RENCANA

1.8K 247 11
                                    

Senyum Panji mengembang saat matanya memandang layar ponsel yang menampilkan penampilannya hari ini di pertandingan basket. Yang paling ditunggunya adalah kehebohan semua orang tentang hubungannya dengan Pandu. Lelaki yang lebih muda itu menolaknya tanpa berpikir dua kali, seolah Panji akan menyerah begitu saja. Pandu salah besar karena Panji semakin penasaran, semakin tertarik, semakin ingin memiliki.

Ide gila itu muncul saat melihat Pandu di tangga dekat tribun penonton; otaknya berjalan begitu cepat hingga tubuhnya langsung berlari, menarik Pandu untuk duduk di bangkunya di tepi lapangan, membuat semua orang menatap mereka penasaran. Jika Pandu tidak menginginkannya, maka Panji akan membuat semua orang tahu bahwa Panji menginginkan Pandu.

Dan sekarang adalah pertunjukkan utamanya.

Kemarahan Pandu terasa seperti sebuah badai yang siap memecah ruangan istirahat tim basket itu. Setelah pertandingan sengit, atmosfernya kini berubah tegang. Semua anggota tim sibuk dengan urusan masing-masing: mengganti pakaian, membersihkan peralatan, dan berbincang-bincang tentang pertandingan tadi. Loker-loker berjejer di dinding ruangan itu terbuka, memperlihatkan tas olahraga dan pakaian ganti para pemain. Namun, suasana menjadi berbeda ketika Pandu tiba-tiba muncul di pintu.

Pandu berdiri di ambang pintu dengan tatapan yang tajam, langsung mengarahkannya pada Panji. Tatapan itu membawa sebuah aura yang mematikan, cukup kuat untuk membuat semua orang saling melempar tatapan heran dan penasaran satu sama lain. Meskipun kehadirannya tidak diundang, Pandu tampaknya memiliki tujuan yang jelas.

"Gua mau ngomong sama Panji," ujar Pandu dengan suara yang tenang namun penuh dengan ketegasan yang tak terbantahkan. Kata-katanya mengejutkan sebagian besar orang di ruangan. Sebuah senyum diam-diam merekah di wajah Panji, karena rencananya berjalan dengan sempurna. Dia telah mengantisipasi momen ini sejak awal. Jika dia tidak bisa mendekati Pandu dengan caranya sendiri, maka dia akan memastikan Pandu datang mencarinya.

Tanpa ragu, Panji memberi instruksi tegas kepada anggota tim lainnya, "Lu semua keluar dulu aja." Permintaan itu disampaikan dengan sikap yang menunjukkan otoritasnya sebagai salah satu pemimpin tim. Anggota tim yang lain, dengan berbagai reaksi dari heran sampai khawatir, mulai meninggalkan ruangan secara perlahan. Gabriel, salah satu teman dekat Panji, menatap Pandu dengan khawatir. Ia merasakan ketegangan yang mendominasi ruangan itu.

Setelah ruangan sepi dan hanya tinggal mereka berdua, Panji dan Pandu saling berhadapan. Kedua pria itu memiliki dinamika yang rumit dalam interaksi mereka: Panji dengan keinginan yang kuat untuk mengubah pandangan Pandu tentang dirinya, sementara Pandu yang sama sekali tidak tertarik pada lelaki dihadapannya.

"Ada apa, Pandu?" tanya Panji dengan suara yang tenang namun penuh keyakinan, seolah tidak menyadari bahwa Pandu mencarinya karena kejadian di lapangan.

"Apa maksudnya tadi? Ngapain lu kaya gitu?" Cercaan itu keluar dari mulut Pandu, matanya menatap tajam penuh amarah. Pandu sangat kesal karena tindakan Panji bisa membuat orang berpikir mereka punya hubungan khusus.

"Emangnya gua ngapain?" Panji menjawab sambil menyeringai, tampak sengaja memancing emosi Pandu.

"Jangan pura-pura gak tahu. Sekarang nama gua masuk akun gosip gara-gara tingkah lu," Pandu menghela napas berat, ekspresinya penuh kekesalan. "Guq udah bilang, gua gak tertarik sama lu dan gua udah punya pacar," lanjutnya dengan tegas dan penuh penekanan pada setiap katanya.

"Pacar?" Mata Panji melirik ke sana kemari, seolah mencari pacar mana yang dimaksud oleh Pandu, lalu senyumnya semakin lebar dengan langkah kakinya mendekat ke arah Pandu. "Pacar mana yang lu maksud, Pandu Darmawangsa?" Tatapan keduanya terkunci, Pandu merasa terintimidasi dan melangkah mundur hingga tubuhnya menabrak pintu. Tangan Panji bergerak menyentuh pinggang Pandu, membuat lelaki itu menahan napas sebelum terdengar suara 'klik'.

Ruangan itu dikunci oleh Panji dengan mantap.

Detak jantung Pandu tiba-tiba berdentum dengan cepat, tak terkendali seperti kegilaan yang melanda dirinya. Napas hangat Panji menerpa wajahnya, membangkitkan sensasi gugup yang membuatnya menggigit bibir bawah dengan tegang. Matanya terpaku pada mata hitam pekat Panji, menemukan dirinya terperangkap dalam pesona yang tak terduga ini. Setiap detik terasa seperti abadi, menghanyutkan dalam ketidakpastian yang memikat. Pandu merasa laksana tersesat di lautan gelap, di mana hanya kehadiran Panji yang menguasai segalanya. Getaran dalam dadanya membingungkan, menggiringnya pada pertanyaan tak berjawab tentang perasaan yang berkobar di dalamnya.

"Gua tau segalanya yang terjadi di sekolah ini, dan lu mau gua percaya sama kebohongan lu itu?" Bisikan Panji membuat bulu kuduk Pandu merinding tidak terkendali. Tubuhnya merespons dengan gemetar halus, tersulut oleh ketegangan yang tak terduga.

"Jangan harap lu bisa menipu gua, Pandu."

Pandu menelan ludah dengan susah payah, matanya tidak bisa menghindari kilatan intens dari mata hitam Panji yang memikat. Di bawah sentuhan lembut Panji, pipi Pandu terasa panas, napasnya tersengal-sengal. Jemari Panji meluncur perlahan ke leher Pandu, membangkitkan getaran dalam dirinya yang tidak terkendali. Detak jantung Pandu berdegup liar di dadanya.

"Bahkan tubuh lu gak bisa berbohong," ujar Panji dengan suara rendah, seringainya mengungkapkan kesenangan yang merayapi Panji.

Pandu Darmawangsa, lelaki yang berdiri di hadapan Panji, jelas-jelas menyukainya. Tatapan intens dan respons tubuh yang Panji rasakan telah mengungkapkan segalanya. Namun, sepertinya Pandu belum sepenuhnya menyadari perasaannya. Dengan sengaja, Panji menyentuh lembut tengkuk Pandu, mendekatkan wajah keduanya sehingga hidung mereka bersentuhan, membuat Pandu menutup mata dalam tanggapan alami terhadap keintiman yang tiba-
tiba.

Senyum tersungging di bibir Panji, menunjukkan kepuasannya atas pengaruh yang ia timbulkan pada Pandu. Pandu menginginkan Panji sebagaimana
Panji menginginkannya.

"Mau gua cium?" Pertanyaan itu membuat
Pandu merasa dipermainkan, meskipun ia telah siap dengan segala yang akan Panji lakukan. Pandu hanya menatap Panji dengan melas seolah memberitahu keinginan yang tak terucapkan, mengisyaratkan bahwa itu mungkin satu-satunya jawaban yang mampu ia berikan. Namun, Panji tidak akan berhenti begitu saja. Tangannya dari tengkuk Pandu dilepaskan dengan lembut, lalu ia mundur sambil menambahkan dengan nada yang menggoda, "Mohon ke gua kalau lu mau gua cium."

Best Mistake - PondPhuwinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang