Cahaya sore merayap perlahan melalui ventilasi ruang istirahat tim basket, menciptakan bayangan-bayangan gemerlap yang mengalun di sepanjang lantai marmer. Suasana ruangan terabaikan oleh dua sosok lelaki di ujung ruangan, saling menatap dengan mata yang memancarkan hasrat yang membara.
"Lu yakin gak menginginkan gua?" Suara berat Panji bergema di ruang istirahat tim basket, memantul di dinding marmer yang dingin. Pandu, yang berdiri di depannya, merasakan bulu kuduknya berdiri tegak. Dengan susah payah, ia menelan ludahnya yang kering, mencoba menemukan kata-kata yang tepat, tetapi lidahnya terasa kelu.
Kilatan mata Panji memancarkan hasrat yang membara tak tertahankan. Pandu terpaku, matanya tak dapat lepas dari mata hitam legam yang seolah menyapu dirinya ke dalam pusaran gairah yang menggebu. Jemari Panji menyentuh pipi Pandu dengan lembut, sebuah sentuhan yang melambungkan perasaan di dadanya. Pandu menahan napasnya, merasakan gesekan jari Panji yang meluncur perlahan ke leher jenjangnya.
Degup jantung Pandu semakin liar, mengikuti alunan sentuhan jemari Panji yang menggairahkan. Panji menyeringai, perlahan membuka kancing atas seragam Pandu tanpa perlawanan. Pandu tetap diam, membiarkan lelaki yang tua itu melakukan keinginannya. Tiga kancing terbuka satu per satu, menampakkan sedikit demi sedikit kulit putih yang halus milik Pandu yang sebelumnya tersembunyi.
Panji melanjutkan dengan mengambil kendali dengan kasar, menarik seragam Pandu lebih jauh lagi sehingga menampakkan tulang selangka yang mempesona. Dia tidak bisa menahan diri untuk tidak memuja keindahan yang terbuka di hadapannya. Sedangkan Pandu, napasnya tersengal-sengal, hatinya dipenuhi dengan ketidakpastian dan gairah yang membara di dalam dirinya. Dia terombang-ambing di antara keinginan untuk menolak dan membiarkan dirinya menyerah pada keinginan yang menggelora.
"Panji..." lenguhan Pandu lolos bersamaan dengan sentuhan bibir Panji yang lembut menyentuh tulang selangka miliknya. Getaran yang meluap dari sentuhan itu memenuhi tubuh Pandu, membuatnya merasa seperti terbakar oleh api yang membara.
Panji mengangkat kepalanya, matanya penuh dengan kilatan nafsu itu menatap Pandu. Mereka saling memandang, keintiman di antara mereka mengalir tanpa kata-kata. Mereka telah mencapai titik di mana tak ada kata yang perlu diucapkan; kehadiran dan sentuhan mereka telah cukup untuk mengungkapkan segala rasa yang terpendam.
Tanpa ragu, Panji menarik tubuh Pandu lebih dekat lagi, menyatukan tubuh mereka dalam dekapan yang membara. Lelaki yang lebih tua itu mendekap tubuh yang lebih muda dengan erat lalu menciumi leher Pandu seolah tidak ada hari esok, hingga gigitan demi gigitan yang membuat Pandu lagi-lagi melenguh nama Panji.
"Ndu...," Tubuh Pandu digoyang-goyangkan membuat si empu itu membuka matanya secara perlahan. "Lu ngapain tidur disini?" Pertanyaan itu meluncur dari bibir Gabriel, suaranya penuh dengan keheranan namun juga sedikit canda.
Pandu menegakkan tubuhnya dengan perlahan, memandang sekeliling dengan wajah yang masih terasa bingung. Ruangan di sekitarnya adalah perpustakaan, tetapi kenapa dia merasa seperti ada yang aneh? Seolah-olah baru saja ia bermimpi tentang sesuatu yang terasa begitu nyata: dirinya bersama Pandu di ruang istirahat tim basket, momen yang terasa begitu intim dan membara.
Bukannya menjawab pertanyaan Gabriel, Pandu memeriksa detak jantungnya dengan tangannya sendiri. Napasnya tidak beraturan, dan denyut jantungnya berdegup kencang seolah sedang berpacu dalam perlombaan. "Gab, kayaknya gua sakit deh," ujarnya dengan suara yang agak terengah-engah.
Mendengar hal itu, Gabriel mengangkat alisnya dengan ekspresi bingung. Pandu terlihat sehat. Ia meraih tangan Pandu memeriksa denyut nadi dan menyentuhkan punggung tangannya ke dahi Pandu untuk memeriksa suhu tubuhnya. "Keliatannya lu baik-baik aja deh, Ndu. Emang dimana yang sakit?" tanyanya, khawatir pada sepupunya.
"Jantung gua, Gab. Dia berdetak terlalu kencang," jawab Pandu dengan suara yang panik.
Ucapan itu membuat tawa Gabriel mengudara. "Mungkin cuma karena lu terlalu banyak minum kopi atau ada yang bikin lu agak stres," canda Gabriel mencoba mengurangi ketegangan. Namun, Pandu tetap serius.
"Gab beneran. Kayaknya ada masalah sama jantung gua," sahut Pandu dengan kepanikannya.
Merasa semakin serius, Gabriel mengangguk dan menepuk bahu Pandu dengan penuh perhatian. "Baiklah, kalau begitu, kita periksa ke dokter ya," ujarnya sambil memandang Pandu.
Tiba di klinik, mereka diterima oleh seorang dokter muda yang ramah. Pandu menjelaskan gejala yang ia rasakan, termasuk detak jantung yang cepat dan sensasi aneh di dada. Dokter melakukan pemeriksaan fisik dan mendengarkan detak jantung Pandu dengan stetoskop.
Setelah beberapa saat, dokter mengangguk sambil tersenyum ramah. "Pandu, hasil pemeriksaan fisik menunjukkan bahwa detak jantungmu memang sedikit lebih cepat dari biasanya, tetapi tidak ada kelainan yang serius. Kamu mungkin mengalami gangguan irama jantung yang umum terjadi, biasanya karena stres atau faktor lain seperti konsumsi kafein yang berlebihan."
Di perjalanan pulang, Pandu memikirkan kembali kata-kata dokter. Ia tidak minum kopi akhir-akhir ini, dan stres? Apa yang harus membuatnya stres? Pertanyaan itu menggelitik pikirannya, karena dia merasa hidupnya sebenarnya cukup baik-baik saja. Namun, kehadiran Panji terus mengganggunya, bahkan dalam mimpi?
Semuanya karena Panji Aloskara. Bahkan sekarang, jantung Pandu berdetak tak karuan hanya karena memikirkan lelaki itu. Pikirannya dipenuhi oleh wajah Panji, senyumnya yang menyebalkan, dan setiap sentuhan mereka yang menghantui Pandu. Meskipun berusaha untuk tidak terpengaruh, Pandu merasa sulit untuk menahan perasaan yang mendera saat namanya disebut atau bayangan Panji muncul dalam benaknya.
"Gab," panggil Pandu, suaranya terdengar lirih di dalam keheningan mobil yang melaju. Gabriel yang sedang menatap jalanan dari dalam kaca mobil itu spontan menoleh ke arah Pandu dengan ekspresi heran. "Cariin gua pacar," pintanya tiba-tiba, meninggalkan Gabriel terperangah.
Gabriel mengangkat alisnya, mencoba memahami maksud dari permintaan mengejutkan tersebut. Pandu tidak pernah terlalu terbuka tentang kehidupan pribadinya, apalagi soal hubungan romantis. Karena itu, permintaan seperti ini benar-benar mengejutkan Gabriel.
Sejenak terdengar hening di dalam mobil, hanya suara mesin yang bergetar lembut. "Sebenernya ada apa dengan sepupunya itu?" pikir Gabriel dalam hati, mencoba menebak-nebak apa yang sedang terjadi di benak Pandu.
Pandu, yang biasanya tenang dan terkendali, sekarang terlihat gelisah dan mungkin sedikit putus asa. Lelaki yang lebih muda itu menatap keluar jendela, mencoba menyembunyikan sesuatu. Gabriel merasa ada sesuatu yang besar sedang terjadi, sesuatu yang mungkin belum pernah Pandu bicarakan sebelumnya
KAMU SEDANG MEMBACA
Best Mistake - PondPhuwin
Fiksi PenggemarPandu Darmawangsa dikenal sebagai sosok yang berpegang teguh dengan prinsipnya. Namun, malam itu semuanya musnah. Prinsip serta harga dirinya. Ia luluh pada lelaki bernama Panji Aloskara.