2019, London
Di tengah keheningan malam yang gelap, London terlelap dalam dekapan dingin musim dingin. Angin berdesir pelan-pelan membelai jalan-jalan yang sepi, sementara lampu-lampu jalan terpantul lembut di permukaan licin yang tertutup salju tipis. Di pinggir trotoar, pepohonan gugur berselimut putih, dan cahaya gemerlap dari jendela-jendela bangunan bersejarah menerangi suasana.
Di sebuah sudut kafe yang terlindung dari dinginnya musim dingin London, dua lelaki duduk bersama di meja kayu yang sederhana. Mereka menikmati kehangatan dari secangkir kopi yang menguar di antara mereka, sambil sesekali memandang keluar jendela untuk melihat salju yang turun dengan gemetar di luar.
"Lu bisa nginep di kamar asrama gua malam ini," ucap Gabriel, seorang lelaki yang memakai mantel cokelat tua yang longgar, dengan rambut hitamnya sedikit berantakan. Senyum tipisnya muncul di wajahnya saat ia menatap sepupunya yang duduk di hadapannya.
"Gak usah. Gua udah booked hotel di deket sini," balas lawan bicaranya yang memakai turtleneck putih, dipadukan dengan blazer cokelat dan celana panjang hitam, sembari mengangkat gelas kopinya dan meminumnya secara perlahan.
"Lu kesini alasannya mau ketemu gua tapi dari tadi gua liat tuh muka lesu banget sih, Ndu," ujar Gabriel pada sepupunya itu. "Gua kan udah bilang, Panji ada janji sama temennya bakal pulang malem banget. Lu mau nunggu disini gitu?"
Entahlah. Pandu tidak punya jawaban pasti.
Kemungkinan ia akan menunggu.
Sudah hampir memasuki tahun kedua sejak Gabriel dan Panji menjalani masa perkuliahan di Imperial College London. Kedatangannya kali ini karena liburan musim dingin, dan Gabriel tidak bisa pulang karena memiliki banyak tugas yang harus diselesaikan. Namun, sebenarnya Pandu datang ke sini bukan hanya untuk bertemu Gabriel.
Pandu ingin melihat Panji dan mengetahui bagaimana kehidupannya setelah mereka berpisah. Meskipun masih sering mendengar kabar dari Panji, mengapa Pandu sampai harus pergi ke London? Menempuh jarak begitu jauh hanya untuk memuaskan rasa keingintahuannya, dengan harapan bahwa Panji mungkin merindukannya. Namun, di akhirnya, dia malah berakhir di kafe bersama Gabriel karena Panji memiliki jadwal bersama teman lain. Mengapa sekarang Pandu yang harus merasa kecewa? Mengapa?
Panji selalu mengatakan bahwa lelaki itu menyukainya, bahkan mencintainya. Meskipun Pandu sering kali meremehkan pernyataan itu, hatinya sebenarnya sangat mengharapkan bahwa perasaan Panji sungguh tulus. Dia berharap pertemuan ini akan membuat Panji menyadari bahwa Pandu juga mencintainya.
Namun, melihat kejadian seperti ini, Pandu harus mulai memikirkan ulang segalanya. Mungkin memang lebih baik bagi mereka untuk hanya menjadi teman.
"Kan ngelamun lagi," ucapan Gabriel membuat pandangan Pandu teralihkan dari salju yang semakin lebat di luar, ke sepupunya yang sedang menggelengkan kepalanya.
"Gua gak tau, Gab. Gua gak tau kenapa gua kesini dan berakhir kaya orang galau abis putus cinta nungguin mantannya yang pergi gitu aja," Pandu menghembuskan napas lelahnya. Kalau Gabriel bingung, dia lebih bingung pada dirinya sendiri.
"Lu gak tau? Tapi gua bisa liat semuanya, Ndu," Gabriel memandang Pandu dengan serius. "Gua tau lu cinta sama Panji. Kalau bukan cinta namanya, gak mungkin lu ada disini sekarang."
"Tapi gua gak mau." Jawaban Pandu membuat Gabriel menautkan alisnya, bingung. "Love is scary, Gab," lanjutnya.
Gabriel terdiam sambil memandang Pandu yang tampak sedih. Lelaki yang lebih tua itu tidak tahu bahwa Pandu berpikir bahwa cinta itu menakutkan. Pandu lahir di keluarga yang harmonis, di mana semua keinginannya selalu dikabulkan. Lalu apa yang membuatnya takut?
KAMU SEDANG MEMBACA
Best Mistake - PondPhuwin
Fiksi PenggemarPandu Darmawangsa dikenal sebagai sosok yang berpegang teguh dengan prinsipnya. Namun, malam itu semuanya musnah. Prinsip serta harga dirinya. Ia luluh pada lelaki bernama Panji Aloskara.