju pada sosok lelaki yang berdiri di dekat Gabriel, mereka sedang berbicara. Tangan lelaki itu dimasukkan ke saku, kulitnya seputih susu, sangat kontras dengan kulit Panji yang lebih gelap. Matanya menatap Gabriel dengan lembut, garis rahangnya tegas, dan bibirnya berwarna merah muda. Postur tubuhnya menjulang tinggi dan tegap, namun Panji yakin bahwa lelaki itu akan tampak kecil di sampingnya. Pinggangnya yang ramping terlihat begitu mudah untuk Panji gapai dengan satu tangan. Yang paling penting, jantung Panji tiba-tiba berdetak tak karuan, dan ia tanpa sadar menahan nafas selama beberapa menit.
Panji terpesona sampai-sampai tubuhnya bangkit dengan sendirinya. Langkah kakinya mendekati lelaki itu, tanpa sadar menawarkan diri untuk mengantarnya pulang. Namun tatapan lelaki itu tajam dan sinis, tidak ada senyum di wajahnya. Meskipun begitu, Panji merasa jatuh hati pada pesona yang dimiliki oleh Pandu Darmawangsa.
Pandu Darmawangsa. Hanya dengan memikirkan namanya, jantung Panji berdebar-debar tak terkendali. Siapa sangka, meskipun Panji baru saja menginjak usia 18 tahun, ini adalah pertama kalinya dia merasa begitu tergila-gila pada seseorang. Tak ada alasan khusus yang dia butuhkan untuk menyadari bahwa dirinya telah jatuh hati, telah terpesona, dan hatinya begitu ingin Pandu menjadi miliknya.
Panji melipat kedua tangannya di depan dada, "My world just stops when I see him. My heart calls out his name," Panji diam sejenak sebelum melanjutkan ucapannya, "And I can't imagine anyone else touching him. I've never felt this before. So, I know my heart wants him."
Gabriel tidak tahu harus merespons ucapan Panji dengan bagaimana. Dia belum pernah merasakan hal serupa sebelumnya. Namun, melihat bagaimana Panji mengungkapkannya dengan lembut dan tatapan tulus membuat Gabriel sedikit lebih memahami. Sudut bibir Gabriel terangkat, membentuk senyum tipis sebelum ia menepuk pundak Panji.
"Kalau sesuka itu, perjuangin," kata Gabriel.
Panji tersenyum lebar, merasa lega mendapatkan dukungan dari sahabatnya.
"Cuma lu harus tahu. Pandu bukan orang yang mudah untuk didapatkan," ucap Gabriel, membuat Panji mengangguk setuju. Dia tahu betul bagaimana sifat Pandu.
"Lu tenang aja. Gua punya banyak cara buat dapetin Pandu."
•••
Angin bersemilir menerbangkan helaian rambut Pandu yang semakin panjang saat ia melangkah ke ruang guru, menggenggam erat beberapa berkas yang perlu diantarkan. Langit mulai menggelap, mengisyaratkan hujan yang akan segera turun, mendorong langkah Pandu semakin cepat agar tidak basah kuyup saat kembali ke kelas.
Namun, tiba-tiba langkahnya terhenti mendengar suara pukulan keras di dekat ruang guru. Pandu menoleh, rasa penasaran melanda meskipun ini bukan urusannya.
Plak!
Suara tamparan kembali terdengar, mengenai pipi seorang lelaki yang tampak tidak bergeming. Lelaki paruh baya di depannya tampak marah, menampar anaknya tanpa pandang bulu.
"Jaga omonganmu, Panji," ucap lelaki paruh baya dengan nada keras, membuat mata Pandu terbelalak tidak percaya. Apa yang sebenarnya sedang terjadi di sini? Pandu melihat Panji hanya diam, tanpa membela diri.
"Papa tahu yang terbaik untukmu, dan semua sudah papa putuskan," lanjut lelaki paruh baya dengan nada tegas.
"Tapi, Panji gak mau kuliah di luar negeri, Pah. Di sini juga semuanya baik-baik saja, dan kenapa Panji harus keluar dari tim basket? Nilai-nilai Panji bahkan gak pernah turun, dan Panji selalu ikutin latihan piano. Perjanjiannya gak begini, Pah."
Baru pertama kali Pandu melihat bagaimana Panji tampak memohon pada lelaki yang lebih tua di hadapannya. Nada putus asa dan tatapan memelas membuat hati Pandu tiba-tiba terasa sakit bukan main.
"Kamu ini cuma anak kemarin sore, gak tahu apa-apa tentang kehidupan yang harus kamu jalanin nantinya."
Pandu terdiam, tanpa sadar meremas kertas yang ada di pelukannya, sambil merasa hatinya berdenyut sakit bukan main. Dia melihat bagaimana sosok yang selama ini dianggapnya menyebalkan tampak tak berdaya di hadapan ayahnya sendiri. Tatapan putus asa yang diberikan Panji pada ayahnya, serta memar kemerahan bekas tamparan di pipinya, membuat Pandu merasa ingin memeluk lelaki itu.
"Ingat ya, Panji. Kamu itu menyandang nama Aloskara. Kehidupanmu itu sudah ada aturannya dari awal," ucap lelaki paruh baya itu sebelum melangkah pergi, membuat Pandu segera menyembunyikan dirinya di balik tembok.
Kata-kata itu terus menggema di pikiran Pandu, menggambarkan betapa beratnya beban yang harus dipikul oleh Panji sebagai seorang Aloskara.
Setelah lelaki paruh baya itu melangkah pergi, menghilang dari pandangan Pandu, lelaki itu menarik napas sebelum melangkah mendekati Panji untuk melihat keadaannya. Namun, tak disangka, sosok yang selalu menyebalkan, menggodanya, bahkan sering kali menunjukkan senyum mengejek pada Pandu, kini terduduk rapuh. Dengan kedua tangan terkait di lehernya dan menenggelamkan kepalanya, itu membuat Pandu menggigit bibir bawahnya, menatap sedih hingga ia harus mengedipkan matanya berkali-kali sambil mendongakkan kepalanya agar tidak menangis.
Pandu akhirnya mengambil nafas dalam-dalam, memutuskan untuk mendekati Panji. Lalu, dengan hati-hati, dia mencoba menempatkan dirinya sedikit jongkok di hadapan Panji, sambil meletakkan tangannya perlahan di pundak Panji. "Lu...gapapa?"
Panji akhirnya mengangkat kepalanya perlahan. Matanya yang menyorot putus asa bertemu dengan mata Pandu yang teduh. Sebelum Panji sempat menjawab, Pandu kembali berkata, "Gua bukan bermaksud menguping tapi gak sengaja lewat," jelasnya agar Panji tidak salah paham, lalu ia mengangkat kertas-kertas yang dibawanya. "Lihat nih. Gua mau antar ini ke Pak Herman."
Ada secercah senyum tipis yang mengukir di wajah Panji. "Ndu," panggilnya, membuat Pandu terkejut.
"Gua boleh minta peluk gak?" Pertanyaan itu membuat Pandu bersusah payah menelan saliva, tiba-tiba dirinya gugup bukan main. Kepalanya mengangguk pelan sebelum melebarkan tangannya dan membiarkan tubuh Panji jatuh ke pelukannya, hingga keduanya terduduk di lantai dingin. Lalu tangan Pandu terangkat, mengelus lembut surai Panji tanpa berkata apapun.
Seperti yang diperkirakan oleh Pandu beberapa menit sebelumnya, hujan turun dengan derasnya, seolah-olah mencerminkan kehancuran hati Panji saat ini. Suara rintik hujan menjadi satu-satunya yang mengisi ruang, menyelimuti kedua sosok yang baru saja berpelukan itu. Mereka kini hanya duduk bersebelahan di tangga, terdiam tanpa seorang pun mencoba untuk memecah keheningan yang menggelayut di antara mereka.
"Ndu," panggilan itu memecah keheningan di antara mereka, membuat Pandu menoleh. "Kalau lu gak mau jadi pacar gua, boleh gak kita jadi temen aja?"
Pandu belum menjawab ketika Panji kembali berkata, "I know it sounds selfish, but I need you in my life, Ndu. I think my life may be harder now than before, but at least I have you. I have you in my life, though not as a boyfriend, but as a best friend, I guess?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Best Mistake - PondPhuwin
FanfictionPandu Darmawangsa dikenal sebagai sosok yang berpegang teguh dengan prinsipnya. Namun, malam itu semuanya musnah. Prinsip serta harga dirinya. Ia luluh pada lelaki bernama Panji Aloskara.