Pandu lagi-lagi menyentuh belah bibirnya, sambil merutuki tingkah konyolnya beberapa hari lalu. Sungguh, rasanya Pandu ingin memukul kepalanya dan menampar dirinya sendiri karena melakukan sesuatu yang kini tak bisa ia lupakan. Bahkan sejak tadi, ia benar-benar tidak fokus. Ingatan tentang bagaimana Panji melumat bibirnya dengan tergesa-gesa, membuat dirinya hampir kehabisan napas dan sentuhan jemari lelaki itu pada rambutnya membuatnya benar-benar menggila sekarang!
Bagaimana dia bisa melakukan ciuman pertamanya dengan seorang Panji Aloskara?!
"Ndu..." Panggilan dari suara yang dikenal membuat Pandu tersentak dari lamunannya. Dia berbalik memandang Gabriel, yang tampak menggelengkan kepalanya dengan ekspresi mencibir karena kembali memergoki Pandu dalam lamunannya yang mendalam.
"Hah?" tanya Pandu dengan senyumnya yang khas.
"Lu ngelamunin apa sih?" tanya Gabriel, matanya penuh rasa ingin tahu melihat tingkah laku sepupunya yang terasa berbeda. Keduanya berada di halaman belakang rumah Gabriel, tepat di dekat pacuan kuda yang dihuni oleh beberapa ekor kuda yang telah dirawat dengan baik oleh keluarga mereka sejak lama. Hari ini, mereka berdua berlatih berkuda sesuai jadwal. Eyang selalu menekankan pentingnya menjadi serba bisa, dan tempat ini adalah bukti dari filosofi tersebut. Dalam perlengkapan berlatih, mereka mengenakan helm yang menutupi kepala, kaos putih polos, dan celana hitam yang menonjolkan postur tubuh jenjang mereka.
Pemandangan yang terhampar begitu luas dan indah dengan angin bersemilir di sore hari ini. Helaian rambut Pandu tersibak dari sela-sela helm yang dipakainya. Tubuhnya tegap berdiri di samping kuda putih, sementara Gabriel berdiri di samping kuda cokelat. Keduanya bertanggung jawab atas kuda masing-masing yang perlu dirawat, seperti yang diajarkan Eyang. Ini bukan hanya tentang tanggung jawab terhadap hewan, tetapi juga tentang menjaga nyawa. Mereka menyadari pentingnya kepercayaan dan kedisiplinan dalam merawat hewan ternak ini.
"Gak ada," jawab Pandu cepat, mencoba menutupi kebingungannya.
"Aneh tau. Akhir-akhir ini lu aneh," Gabriel menyelidiki, matanya tajam memerhatikan setiap gerak-gerik Pandu. Pandu mengusap tengkuknya dengan canggung, mencoba menenangkan diri.
"Aneh gimana?"
"Banyak ngelamun terus tiba-tiba aja lu pacaran sama Adnan," balas Gabriel dengan nada merenung. "Lu tau gak sih? Gua pernah ngeliat Adnan di clubnya Fernan. Dia tuh bukan orang baik-baik yang seperti lu kira."
"Meskipun gua mikir emang gak ada orang baik di dunia ini sih. Pasti kebanyakkan mereka pake topeng dan kita gak tau sifat aslinya kaya apa," lanjut Gabriel sambil mengelus surai kuda kesayangannya.
Shit. Pantas saja Panji bilang Adnan tidak cocok untuknya. Rasanya memalukan sekali. Bila Gabriel pernah bertemu Adnan di club, artinya disana pasti ada Panji. Lelaki itu sudah tau dari awal. Sialan Adnan membuat Pandu malu bukan main.
"Kalau sifat asli Panji, kaya apa?" Tiba-tiba pertanyaan itu meluncur dari bibir Pandu.
"Panji?" Alis Gabriel terangkat setelah mendengar nama temannya disebutkan oleh Pandu.
Pandu mengangguk.
"Panji itu baik dan keren," jawab Gabriel.
Mendengarnya, sontak Pandu ingin tertawa. "Keren?"
Apa yang keren dari lelaki menyebalkan itu?
"Menurut gua, dia keren, Ndu," jelas Gabriel, menggantungkan kata-katanya sambil pandangannya tertuju pada kuda kesayangannya, seraya memikirkan kata selanjutnya. "Dia itu bakal kerja keras kalau dia udah suka sama sesuatu. Contohnya basket. Waktu itu dia sama papanya bikin perjanjian kalau nilai dia gak akan turun, latihan piano dia gak akan dilewatkan, tapi dia juga bakal bawa kejuaraan di basket. Jadi selama perjanjian itu berlangsung, Panji sibuk mengatur waktunya buat belajar, les piano, dan basket. Meskipun orang tuanya sudah melarang, tapi dia bisa membuktikan kalau dia gak main-main pas bilang dia suka basket."
Pandu mendengarkan dengan serius. Dia tidak pernah benar-benar mengenal sisi Panji yang seperti itu. Selama ini, Pandu hanya melihat sisi menyebalkan dari lelaki yang lebih tua itu: sikap sombong, sering menggoda, dan tidak pernah serius. Tapi, mendengar cerita dari Gabriel membuat Pandu merenung. Mungkin ada sisi Panji yang belum pernah dia lihat.
"Dia keren karena gak semua orang berani buat ambil resiko tanpa tahu kedepannya bakal gimana. Dia tuh meskipun keliatan slengean, aslinya pinter," jelas Gabriel sambil mengelus lembut surai kuda kesayangannya.
Ingatan Gabriel kembali ke saat mereka menghadapi ujian dadakan dan Panji mendapatkan nilai sempurna. Lelaki yang tampaknya tidak suka belajar itu memahami setiap penjelasan yang diberikan guru, menjawab dengan sempurna. Tanpa disadari, lelaki itu seharusnya menjadi saingan Gabriel jika dia mau serius belajar.
Pandu mengangguk, matanya mencermati ekspresi Gabriel yang serius. "Makanya pas dia bilang dia suka sama lu. Yang gua khawatirkan itu elu bukan dia," lanjut Gabriel.
"Kenapa gitu?" tanya Pandu, dengan rasa ingin tahu yang jelas terlihat di wajahnya.
"Karena dia gak akan nyerah, Ndu," jawab Gabriel, matanya menatap Pandu lembut. "Dia bukan orang yang gampang nyerah kalau udah suka sesuatu. Dia bakal lakuin apapun dan kerja keras buat dapetin itu."
Pandu merenung sejenak. Gabriel memberikan pandangan yang berbeda tentang Panji, sesuatu yang membuatnya berpikir ulang tentang lelaki yang lebih tua itu. Mungkin Panji memang memiliki sisi yang belum pernah dia lihat sebelumnya. Ketegasan dan tekad yang dimiliki Panji dalam mengejar apa yang diinginkannya, meskipun terlihat seperti orang yang tidak serius.
Namun, sepertinya ini akan menjadi bencana karena Panji tidak akan melepas Pandu begitu saja, apalagi setelah kejadian beberapa hari yang lalu. Seketika, Pandu memijat pelipisnya; pusing bukan main menyerang ketika ingatan itu muncul lagi dari kepalanya.
"Gimana persiapan kuliah lu, Gab?" Tanya Pandu.
Lelaki yang lebih tua itu sudah mulai mempersiapkan pendaftaran ke beberapa universitas yang sesuai, sementara Pandu mendengar kabar bahwa Gabriel berencana untuk melanjutkan studi di luar negeri.
Gabriel mengangkat alisnya dengan senyum samar sebelum akhirnya tertawa pelan. "Lu mengalihkan pembicaraan," katanya.
Pandu memutar matanya dengan malas, merespons dengan nada sedikit kesal, "Gua gak tertarik buat bahas temen lu lagi."
"Maksudnya, calon pacar lu?" goda Gabriel sambil tersenyum lebar.
"Gabriel!" Pekik Pandu dengan nada terkejut, sambil mencoba menyembunyikan senyum yang mulai merayap di bibirnya.
Gabriel hanya terus tersenyum, menikmati reaksi dari Pandu. "Denial mulu," godanya lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Best Mistake - PondPhuwin
FanficPandu Darmawangsa dikenal sebagai sosok yang berpegang teguh dengan prinsipnya. Namun, malam itu semuanya musnah. Prinsip serta harga dirinya. Ia luluh pada lelaki bernama Panji Aloskara.