"Mau gua cium?" Pertanyaan itu membuat
Pandu merasa dipermainkan, meskipun ia telah siap dengan segala yang akan Panji lakukan. Pandu hanya menatap Panji dengan melas seolah memberitahu keinginan yang tak terucapkan, mengisyaratkan bahwa itu mungkin satu-satunya jawaban yang mampu ia berikan. Namun, Panji tidak akan berhenti begitu saja. Tangannya dari tengkuk Pandu dilepaskan dengan lembut, lalu ia mundur sambil menambahkan dengan nada yang menggoda, "Mohon ke gua kalau lu mau gua cium."Sialan! Rasanya Pandu ingin menggeram dengan frustasi. Mengapa lelaki yang lebih tua itu terlihat senang mempermainkannya? Ini mungkin terdengar gila, karena senyum menyebalkan yang terbentuk di wajah Panji membuat Pandu gila. Secara fisik, segala sesuatu tentang Panji membuat Pandu gila. Mata hitam pekat yang menatap dari balik alisnya yang gelap, menonjol tajam; garis rahang yang tegas dan tulang pipi yang tajam; hidung mancung yang terpahat sempurna; tubuh tegap besar dan rambut tebal berwarna cokelat tua yang entah bagaimana tergerai dengan sempurna. Panji tampak begitu mempesona dari jarak sedekat ini, dan Pandu baru menyadarinya.
Jangan lupakan bibir tebal yang kini menjadi fokus Pandu. Sungguh, ada apa dengannya? Mengapa dia bertingkah seperti ini? Mengapa Pandu begitu menginginkan Panji?
Persetan dengan segala pertanyaan yang menumpuk di kepalanya! Pandu merasa jantungnya berdegup kencang, seiring dengan hasrat yang membara untuk mencium Panji. Meskipun pertanyaan-pertanyaan terus menganggunya, dia tidak peduli lagi. Yang dia inginkan hanyalah melangkah maju dan menarik tengkuk lelaki yang lebih tua di depannya.
"I'm not a toy, Panji," ucap Pandu menatap tajam lawan bicaranya. "Don't play with me unless you want to get hurt."
He's the Darmawangsa for a reason. Segila apapun Pandu menginginkan Panji, namun ia tidak akan pernah memohon pada seseorang. Dia tidak pernah diajarkan untuk memohon; dia diajarkan untuk memerintah.
Hanya dalam waktu lima menit, Pandu mampu mengendalikan dirinya. Meskipun hasrat yang membara dalam dirinya ingin meledak, Pandu memilih untuk menahannya dengan kuat. Lawan bicaranya, yang sebelumnya mengharapkan respons atau tindakan lebih lanjut dari Pandu, sekarang melihatnya dengan kesal.
Panji mendengus tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Bagaimana mungkin Pandu, yang beberapa menit lalu terlihat begitu menginginkannya, kini berubah dingin dan menatapnya dengan tajam. Lalu, seringaian licik menghiasi wajah Panji. Menarik. Sangat menarik baginya, membuat Panji semakin ingin menaklukkan lelaki di hadapannya itu.
"But if you are a toy, then you're my pretty doll," ucap Panji dengan penuh penekanan yang membuat Pandu menggelengkan kepala dengan malas. Dengan gerakan tegas, Pandu memutar tubuhnya dan membuka kunci pintu ruangan itu. Dia segera keluar, ia menghembuskan napas lega dan detak jantungnya masih berdegup kencang. Setiap langkahnya menjauh dari ruangan itu terasa sebagai kebebasan, meskipun tatapan intens Panji masih terasa di belakangnya, membuat bulu kuduknya meremang.
Pandu melangkah dengan cepat, mencoba untuk menenangkan diri dari ketegangan yang baru saja dialaminya. Dia merasa menggila antara frustrasi dan penasaran dengan sikap Panji. Di satu sisi, komentar Panji membuatnya merasa dianggap sebagai objek yang bisa dimainkan. Namun, di sisi lain, Pandu juga merasa terganggu dengan daya tarik yang kuat yang masih dirasakannya terhadap Panji.
Saat Pandu memasuki ruang kelasnya, dia berusaha keras untuk mengalihkan perhatian dari kejadian tadi. Dia tahu ada tugas-tugas yang menunggu untuk diselesaikan dan dia perlu fokus sepenuhnya. Namun, pikirannya terus-menerus kembali pada pertemuan dengan Panji. Tatapan intens Panji dan bahkan sentuhan jemarinya yang singkat di wajah Pandu masih terasa begitu nyata.
Pandu mengambil tempat duduknya di barisan paling belakang. Ia merapikan buku-buku dan mencoba menenangkan diri. Sentuhan Panji lagi-lagi memenuhi benaknya. Sungguh, apa yang terjadi tadi? Apa arti dari semua itu? Pertanyaan-pertanyaan ini bergulir terus-menerus di dalam pikiran Pandu, meskipun dia mencoba untuk menyingkirkannya.
"Lu gapapa?" Suara yang dikenal membuat lamunan Pandu buyar. Ia menoleh pada Gabriel yang tiba-tiba muncul di sampingnya. Pandu terkejut karena tidak menyadari kapan Gabriel duduk di sana atau kapan dia datang.
"Gua?" Pandu menunjuk dirinya sendiri dengan raut wajah heran, membuat Gabriel mengangguk sebagai balasan. "Emangnya gua harus kenapa-kenapa?" tambahnya dengan cengiran lebar, membuat Gabriel mendengus sebal.
"Gua khawatir lu berantem sama Panji. Kalian ngobrolin apa tadi?" tanya Gabriel dengan nada khawatir, pertanyaannya membuat bayangan kejadian tadi terulang di kepala Pandu.
Pandu menggeleng cepat, mencoba menyingkirkan pikiran itu dari kepalanya. "Enggak lah, gak ada apa-apa. Cuma ngobrol doang."
Gabriel mengangkat alisnya curiga. "Yakin? Gua kenal lu, Ndu. Ada yang lagi nggak beres nih."
Pandu menghela napas panjang. Dia tahu Gabriel cukup peka terhadap perasaannya. "Bukan apa-apa, Gab. Cuma kesel aja."
Gabriel mengangguk perlahan. "Ya udah, kalo gitu. Tapi, kalau ada masalah, cerita ke gua ya. Gak baik simpen sendiri."
Pandu tersenyum kecil mengapresiasi perhatian Gabriel. "Thanks, Gab. Gua pasti bakal cerita kalo emang butuh bantuan lu."
Untuk saat ini, Pandu memilih untuk mencoba memahami lebih dalam perasaannya sendiri tanpa berbagi dengan Gabriel. Perasaannya yang rumit terhadap Panji membuatnya merasa sungguh bingung.
Tatapan tajam Panji, senyuman yang menggoda, dan sentuhan-sentuhan singkat mereka-semua itu menghantuinya. Pandu mencoba untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya. Dia menyadari bahwa perasaannya terhadap Panji lebih dari sekadar ketertarikan biasa.
![](https://img.wattpad.com/cover/343124863-288-k857316.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Best Mistake - PondPhuwin
Fiksi PenggemarPandu Darmawangsa dikenal sebagai sosok yang berpegang teguh dengan prinsipnya. Namun, malam itu semuanya musnah. Prinsip serta harga dirinya. Ia luluh pada lelaki bernama Panji Aloskara.